INDONESIA sebagai negara maritim memiliki potensi luar biasa dalam pengembangan ekonomi biru, khususnya di sektor kelautan dan perikanan. Maka komoditas garam dan rumput laut harus mendapatkan perhatian prioritas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah pesisir.
Meskipun Indonesia memiliki sumber daya kelautan yang melimpah, masyarakat pesisir masih berada dalam kondisi kurang sejahtera. Oleh karena itu, perlu adanya kolaborasi strategis antara berbagai kementerian dan lembaga, termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kooperasi dan UKM, serta Kementerian Desa.
Hal ini diungkapkan R. Hendrian Deputi Pemanfaatan Riset dan Inovasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
“BRIN siap bekerja sama dalam pemberdayaan masyarakat melalui intervensi riset dan inovasi, namun pendekatan lintas sektor juga sangat diperlukan,” ungkapnya dalam keterangan resmi, Kamis (31/10).
Hendrian menekankan pentingnya diskusi dan kolaborasi dengan perguruan tinggi, LSM, masyarakat adat, dan industri untuk memaksimalkan potensi kelautan dan perikanan secara berkelanjutan.
"Mudah-mudahan ini bisa menjadi awal bagi kita untuk terus mengawal pemanfaatan riset inovasi, khususnya dalam rangka mendorong terselenggaranya ekonomi biru di Indonesia dengan lebih baik lagi. Banyak memberikan output yang bisa kita peroleh dan menjadi modal bagi gerakan-gerakan berikutnya," harapnya.
Kepala Pusat Riset Teknologi Industri Proses dan Manufaktur BRIN Hens Saputra menyatakan, permasalahan di Indonesia, kebutuhan garam nasional tinggi lebih dari 4 juta ton/tahun, dan produksinya tidak mencukupi sekitar 2,5 juta ton.
"Garam lokal yang memenuhi syarat mutu garam konsumsi hanya + 700.000 ton/tahun, sedangkan garam rakyat yang tidak terserap pasar sekitar +50% tidak memenuhi garam industry, sehingga harus impor sekitar 3 juta ton,” urainya.
Untuk itu, tambahnya, diperlukan teknologi yang sesuai dalam meningkatkan kualitas garam rakyat menjadi garam industri. “Ekonomi biru dengan prinsip Circular Economy yang berkelanjutan merupakan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan petani garam, serta menjaga kelestarian lingkungan,” tegasnya.
Hens menegaskan pentingnya garam tidak hanya sebagai bumbu masakan, tetapi juga sebagai bahan baku industri untuk produk seperti deterjen dan plastik. Saat ini, garam lokal telah memenuhi standar untuk konsumsi, namun belum memenuhi syarat untuk industri karena kualitasnya yang belum optimal.
“Garam industri membutuhkan kadar NACL minimal 97% dan harus memenuhi standar kalsium serta magnesium yang lebih ketat,” ujar Hens. Dia juga menyoroti tantangan dalam menurunkan kadar magnesium dan kalsium dalam garam rakyat yang selama ini menjadi kendala.
Menurutnya, dalam upaya meningkatkan daya saing, BRIN telah mengembangkan teknologi pengolahan dengan kapasitas besar di Manyar, yang dapat memproduksi garam berkualitas tinggi hingga 99,7% NACL. Proses ini melibatkan penggunaan teknologi hidrosiklon untuk memisahkan kontaminan.
“Proyek ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan kualitas garam, tetapi juga memberdayakan 1.000 petani garam, dan menciptakan lapangan kerja baru di sektor industri. Dengan penerapan teknologi ini, diharapkan harga garam lokal bisa bersaing dengan garam impor yang lebih murah,” bebernya.
Hens menyebutkan potensi pemanfaatan limbah pengolahan garam yang dapat diolah menjadi bahan baku farmasi. Kemudian, inovasi produksi air bersih dari teknologi membrane yang diintegrasikan dengan produksi garam. “Melalui langkah-langkah ini, BRIN berkomitmen untuk meningkatkan nilai tambah garam rakyat dan mendukung ketahanan pangan serta industri dalam negeri. (Ata/P-3)