'SATU-SATUNYA penangkal bagi dekade kekuasaan yang merusak oleh sekelompok kecil elite ialah mendesakkan keinginan rakyat. Pada setiap isu utama yang memengaruhi negeri ini, rakyat betul dan elite yang memerintah salah', tulis Donald Trump dalam Wall Street Journal, April 2016.
Pernyataan itu memperlihatkan Trump sedang membenturkan elite dan rakyat. Membenturkan elite dan rakyat merupakan karakteristik substansial populisme. Mudde dan Caltwasser (2017) menyebut populisme mengandaikan masyarakat terbagi dalam dua kelompok homogen dan antagonistis, yakni 'rakyat asli' (pure people) versus 'elite korup' (corrupt elite). Pantaslah bila para ahli mengategorikan Trump sebagai pemimpin populis.
Ciri lain populisme ialah antipakar, antisains, dan antiintelektual (Harsin, 2018; Wodak, 2015). Ciri semacam itu lazim disebut post-truth yang berlandaskan teori konspirasi.
Kaum populis, mengikuti jalan pikiran intelektual kritis seperti Edward Said dan Michel Foucoult, beranggapan bahwa institusi sains seperti universitas atau ilmuwan tidak menggunakan sains untuk mencari kebenaran, tetapi menggunakannya sebagai kekuasaan untuk menentukan satu kebenaran dan untuk melayani atau berkonspirasi dengan kapitalisme. Jalan pikiran seperti itu dipakai mereka yang antivaksin ketika covid-19 melanda dunia.
Trump mengeklaim penyemprot rambut aerosol yang mengandung chloro floro carbon (CFC) tidak merusak lapisan ozon jika disemprotkan di dalam gedung apartemen. Trump tidak percaya pada pemanasan global sehingga menyebabkan Amerika Serikat menarik diri dari Paris Agreement, satu kesepakatan mengurangi emisi karbon. Trump juga tidak percaya pada covid-19.
Pakar menyebut Trump pemimpin populis sayap kanan. Populisme sayap kanan lebih suka menggunakan idiom sosiologis sebagai pertentangan, seperti elite-rakyat, kulit putih-kulit berwarna, penduduk asli-imigran, Kristen-Islam, mayoritas-minoritas, dan sebagainya, ketimbang idiom kelas seperti kaya-miskin atau kesenjangan ekonomi.
Trump, ketika menjabat Presiden Amerika Serikat, menawarkan kebijakan yang mengutamakan kalangan kulit putih. Dia sempat melarang kaum muslim yang digeneralisasinya sebagai teroris memasuki Amerika. Kebijakan itu jelas bertentangan dengan prinsip kesetaraan dalam demokrasi karena mendiskriminasi kaum migran, kulit hitam, juga muslim.
Trump menyebut kaum migran Meksiko di Amerika sebagai 'kriminal' dan 'pemerkosa'. Trump pun mengatakan imigran asal Meksiko sesungguhnya menginvasi Amerika.
Sejumlah penulis, seperti John Meacham, Julissa Arce, Rod Rosenstein, dan David French, dalam tulisan mereka di majalah TIME edisi 19 Agustus 2019, menuding retorika Trump itu sebagai penyulut penembakan di El Paso, Texas, dan Dayton Ohio, yang menyebabkan 31 orang yang kebanyakan kalangan Hispanik tewas.
Populisme sayap kanan Trump menyebabkan keterbelahan masyarakat Amerika, antara pendukung Partai Demokrat dan Republik, antara kaum liberal dan konservatif. Majalah The Economist edisi khusus The World in 2021 bahkan menyebut Amerika mengalami perang budaya (culture wars).
The Economist mengutip survei sebelum Pemilu Presiden Amerika 2020 yang menyebutkan lebih dari 40% orang Amerika pendukung Partai Demokrat dan Partai Republik percaya kekerasan terjadi bila salah satu kandidat, Donald Trump atau Joe Biden, memenangi pemilu presiden. Kekerasan itu benar-benar terjadi ketika pendukung Trump menyerang Gedung Capitol pada 6 Januari 2021.
