Menuju Kebangkitan Literasi Madrasah

1 week ago 3
Menuju Kebangkitan Literasi Madrasah (Dokpri)

MENJADI literat pertama-tama mesti dilandasi oleh kemauan keras dan rasa ingin tahu yang tinggi. Sebaliknya, rasa ingin tahu yang dimiliki tidak boleh hanya menjadi milik seseorang atau beberapa orang. Jika yang terjadi demikian, maka terkesan hanya menonjolkan keunggulan orang-orang tertentu. Dan akibatnya, pihak lain memiliki ketergantungan yang tinggi kepada orang atau kelompok tersebut. 

Seharusnya, orang yang telah menjadi literat membagi apa yang diketahui atau dipahaminya. Jika inisiatif ini menjangkau semakin banyak orang, maka semakin banyak pula orang yang memiliki tingkat pemahaman yang baik. Inilah langkah solutif kreatif yang harus terus digalakkan, untuk mencapai satu pemahaman literasi dari semua, oleh semua dan untuk semua. Dengan cara ini, gerakan literasi nasional akan benar-benar menjangkau masyarakat hingga pelosok terutama wilayah terpencil, terdalam dan terluar.

Tulisan ini mencoba mengupas respons madrasah di kabupaten Lembata akan hadirnya Gerakan Sekolah Menulis Buku (GSMB) Nasional. Hadirnya Program GSMB Nasional bertujuan mendorong keterbukaan untuk berkolaborasi demi meningkatkan kemampuan eksplorasi dalam berkarya. Lebih dari itu, mewujudkan penasaran intelektual dalam diri seluruh elemen madrasah. Mengeksplorasi berbagai informasi dan tawaran program literasi merupakan langkah penting dan mendesak. GSMB Nasional menjadi salah satu program unggulan dalam mendukung program literasi dan numerasi di madrasah. 

Beberapa karya yang dilombakan dalam program ini adalah lomba nasional karya tulis seperti puisi dan cerita pengalaman (untuk MI), puisi dan cerpen (untuk MTs), puisi, cerpen dan esai (untuk MA). Selain karya sastra, ada juga Akademisi Menulis Buku (AMB), lomba nasional website literasi sekolah dan lomba nasional video kreasi pertunjukan. Semua jenis perlombaan ini dapat diintegrasikan dalam program unggulan sekolah secara spesifik di bidang literasi dan numerasi. 

Sebagai sosialisator program, saya menangkap ada kemauan secara kelembagaan. Karena itu, dibutuhkan keberanian dan spirit menjangkau hal-hal baru yang belum pernah atau belum biasa dipelajari untuk diperdalam. 
 
Semua ini harus dilakukan untuk meningkatkan pemahaman, membentuk karakter, meningkatkan keterampilan peserta didik dan guru agar lebih kreatif dan inovatif demi melahirkan berbagai karya sastra dan karya lain di tingkat madrasah. 

Kemauan untuk memulai sesuatu yang baru merupakan langkah awal yang harus ada dalam diri setiap pemimpin madrasah. Para pemimpin madrasah mesti memiliki keberanian menyambut berbagai tawaran program atau inovasi baru di bidang literasi. Sikap ini menandakan bangkitnya rasa penasaran intelektual untuk mendapatkan asupan ide, gagasan baru yang bermakna. Melalui program-program literasi, ilmu pengetahuan dan pengalaman berkarya dapat disebarluaskan dan dibagikan tanpa memandang sekat suku, agama, budaya dan kehidupan sosial.

Menindaklanjuti kebutuhan literasi ini, saya memediasi sebuah pertemuan. Pertemuan yang apresiatif ini menghadirkan Kakanmenag Lembata, Kepala MIN 1 Lembata, bertempat di ruang kerja Kakanmenag Kabupaten Lembata. Dalam pertemuan tersebut, saya menangkap spirit kebangkitan literasi yang luar biasa. Saya berharap, pengambil kebijakan di madrasah tidak sebatas menerima tawaran sosialisasi, tetapi lebih dari itu, mengimplementasikan program di tingkat madrasah.

