BERBAGAI disiplin ilmu tampaknya terkalahkan oleh informasi yang lebih populer dan sensasional, khususnya di media sosial. Fenomena ini menjadi semakin kentara di era post-truth, yakni era di mana masyarakat lebih memercayai informasi yang bersumber dari influencer (pemengaruh) dibandingkan pakar di bidangnya.
Berkaitan dengan fenomena itu, Dosen Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) Angga Prawadika Aji mengungkap ada dua faktor utama yang mendorong era post-truth yaitu perkembangan politik dan popularitas media sosial.
“Post-truth itu berkaitan dengan dua faktor utama. Pertama tentang perkembangan politik dan kedua tentang popularitas media sosial. Keduanya kemudian mendefinisikan bagaimana post-truth menjadi sebuah fenomena yang menimbulkan banyak perdebatan. Salah satunya adalah apa yang disebut dengan matinya kepakaran,” katanya seperti dikutip dari situs Universitas Airlangga, Selasa (5/11).
Pengaruh Media Sosial
Angga juga menyoroti dampak besar media sosial dalam menurunkan nilai keahlian. Media sosial kini memberikan panggung besar bagi semua orang, tidak peduli apakah mereka memiliki keahlian di bidang tertentu atau tidak.
“Seperti kata Umberto Eco, ahli semiotika. Media sosial kini menjadi sumber masalah besar. Orang-orang yang tidak memiliki kapabilitas, tidak memiliki expertise kemudian suaranya memiliki bobot yang sama dengan orang yang selama bertahun-tahun memiliki dasar ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan,” ungkap Angga.
Dampaknya ialah masyarakat seringkali menilai informasi berdasarkan jumlah likes, views, atau popularitas, dibanding informasi berbasis riset atau fakta. Fenomena ini bukan hanya mengaburkan batas antara fakta dan opini, melainkan juga mengancam kredibilitas ilmu pengetahuan di tengah masyarakat.
Echo Chamber
Kondisi tersebut juga diperparah dengan ketergantungan masyarakat pada sosok-sosok populer, seperti influencer untuk menafsirkan informasi yang mereka terima. Di kala masyarakat belum memiliki literasi digital yang cukup, mereka cenderung memercayai sumber informasi yang sudah familiar, tanpa mempertimbangkan validitas atau kapabilitas sumber tersebut. Hal itu pun memicu fenomena echo chamber.
“Echo chamber terjadi ketika masyarakat hanya mau mengonsumsi informasi yang sesuai dengan keyakinannya saja dan secara aktif menolak informasi apa pun yang berlawanan,” ucap Angga.
Dikarenakan kurangnya literasi dan kemampuan berpikir membuat masyarakat mudah termakan misinformasi dan berita bombastis yang datang dari figur terkenal. Angga mengatakan apabila tidak segera memperbaiki literasi masyarakat, kita akan menghadapi generasi yang sulit membedakan antara opini populer dan fakta yang valid.
"Pada akhirnya, ini bisa mengarah pada pembodohan massal. Hanya popularitas yang dipandang sebagai ukuran kebenaran,” pungkasnya.(M-3)