KURANG dari dua pekan menjelang hari pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024, lembaga riset Populix meluncurkan hasil temuan menarik terkait karakteristik preferensi pemilih terhadap calon kepala daerah (cakada).
Publikasi bertajuk Partisipasi dan Opini Publik Menjelang Pilkada 2024: Tingkat Partisipasi dan Preferensi Kandidat, itu mencatat bahwa mayoritas calon pemilih cenderung lebih mementingkan profil pasangan calon kepala daerah ketimbang partai pengusungnya.
Manajer Riset Sosial Populix, Nazmi Haddyat Tamara, menjelaskan survei yang melibatkan 962 responden dan didominasi oleh Gen-Z dan Milenial ini menunjukkan bahwa 46% responden menyatakan pilihan mereka tidak dipengaruhi oleh partai pengusung.
“Temuan ini cukup menarik, mengingat umumnya calon kepala daerah maju diusung oleh partai politik besar. Temuan ini (juga) bisa jadi proyeksi lanskap politik Indonesia di masa mendatang, yang mungkin lebih menguntungkan calon kepala daerah jalur independen maupun calon yang diusung oleh partai kecil,” ungkap Nazmi dalam keterangannya di Jakarta pada Jumat (15/11).
Kondisi ini semakin diperkuat dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah. Putusan tersebut membatalkan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada dan menyatakan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada inkonstitusional bersyarat.
Nazmi mengatakan melalui putusan ini, partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPRD, bisa mencalonkan pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah. Sehingga partai kecil dan gabungan partai kecil, bisa mengusung calon selama hasil perolehan suara sah partai politik di daerah bersangkutan mencapai 6,5 hingga 10 persen.
“Hasil temuan di atas menunjukkan krusialnya sosok calon kepala daerah, sebagai faktor penentu kemenangan di Pilkada Serentak 2024. Pertanyaan selanjutnya, lantas sosok seperti apa yang dicari publik?” tutur Nazmi.
Lebih lanjut, survei yang diselenggarakan pada 23-26 Mei 2024 ini menganalisis kriteria pemimpin daerah ideal menggunakan metode Thurstone Case V Model. Hasilnya menunjukkan bahwa rekam jejak kinerja menjadi prioritas utama dengan skor 0,880, diikuti visi-misi dan program kerja yang jelas (0,848), kompetensi memahami isu daerah (0,649), dan karakter personal (0,613).
“Menariknya, faktor-faktor seperti pendidikan terakhir, penampilan fisik, dan hubungan kekerabatan dengan pejabat yang disukai justru tidak terlalu memengaruhi pilihan pemilih,” imbuh Nazmi.
Diketahui, Pilkada Serentak 2024 yang akan diselenggarakan pada 27 November mendatang melibatkan 37 provinsi (kecuali DIY), 93 kota (kecuali Jakarta), dan 415 kabupaten (kecuali Kepulauan Seribu).
Melalui hasil risetnya, Nazmi menemukan bahwa tingkat antusiasme pemilih terbilang tinggi, dengan 91% responden menyatakan akan berpartisipasi dalam pemilihan walikota/bupati dan 92% akan menggunakan hak suaranya pada pemilihan gubernur.
“Pemilih muda tampaknya cukup antusias berpartisipasi pada Pilkada kali ini. Harapannya, tingkat partisipasi pada Pilkada Serentak nanti tidak kurang atau bahkan bisa melebihi proyeksi ini. Meski dapat saja antusiasme ini dipengaruhi oleh gegap gempira pemilu lalu dan survei dilakukan tak jauh dari momentum itu,” ungkapnya..
Survei yang melibatkan responden dari berbagai latar belakang pendidikan ini juga mengungkap bahwa sekitar 6% responden masih ragu-ragu untuk menggunakan hak pilihnya, sementara hanya 2% yang menyatakan akan golput.
Salah satu yang menarik, survei ini juga menemukan bahwa 33% responden mengaku pilihan calon kepala daerah justru akan memengaruhi pilihan partai mereka di masa mendatang. Hal ini semakin menegaskan bahwa sosok kandidat memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan afiliasi partai politik dalam preferensi pemilih.
“Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada masyarakat dan pengambil kebijakan tekrait preferensi pemilih dan dinamika politik menjelang Pilkada Serentak 2024, sekaligus menjadi pertimbangan bagi partai politik dalam mengusung calon kepala daerah,” tandasnya. (J-2)