KOMISIONER Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Siti Aminah Tardi menjelaskan berdasarkan hasil pemantauan hak perempuan dalam pemilu, pihaknya menjelaskan bahwa setiap wilayah berpotensi terjadi kekerasan terhadap perempuan, baik dalam posisi perempuan sebagai kandidat, sebagai penyelenggara pemilu hingga sebagai pemilih.
“Karena perbandingan antara kandidat laki-laki dengan perempuan di Pilkada 8 : 1 maka sangat dimungkinkan setiap wilayah, ada kandidat yang menggunakan politik maskulinitas dan menjadikan isu perempuan sebagai objektifikasi dan subordinasi,” jelas Aminah dalam konferensi pers di Jakarta pada Kamis (7/10).
Aminah lebih lanjut mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan dalam kontestasi elektoral sebagai segala bentuk kekerasan yang ditujukan pada perempuan karena ia perempuan, atau kekerasan yang mempengaruhi perempuan secara tidak proporsional.
“Hal itu terjadi karena partisipasi dan/atau aspirasi mereka untuk mendapatkan jabatan politik dan/atau terlibat dalam aktivitas politik dalam penyelenggaraan Pemilu,” ujarnya.
Lebih lanjut, Aminah menurutkan bahwa pihaknya menyesalkan masih banyak terjadi kekerasan terhadap perempuan dalam penyelenggaraan pemilu seperti yang disebutkan di atas mengingat dampak serius, tidak hanya dapat dilihat dari kerugian materil/fisik dan psikis, namun juga secara sosial dan politik.
“Ruang pemulihan bagi korban dalam konteks politik elektoral juga belum tersedia secara optimal,” jelasnya.
Menurut Aminah, kekerasan terhadap perempuan dalam Pemilu akan berakibat sistematis pada berkurangnya partisipasi perempuan dalam pemilu, ketidakpercayaan masyarakat terhadap kandidat perempuan, hingga sulitnya politisi perempuan untuk mengembangkan aktivitas politik mereka.
“Serangkaian dampak tersebut tentu akan berkonsekuensi pada berkurangnya kualitas demokrasi dan penyelenggaraan pemilu,” katanya.
Komnas Perempuan juga menerima pengaduan terkait adanya kekerasan yang ditujukan kepada perempuan di tahapan kampanye karena dituduh tidak mendukung salah satu kandidat,
“Termasuk potensi penggunaan politik identitas berbasis suku, agama, identitas gender dan lain sebagainya,” imbuhnya.
Atas dasar itu, Komnas Perempuan mendorong agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat menindak lanjuti laporan masyarakat terkait adanya pernyataan seksis yang dilakukan para kandidat dalam Pilkada Serentak 2024.
“Bahwa sesuai Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 13 Tahun 2024 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota, aturan materi kampanye harus menggunakan bahasa Indonesia dan/atau bahasa daerah dengan kalimat yang sopan, santun, patut, dan pantas disampaikan, diucapkan, dan/atau ditampilkan kepada umum,” jelasnya.
Komnas Perempuan juga memandang penting mengimplementasikan PKPU No. 13 Tahun 2024 oleh seluruh peserta Pilkada untuk tidak memberikan pernyataan atau ujaran yang seksis dan diskriminatif terhadap perempuan sebagaimana diamanatkan perundangan-undangan yang ada dan norma-norma HAM internasional.
“Badan Pengawas Pemilu juga harus mampu mengenali dan melakukan pengawasan intensif pada beragam bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam penyelenggaraan Pilkada 2024,” katanya.
Selain itu, Partai Politik juga perlu memberikan pendidikan dan pemahaman terhadap kandidat Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang diusung untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan, menghormati dan memenuhi hak-hak perempuan.
“Komnas Perempuan terus melakukan pemantauan dan menerima pengaduan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dalam pelaksanaan Pilkada 2024. Kami juga mendorong agar masyarakat menggunakan platform JITU (Jeli, Inisiatif, Toleran dan Ukur) sebagai acuan dalam menentukan pilihan pada Pilkada 2024,” pungkasnya. (H-2)