Iuran Naik Harus Opsi Terakhir BPJS Kesehatan, Banyak Langkah Cerdas Lain

4 days ago 2
Iuran Naik Harus Opsi Terakhir BPJS Kesehatan, Banyak Langkah Cerdas Lain Petugas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mendata warga binaan di Lapas Kelas IIB Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Kamis (12/9/2024).(ANTARA/Harviyan Perdana Putra)

PAKAR Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menanggapi perihal BPJS Kesehatan yang diperkirakan akan menghadapi risiko gagal bayar pada 2026 jika tidak ada intervensi struktural yang efektif. 

Menurutnya, skenario gagal bayar ini berpotensi terjadi jika defisit keuangan BPJS terus meningkat, terutama bila tidak ada langkah yang efektif untuk mengatasi biaya yang terus membengkak. Salah satu opsi yang sering muncul dalam wacana publik adalah menaikkan iuran premi peserta. 

“Namun, menaikkan iuran bukanlah solusi ideal, mengingat beban tambahan bagi masyarakat, terutama golongan menengah dan bawah. Oleh karena itu, langkah-langkah yang lebih cerdas dan out-of-the-box perlu diambil untuk mencegah skenario gagal bayar tanpa membebani peserta BPJS secara langsung,” ungkapnya, Rabu (13/11).

Lebih lanjut, terdapat beberapa faktor utama yang mendorong BPJS Kesehatan menuju risiko gagal bayar di 2026. Di antaranya adalah peningkatan biaya pengobatan untuk penyakit-penyakit katastropik, peningkatan jumlah peserta yang dibiayai oleh pemerintah, dan kurangnya kontribusi dari peserta mandiri.

Penyakit-penyakit katastropik memerlukan biaya tinggi dan cenderung terus meningkat seiring bertambahnya jumlah pasien dan kompleksitas perawatan. Sebagai gambaran tambahan, neraca keuangan BPJS Kesehatan dari 2019 hingga 2023 menunjukkan tren pengeluaran yang terus meningkat.

“Pada 2023, BPJS Kesehatan mengalami defisit karena pengeluaran yang melebihi pendapatan. Kondisi ini terjadi meskipun pendapatan dari iuran peserta meningkat. Dengan tren yang ada, kondisi ini berpotensi semakin parah pada 2026, terutama jika tidak ada upaya untuk mengurangi pengeluaran atau meningkatkan pendapatan dengan cara yang lebih kreatif,” ujar Achmad.

Berdasarkan data historis, BPJS Kesehatan diproyeksikan akan menghadapi peningkatan pengeluaran yang signifikan pada 2026. Jika tren pengeluaran terus naik sekitar 10-15% per tahun, maka pada 2026, pengeluaran BPJS diperkirakan akan mencapai lebih dari Rp200 triliun. 

Sementara itu, jika pendapatan hanya meningkat sekitar 5% per tahun, pendapatan BPJS di 2026 diperkirakan hanya akan mencapai sekitar Rp180 triliun. Ini berarti BPJS berpotensi mengalami defisit sekitar Rp20 triliun.

“Simulasi ini mencerminkan skenario realistis di mana BPJS mengalami kesulitan untuk menutupi biaya operasional dan pembiayaan kesehatan peserta. Dengan kondisi ini, risiko gagal bayar menjadi sangat nyata, dan BPJS akan kesulitan untuk membayar tagihan rumah sakit, obat-obatan, dan layanan kesehatan lainnya,” jelasnya. 

Achmad menilai bahwa menaikkan iuran premi peserta mungkin tampak seperti solusi instan, tetapi ini akan menambah beban masyarakat, terutama di kalangan peserta mandiri yang selama ini sudah merasa terbebani. 

Beberapa opsi yang dapat dilakukan di antaranya optimalisasi dana investasi, di mana BPJS Kesehatan memiliki dana cadangan yang diinvestasikan dalam instrumen keuangan tertentu. Optimalisasi investasi di sektor yang lebih menguntungkan, tetapi tetap aman, dapat meningkatkan pendapatan tambahan.

Selanjutnya adalah kolaborasi dengan industri farmasi. Dalam hal ini BPJS Kesehatan dapat bernegosiasi dengan produsen obat-obatan untuk mendapatkan harga yang lebih rendah untuk obat-obatan penyakit katastropik. Kolaborasi ini akan menurunkan biaya pengeluaran untuk obat-obatan mahal yang dikonsumsi oleh pasien dengan penyakit berat.

