SEJUMLAH pakar dan aliansi masyarakat sipil menilai praktik cawe-cawe Presiden ketujuh RI, Joko Widodo atau Jokowi kembali terjadi di Pilkada 2024. Praktik tersebut dilakukan secara masif dan terstruktur di berbagai daerah dengan menggunakan pola serupa seperti yang terjadi pada Pemilu lalu.
Ketua DPP PDI Perjuangan, Ronny Talapessy mengatakan bahwa pihaknya telah menemukan pola cawe-cawe Jokowi dan pemerintahan baru yang dipimpin Prabowo mulai dari pengerahan aparat TNI/Polri, Aparatur Sipil Negara (ASN) hingga kepala desa dan perangkatnya.
“Tren tidak berhenti hanya di pilpres, tapi juga cawe-cawe Jokowi ini perannya sangat terlihat di Pilkada. Misalnya di Jawa Tengah kami menemukan 386 kasus pelanggaran netralitas ASN dan kepala desa yang dikerahkan untuk mendukung paslon tertentu,” jelasnya di Jakarta pada Rabu (6/11).
Ronny memaparkan teman-temuan kecurangan tersebut dan telah melaporkannya kepada Badan Kepegawaian Negara (BKN) pusat namun hingga saat ini belum mendapatkan penegasan ataupun sanksi. Selain Jawa Tengah, lanjut Ronny, pola kekurangan serupa juga terjadi di beberapa wilayah seperti Jawa Timur, Banten, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, hingga Maluku dan Papua.
“Pola cawe-cawe ini tidak terjadi secara parsial, tapi kami melihat ini sistem komando dari tingkatan polda, polres dan polsek lalu camat hingga kepada kepala desa. Di Sulawesi Utara ada pemanggilan kepolisian dan kepala desa secara serentak untuk mendukung paslon tertentu. Pemanggilan ini sistemik dan tidak berdiri sendiri, jika tidak ditindak akan merusak iklim demokrasi,” tegasnya.
Ronny berharap, Prabowo sebagai presiden terpilih, bisa menunjukkan integritasnya dengan tidak mengintervensi proses Pilkada. Ia juga mendesak agar segera memanggil Kapolri untuk segera mengevaluasi dan mencopot kepala polda yang memberikan dukung di Pilkada berbagai daerah.
“Ini merupakan harapan dari masyarakat agar demokrasi yang rusak pasca pilpres yang kemarin itu tidak kembali terjadi. Diharapkan proses demokrasi ini berjalan sesuai dengan yang diharapkan, tapi faktanya anggota kepolisian banyak tidak tunduk terhadap instruksi presiden,” imbuhnya.
Polri tidak taat pada presiden prabowo dalam pilkada serentak seperti di Jateng, Jatim, Sumut, Sulut, Papua terjadi ketidaknetralan. Selain itu, untuk mengantisipasi melebarnya cawe-cawe dalam Pilkada, PDIP saat ini telah membuka 10 ribu posko pengaduan di Jawa Tengah.
“Kapolda yang tidak tunduk itu wajib dievaluasi misalnya Kapolda Sumut dan Jawa Tengah harus dicopot, jika tidak maka ini dapat merusak demokrasi,” tutur Ronny.
Tak hanya pengerahan massa, praktik pork barrel politics atau politik gentong babi pada periode elektoral dengan tujuan merebut suara dan dukungan pemilih pada Pilkada 2024 berpotensi kembali terjadi.
Ronny menjelaskan bahwa pemerintah secara sistematis tengah menggelontorkan bantuan sosial di berbagai daerah. Khusus di wilayah Jawa Tengah, pihaknya telah mencatat ada sekitar Rp 71,9 Miliar bantuan sosial yang akan digelontorkan di Semarang dalam waktu dekat.
Menanggapi hal itu, Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari menjelaskan bahwa cawe-cawe Jokowi terhadap perhelatan Pilkada sudah terbaca sejak akhir masa jabatan pada awal Oktober lalu. Hal itu dilihat dari kebijakan Jokowi yang secara resmi pembubaran KASN.
“Padahal KASN ini merupakan lembaga non struktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik yang bertugas menjaga netralitas pegawai ASN, tapi justru dibubarkan di akhir akhir masa jabatan Presiden. Ini tentu sangat berpengaruh pada netralitas ASN,” ujarnya.
Feri juga mensyilar bahwa Kemensos dalam waktu dekat akan menggelontorkan bantuan sosial secara nasional di berbagai daerah dalam bentuk pangan non-tunai hingga bantuan PKH.
“Jumlah bantuan sosial ini signifikan yaitu 3 juta per keluarga per bulan, ini dikeluarkan menjelang pilkada. Melalui pengerahan ASN, bantuan ini juga akan dimainkan dan akhirnya bisa sana mempengaruhi psikologis pemilih,” tuturnya.
Berkaca dari gugatan masyarakat sipil mengenai praktik politik gentong babi pada Pilpres 2024 ke MK, Feri mengungkapkan hakim konstitusi tak boleh bermain mata untuk memakluminya. Feri menjelaskan politik anggaran gentong babi seharusnya terbukti, apabila pemerintah menggunakan insentif dana anggaran tersebut pada tahun pemilu.
“Bahwa jelas dalam politik gentong babi, tidak boleh ada pembagian bantuan di tahun politik. Pembuktian ke depan artinya MK tidak boleh membedakan jenis kecurangan begini dengan asumsi. Pembuktiannya adalah adakah program bantuan keuangan di tahun politik? Jika ada maka itu tidak adil dan melanggar,” tuturnya.
Feri menyatakan berbagai fenomena cawe-cawe Jokowi telah menunjukkan bahwa demokrasi mengalami kemunduran pasca reformasi.
“Penyebab terutama karena ada campur tangan presiden jokowi yang sudah lengser tapi masih bisa cawe-cawe. Desakan kepada prabowo jangan hanya sekedar memecat polisi yang tidak netral, tapi juga harus menjauhkan presiden Jokowi dalam kancah campur tangan pilkada,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menjelaskan bahwa perilaku cawe-cawe Jokowi pada Pilkada yang terjadi akan berdampak pada semakin turunnya kualitas demokrasi Indonesia.
“Hukum digunakan untuk mengkriminalisasi siapapun yang pernah mengkritik pemerintahan Jokowi. Memang secara biologi, Jokowi sudah tidak ada ada lagi di istana, tetapi secara politis seolah keberadaan dia masih ada, bahkan keturunan biologisnya terasa jelas eksis di istana,” tandasnya. (DEV/M-4)