SEJARAH perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan Belanda, tidak bisa dilepaskan dari sosok Malahayati atau Keumalahayati. Ia merupakan Laksamana pemimpin pasukan Inong Balee di Aceh, yang berisi para perempuan prajurit dan turut membunuh tokoh VOC dari Belanda, Cornelis de Houtman.
Salah satu buku yang mendalam menuturkan perjuangan Malahayati adalah buku berjudul Laksamana Malahayati: Sang Perempuan Keumala karya Endang Moerdopo. Buku itu nyatanya memiliki proses penulisan panjang dan versi pertamanya telah diterbitkan hampir satu dekade sebelum akhirnya terbit dengan judul Laksamana Malahayati: Sang Perempuan Keumala pada 2017.
Berbicara dalam acara bedah buku Laksamana Malahayati Sang Perempuan Keumala bersama Garnita Malahayati NasDem di NasDem Tower dan disiarkan secara virtual, Jumat, (15/11), Endang Moerdopo menyebut pertama berkenalan dengan kisah Malahayati pada 2005. Kala itu Endang bertugas ke Aceh untuk penanggulangan bencana tsunami.
Penelusuran mendalam Endang tentang Malahayati setidaknya membutuhkan waktu hingga 2 tahun. Ia sampai pergi ke sebuah perpustakaan di Malaysia.
“Yang membuat saya ketika itu memutuskan untuk menulis tentang Malahayati sebenarnya ketika dalam proses pencarian tentang datanya, saya menemukan dokumen James Lancaster (pelaut Inggris) yang menyebutkan Malahayati pernah mendapat anugerah dari kerajaan Inggris. Di dokumen tersebut juga diceritakan, James pergi ke Aceh dan bertemu dengan Malahayati, seorang laksamana perempuan yang hebat,” cerita Endang.
Buku versi pertama memiliki judul Sang Perempuan Keumala tersebut pertama diterbitkan pada 2008. Pada penerbitan ulang tahun 2017, Endang menambahkan kalimat Laksamana Malahayati, mengacu pada pengangkatan Laksamana Malahayati menjadi Pahlawan Nasional pada 9 November tahun itu.
“Buku ini bercerita tentang bagaimana awalnya seorang perempuan bernama Malahayati ini menjadi protokol Istana Aceh. Juga bercerita tentang suaminya yang merupakan Laksamana laut di Teluk Haru. Serta perjalanannya meminta sang Raja untuk membentuk pasukan perempuan bernama Inong Balee. Pasukan ini yang kemudian menunjukkan semangat berjuang para perempuan, sampai momen yang paling dahsyat adalah bagaimana dia 1 vs 1 melawan Cornelis de Houtman di geladak kapal,” ungkap Endang.
Aktivis perempuan Nursyahbani Katjasungkana menilai buku Laksamana Malahayati Sang Perempuan Keumala turut membuka wawasan tentang pentingnya sejarah dan memberikan penafsiran baru terkait peran perempuan dalam sejarah Indonesia. Terlebih, bagi warga Aceh, buku ini memiliki peran yang lebih penting.
“Ini menjadi teladan yang diberikan oleh perempuan-perempuan dari seluruh nusantara. Menjadi pesan terpenting dalam buku ini. Di masyarakat yang masih sangat patriarki saat ini, ketika laki-laki masih lebih dihargai, munculnya pahlawan nasional perempuan itu sangat luar biasa. Dan ini perlu dilanjutkan untuk menggali rekonstruksi sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan segala bentuk penindasan,” kata Nursyahbani Katjasungkana. (M-1)