Kebijakan-kebijakan populis Trump seperti disebut di atas diterapkannya ketika dia menjadi Presiden Amerika Serikat 2017-2021. Kebijakan populis itu kiranya yang menghalangi dirinya terpilih pada Pilpres 2020.
Kini Trump terpilih kembali sebagai Presiden AS. Keterpilihannya dalam konteks populisme terbilang unik. Dalam satu kampanye Trump, pelawak Tony Hinchcliffe membuat blunder dengan pernyataannya Puerto Rico, salah satu wilayah kekuasaan AS, sebagai tempat sampah.
Blunder itu rupanya tidak banyak berpengaruh. Komunitas Hispanik di kota-kota besar, misalnya Miami, tetap memilih Trump. Harapan bagi perbaikan ekonomi bila Trump memerintah kiranya menjadi penentu pilihan masyarakat.
Komunitas muslim dilaporkan juga memilih Trump. Itu disebabkan Trump berjanji akan mengakhiri pertumpahan darah di Gaza. Trump bahkan mengutuk kebijakan mantan Presiden AS yang mendatangkan malapetaka di dunia muslim.
Apakah itu semua menandakan Trump tidak lagi menerapkan atau setidaknya mengurangi populisme? Kita tidak tahu pasti. Yang pasti masih ada kekhawatiran Trump tetap melakoni populisme.
Selama masa kampanye Pilpres 2024, Trump berulang kali membahas isu imigran dan penegakan hukum. Dia antara lain menggaungkan rencana mendeportasi 11 juta imigran ilegal. Itu jelas kebijakan populis.
Kebijakan populis Trump itu membuat Kanada cemas. Kanada khawatir bakal banyak imigran yang melarikan diri ke Kanada. Kanada bersiap-siap menjaga perbatasannya dengan AS.
Kemenangan Trump membayangi Konferensi ke-29 Perubahan Iklim (COP) di Baku, Azerbeizan, 11 November 2024. Pada masa kepemimpinannya 2017-2021, Trump membawa Amerika keluar dari komitmen Persetujuan Paris (Paris Agreement).
Lewat jargon Make America great again, Trump kiranya lebih berkonsentrasi membenahi dalam negeri, terutama ekonomi. Itu yang disebut populisme nasional atau populisme kebangsaan (national populism). Meski menggunakan populisme sosiologis untuk mencapai kemenangan, Trump saat menjabat sebagai presiden kiranya bakal mempraktikkan populisme bertujuan ekonomi.
Kebijakan mendeportasi imigran illegal kiranya bertujuan memperbaiki iklim ekonomi masyarakart. Peluang masyarakat mendapat pekerjaan lebih besar. Masyarakat tak perlu bersaing ketat dengan para imigran untuk memperoleh pekerjaan. Masyarakat justru memilih Trump karena kebijakan populis itu.
Menjadi polisi dunia, cawe-cawe urusan politik di wilayah lain seperti di Gaza, bagi Trump hanya menghabiskan anggaran. Oleh karena itu, Trump berjanji akan mengakhiri pertumpahan darah di Gaza supaya anggaran yang dihabiskan untuk cawe-cawe di Gaza bisa dipakai memperbaiki ekonomi dalam negeri.
Seperti pada masa Presiden Joe Biden, terlibat dalam Paris Agreement membuat Amerika harus mengalokasikan anggaran US$2 triliun untuk usaha mengatasi pemanasan global. Bagi Trump, lebih baik anggaran itu dipakai memperbaiki ekonomi dalam negeri.
Negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, harus mengantisipasinya. Indonesia yang berencana bergabung dalam BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) bisa menjajaki sumber pendanaan penanganan pemanasan global dari negara-negara BRICS tersebut, misalnya.
Dalam kerangka populisme nasional, Trump bakal menerapkan proteksionisme. Tanda-tandanya antara lain terlihat dari penunjukan Robert Lighthizer, proteksionis tulen, untuk menjalankan kebijakan perdagangan AS. AS diprediksi bakal meningkatkan tarif perdagangan. Indonesia yang surplus perdagangannya dengan Amerika mencapai US$13 miliar harus mengantisipasinya.