“Dapat dilakukan juga peningkatan efisiensi operasional. BPJS Kesehatan harus melakukan audit menyeluruh untuk mengidentifikasi pemborosan dan ketidakefisienan dalam operasional sehari-hari. Optimalisasi penggunaan sumber daya dan pemotongan biaya yang tidak perlu dapat membantu mengurangi pengeluaran tanpa mengorbankan kualitas layanan,” kata dia.

Preventif

Selain itu, diperlukan juga pendekatan preventif dengan cara mengalokasikan lebih banyak anggaran untuk program preventif atau pencegahan penyakit, terutama untuk penyakit katastropik seperti jantung dan diabetes. Edukasi kepada masyarakat tentang gaya hidup sehat dan deteksi dini dapat mengurangi biaya pengobatan dalam jangka panjang.

Kemudian, sebagai alternatif dari kenaikan iuran premi yang sama untuk semua peserta, BPJS dapat mempertimbangkan skema iuran yang lebih fleksibel. Misalnya, skema yang berbasis risiko kesehatan individu atau insentif bagi peserta yang menjaga gaya hidup sehat.

Hal yang paling penting adalah adanya dukungan pemerintah, di mana pemerintah dapat memberikan bantuan dalam bentuk subsidi tambahan atau pembebasan pajak untuk beberapa layanan kesehatan tertentu. Hal ini akan meringankan beban BPJS Kesehatan, terutama dalam hal pembiayaan penyakit katastropik.

Achmad menekankan bahwa menaikkan premi BPJS akan berdampak langsung pada masyarakat, terutama di kalangan pekerja informal dan peserta mandiri. Kenaikan premi dapat menyebabkan peserta dari golongan ekonomi lemah kesulitan membayar iuran bulanan, yang berujung pada penurunan kepesertaan.

“Selain itu, menaikkan premi akan meningkatkan beban pengeluaran rumah tangga, yang mungkin memicu ketidakpuasan sosial. Bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, kenaikan premi dapat mengurangi daya beli mereka yang sudah terdampak inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok. Oleh karena itu, kenaikan premi perlu menjadi opsi terakhir dan hanya dilakukan jika benar-benar tidak ada pilihan lain yang dapat diambil,” tegasnya.

Selain solusi-solusi komprehensif yang telah disebutkan oleh Achmad, BPJS juga dikatakan perlu mempertimbangkan kebijakan-kebijakan lain. Di antaranya membentuk dana khusus yang didedikasikan untuk pembiayaan penyakit katastropik. Dana ini dapat dikelola secara terpisah dan didukung oleh kontribusi sukarela dari masyarakat atau lembaga-lembaga filantropi.

BPJS juga dapat bermitra dengan perusahaan-perusahaan swasta untuk mendapatkan dukungan dana atau layanan tambahan. Misalnya, perusahaan besar dapat membantu dalam menyediakan layanan kesehatan dasar untuk masyarakat sekitar sebagai bagian dari CSR (Corporate Social Responsibility).

Digitalisasi layanan kesehatan pun diperlukan, seperti telemedicine dan pemantauan kesehatan jarak jauh, dapat membantu menurunkan biaya perawatan untuk penyakit kronis. Dengan memanfaatkan teknologi, BPJS dapat mengurangi frekuensi kunjungan ke rumah sakit yang tidak perlu, sehingga menghemat biaya operasional.

“BPJS juga perlu meningkatkan pengawasan untuk mencegah penyalahgunaan layanan. Tindakan preventif seperti verifikasi identitas pasien, audit rutin, dan sistem laporan yang lebih transparan dapat mengurangi potensi penyalahgunaan dan penipuan klaim,” ucap Achmad.

Hal yang tak kalah penting adalah meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan dapat mengurangi biaya jangka panjang. Program-program edukasi dan partisipasi masyarakat dapat mendorong gaya hidup sehat, yang pada akhirnya menurunkan angka kasus penyakit katastropik.

“Gagal bayar BPJS Kesehatan pada 2026 bukanlah sesuatu yang tak terhindarkan jika langkah-langkah tepat diambil sejak dini. Menaikkan premi harus menjadi opsi terakhir, mengingat dampak langsungnya pada masyarakat,” urai Achmad.

“Sebaliknya, dengan langkah-langkah cerdas, kolaborasi dengan berbagai pihak, dan pemanfaatan teknologi, BPJS dapat mengatasi tantangan ini tanpa membebani publik secara berlebihan. Langkah-langkah inovatif dan out-of-the-box adalah kunci untuk menjaga keberlanjutan BPJS Kesehatan dalam jangka panjang,” pungkasnya. (H-2)

Read Entire Article
Global Food