Dalam pertemuan tersebut, Kakanmenag Lembata bertekad mendorong para kepala madrasah agar melalui Forum Komunikasi Madrasah (FKM) menyatukan pemahaman menyambut Program GSMB Nasional sebagai salah satu program literasi unggulan madrasah di tingkat nasional. Menurut Kakanmenag Lembata, sudah waktunya madrasah membuka diri, membangun mitra dengan para pihak yang menghadirkan inovasi dan terobosan baru yang dipandang belum biasa dilakukan. Tentunya, inovasi dan terobosan yang berdampak besar bagi pengembangan intelektual dan pembentukan karakter, bagi madrasah di masa mendatang.

Pernyataan Kakanmenag di atas, bukan hanya sebuah harapan subyektif. Sebab memajukan literasi merupakan tugas bersama. Menjadikan literasi sebagai program unggulan bukan hanya tugas madrasah, tetapi semua lembaga pendidikan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. 

Oleh karena itu, senada dengan Yudi Latif, kita membutuhkan senjata baru dan karisma pengubah sejarah yang baru untuk mengembangkan literasi sebagai program unggulan di sekolah (Yudi Latif, 2020:xv).

Senjata baru dan karisma pengubah itu adalah kapabilitas nilai etis dan etos kerja yang berpadu dengan kreativitas budaya dan inovasi teknologi, yang menubuh dalam manusia unggul lewat proses pendidikan yakni senjata bahasa dan karisma baru untuk memenangkan masa depan. Artinya dibutuhkan kemampuan moral dalam bertindak jujur. Sikap positif dan tanggung jawab terhadap pekerjaan. Hal ini penting, untuk membentuk individu agar tidak hanya kompeten, tetapi juga memiliki integritas dalam kehidupan profesional dan personal.

Membaca pernyataan Yudi Latif dan Kakanmenag Lembata, tebersit sebuah harapan besar bahwa mengembangkan literasi di madrasah adalah sebuah cara baru membangun keadaban bangsa, yang mulai disusun dari tingkat madrasah. Dengan dan melalui literasi madrasah, peradaban bangsa ini dapat dibangun secara konsisten dan berkelanjutan. 

Jika tidak demikian, maka perjalanan literasi di negeri ini akan berada dalam transisi antara kegelapan dan terang berpikir yang terus mengalami pasang surut tanpa solusi yang tepat.

Senada dengan Ki Hadjar Dewantara, Yudi Latif menegaskan kembali bahwa pendidikan sebagai wahana pembudayaan harus mampu melahirkan insan berbudaya dan beradab, yang dapat mengembangkan kecerdasan pikiran atau olah pikir, kepekaan rasa atau olah rasa, kreativitas karsa atau olah karsa dan ketangkasan raga atau olahraga. Semua kecerdasan ini, hendaknya dimaksimalkan melalui berbagai jenis karya yang telah ditawarkan melalui GSMB Nasional.

Dengan lain perkataan, pendidikan sebagai proses penumbuhan kapabilitas berbudaya dan beradab merupakan pendidikan budi pekerti atau pendidikan berkebudayaan. Lewat proses pendidikan yang berkebudayaan, anak-anak sebagai benih harapan bisa tumbuh menjadi pohon yang sehat, memiliki akar yang menghujam dalam, batangnya tinggi menjulang, cabang dan ranting yang terjurai rapi, daun yang rindang dan buah yang lebat-bernas. 

Akar yang kuat adalah karakter yang tangguh, batang yang tinggi menjulang adalah wawasan pengetahuan yang luas, cabang dan rantingnya menunjuk pada kompetensi dan kreativitas tata kelola, daun yang rindang merupakan kemampuan kerja sama bersemangatkan Bhinneka Tunggal Ika. Sedang buah yang lebat-bernas adalah kreativitas yang bermanfaat bagi diri dan sesama (Yudi Latif, 2020:27).

