TERPILIHNYA Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat (AS) berpeluang memberi dampak negatif bagi perekonomian Indonesia. Hal itu sudah terlihat dari pergerakan nilai tukar rupiah dan larinya investor di pasar uang dari negara berkembang seperti Indonesia.
“Trump effect juga membuat investor menarik dana dari pasar negara berkembang dan ini terlihat misalnya 6 November 2024, net sales atau penjualan bersih saham oleh investor asing itu tembus Rp1,5 triliun. Jadi artinya memang investor lebih banyak keluar dari pasar saham dan mereka mencari instrumen yang aman, salah satunya adalah dolar AS,” ujar Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira melalui keterangannya, Kamis (7/11).
Kebijakan proteksionisme Trump menuntun pada eskalasi perang dagang AS dengan Tiongkok. Hal itu berpeluang mendorong pelemahan harga dan permintaan barang dari Indonesia untuk ke AS dan Tiongkok. Bhima memprediksi, selama Trump menjabat, pelemahan permintaan dari berbagai jenis komoditas dan produk industri Indonesia akan melemah.
Berkaca dari periode pertama ketika Trump menjadi orang nomor satu di 'Negeri Paman Sam', Indonesia hampir tidak mendapatkan relokasi industri imbas perang dagang AS dan Tiongkok. Relokasi industri justru marak terjadi di Vietnam, Malaysia, Thailand, bahkan Kamboja yang ditandai dengan banyaknya pembangunan pabrik serta investasi di negara-negara tersebut.
“Artinya kemenangan Trump ini sinyal yang buruk bagi ekonomi Indonesia. Terutama karena memang Amerika masih jadi mitra perdagangan yang tradisional, masih tetap porsinya cukup besar. Meskipun sekarang nomor satu adalah ke Tiongkok produk-produk Indonesia ekspornya. Tapi Amerika punya peran kunci yang cukup penting,” tutur Bhima.
“Jadi memang kita harus menyikapi ini secara hati-hati, karena kalau kebijakan ekstrem Donald Trump, termasuk soal EV yang tidak akan melanjutkan Inflation Reduction Act-nya Joe Biden, IRA-nya tidak dilanjutkan, maka ada khawatiran permintaan nikel olahan dari Indonesia juga akan anjlok. Sehingga ini akan mengganggu prospek hilirisasi Indonesia ke depan,” tambah dia.
Sementara itu, ekonom Bright Institute Awalil Rizky menilai ekonomi Indonesia tak akan terdampak signifikan atas terpilihnya Trump sebagai presiden AS. “Berdasar pengalaman ketika dia menjabat dahulu, Indonesia tidak mengalami kesulitan tambahan dalam hal hubungan ekonomi, meski juga tidak terbilang diuntungkan,” kata dia.
Kekhawatiran soal kebijakan proteksionisme, lanjut Awalil, sedianya juga diterapkan oleh pemerintahan Joe Biden. Itu karena AS tengah berupaya untuk melindungi industrinya dari produk-produk impor guna memperbaiki ekonominya.
Hal yang menurutnya mengkhawatirkan ialah dari sisi geopolitik. Kebijakan politik Trump dinilai dapat memantik ketegangan dan hal itu pada akhirnya berimbas ke rantai pasok yang mengganggu perdagangan internasional. “Risiko geoplolitik memanas makin besar,” kata dia.
Sedangkan perihal kebijakan suku bunga, Awalil menilai bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) akan mengambil peran jauh lebih besar dan tak terpengaruh pada kebijakan Trump yang berpotensi bakal memperlebar defisit fiskal Negeri Paman Sam.
“Bargaining the Fed jauh lebih besar dalam hal suku bunga. Kemungkinan suku bunga tinggi masih rendah, bahkan cenderung akan diturunkan perlahan. Namun jika geopolitik memanas dan amat melibatkan Amerika, banyak hal bisa terjadi, termasuk suku bunga,” pungkas dia. (J-3)