Mengutip H.O.S. Tjokroaminoto, Ishak Sulaiman, Kakanmenag Kabupaten Lembata dalam kesempatan tatap muka di ruang kerjanya berpesan, jika ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator. 

Menurutnya, sosok pemimpin masa depan mesti menulis secara baik seperti seorang jurnalis yang andal, dan berbicara dengan bahasa yang baik seperti seorang orator. Seorang jurnalis yang andal tidak sekadar mengikuti arus pembaca, tetapi yang lebih utama adalah mewartakan kebenaran berdasarkan data dan fakta. 

Sebaliknya, seorang orator tidak berbicara secara serampangan, tetapi menyampaikan buah pemikiran secara terstruktur dan sistematis, agar mudah dipahami masyarakat pembaca secara luas. Semua itu, ditopang oleh tipikal yang memiliki keingintahuan yang tinggi, dan selalu berusaha mewujudkannya melalui aktivitas membaca dan menulis yang rutin dan teratur.

Oleh karenanya, seluruh stakeholder madrasah mesti belajar dari para anggota generasi baru ulama Hindia yang menjelang akhir abad ke-19 mulai menyadari bahwa metode dan tatanan cara pandang tradisional dalam Islam tak akan sanggup menghadapi tantangan kolonialisme dan peradaban modern. Maka, terilhami oleh reformasi-modernisme Islam di Timur Tengah serta introduksi pendidikan dan asosiasi-asosiasi bergaya Barat di tanah air, para anggota generasi baru mulai mempromosikan modernisasi atas sekolah-sekolah Islam.

Dengan mengombinasikan pengajaran-pengajaran keagamaan dan pelajaran umum, serta mengadopsi metode dan teknologi pendidikan dari sekolah-sekolah Barat, sekolah-sekolah Islam mempresentasikan suatu bentuk baru sistem pendidikan Islam yang disebut madrasah. Madrasah inilah yang menjadi lahan persemaian bagi munculnya inteligensia klerus yang lebih dikenal dengan ulama intelek yakni para ahli keagamaan yang melek pengetahuan saintifik modern (Yudi Latif, 2020:50).

Sejalan pandangan generasi baru ulama Hindia di atas, Kakanmenag Lembata juga menegaskan, bahwa seluruh kepala madrasah mesti membuka diri untuk bekerja sama dengan pihak luar yang memberi dampak positif bagi pengembangan sumber daya madrasah. 

Apabila kesiapan dan keterbukaan serta keberanian berpadu, maka madrasah dapat menunjukkan kepada dunia luar bahwa madrasah bukanlah lembaga pendidikan keagamaan yang eksklusif tetapi semakin membuka diri untuk memajukan bangsa ini. 

Akhirnya kita boleh menyimak pesan Maria Salomea Sklodowska Curie (1867-1934) perintis dalam bidang radiologi dan pemenang dua hadiah nobel yakni Fisika (1903) dan Kimia (1911). Menurutnya, seluruh stakeholder hendaknya berani mengubah pola pikir yang lama dengan satu spirit baru yakni mengurangi rasa ingin tahu tentang orang lain terkait persoalan dan kehidupan mereka. Sebaliknya, memperbanyak rasa ingin tahu dalam hal-hal yang berkaitan dengan ide, gagasan dan pemikiran. 

Dalam konteks Lembata khususnya dan Indonesia umumnya, gagasan Maria Curie di atas, tidak hanya ditujukan kepada madrasah tetapi juga kita semua guna memperbanyak diskusi dan membangun dialog untuk menggalakkan literasi, demi meningkatkan semangat berkarya melalui literasi dan numerasi sebagai program unggulan. Melalui gerakan ini, saya yakin nalar kritis dan spirit berkarya akan terus digairahkan. Selain itu, literasi dan numerasi akan terus berdenyut mengalirkan karya-karya yang menghidupkan sumber daya manusia dan pembentukan karakter anak bangsa.

Read Entire Article
Global Food