DIREKTUR Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK, Satyawan Pudyatmoko mengatakan bahwa dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati, diperlukan aturan turunan untuk pelaksanaan pendanaan konservasi.
“Ini isu penting karena beberapa hal, di antaranya pendanaan konservasi yang disediakan oleh negara baik APBN dan hibah kalau dibandingkan kebutuhan masih ada kesenjangan. Menurut Bappenas, kebutuhan pengelolaan keanekaragaman hayati ada Rp33,6 triliun per tahun sedangkan dana tersedia Rp10,21 triliun ada kesenjangan yang cukup besar dan yang tersedia hanya 26%,” ungkapnya dalam Media Briefing Pendanaan Berkelanjutan untuk Pembiayaan Konservasi Keanekaragaman Hayati di Kantor KLHK, Jakarta, Selasa (5/11).
Oleh sebab itu, menurut Satyawan, DPR RI dan pemerintah memikirkan perlu ada inovasi untuk mewujudkan pendanaan konservasi. Hal ini juga dikatakan untuk mewujudkan Asta Cita Presiden Prabowo, di mana salah satu program terkait ekonomi hijau memiliki beberapa poin terkait dengan perlindungan keanekaragaman hayati dan meningkatkan anggaran untuk memperkuat riset serta kompetensi peneliti di bidang pelestarian satwa dan tumbuhan liar baik terancam punah serta dilindungi.
“Untuk itu, beberapa waktu lalu dilakukan FGD untuk pembelajaran mekanisme pembagian keuntungan sebagai pertimbangan model pendanaan berkelanjutan melalui bisnis keanekaragaman hayati. Terlibat berbagai pihak baik nasional dan internasional. Beberapa hal yang didiskusikan terkait komitmen global untuk mendorong adanya mobilisasi pendanaan sebesar USD 200 miliar per tahun,” ujar Satyawan.
“Ini akan kita tagih terus kepada negara maju yang memiliki pendanaan dan teknologi untuk membantu negara berkembang dan middle income country dan biodiversity di sini berkembangnya. Makanya harus ada sharing. Karena ini memiliki banyak manfaat untuk komunitas global sehingga perlu ada aspek keadilan dalam pendanaannya,” sambungnya.
Lebih lanjut, hal yang jadi permasalahan ketika pihaknya ingin melakukan inovasi pendanaan dalam UU 32/2024, terdapat dana perwalian di mana pemerintah dapat mengelolanya untuk disalurkan kepada penerima manfaat dan penerima manfaat harus berkontribusi pada konservasi serta ada mekanisme dana bergulir agar tidak berhenti di satu titik saja.
“Tapi kita belum punya regulasi terkait bagaimana inovasi pendanaan yang dipayungi peraturan yang clear sebagai pedoman di lapangan. Oleh sebab itu, karena ada kebutuhan untuk menyusun peraturan pemerintah dan peraturan di bawahnya terkait inovasi pendanaan diawali oleh kami dengan menyusun naskah urgensi untuk rancangan pembagian hasil secara berkeadilan untuk keanekaragaman hayati. Jangan sampai kita tidak dapat benefitnya dan costnya terlalu besar,” jelas Satyawan.
Dia menegaskan bahwa pendanaan konservasi ini sebetulnya sudah ada beberapa pihak yang berkomitmen seperti proses membuka windows biodiversity di BPDLH untuk menampung hibah untuk kepentingan konservasi. Menurutnya sudah ada yang menyatakan komitmen dan banyak juga dana terkait NGO internasional, dalam negeri, kerja sama dengan perusahaan dan lainnya.
“Dengan adanya payung hukum saya optimis gap antara pendanaan dan kebutuhan bisa kita perkecil. Karena komitmennya banyak. Kita juga sudah mulai perjanjian dengan Jepang untuk konservasi orang utan. Komitmen Jepang sudah ada sebagai bentuk imbalan karena kita meminjamkan orang utan ini, maka mereka akan membantu Indonesia dengan pembiayaan yang nilainya disepakati. Ini juga bisa kita lakukan dengan kebun binatang lain karena banyak binatang kita tersebar di mana-mana,” tuturnya.
“Dulu kan kita berikan gratis saja ke luar negeri. Ini harus didata ulang dan kalau ada yg menyita binatang kita untuk dibagi dengan negara lain. Ini kan ga boleh. Ini akan kita telusuri. Seolah-olah mereka tidak punya utang ke kita. Makanya peraturan pemerintah sangat penting untuk memayungi hukum untuk tindakan optimalisasi satwa kita di luar negeri untuk kepentingan konservasi,” sambung Satyawan.
Dia menekankan bahwa pendanaan konservasi ini memerlukan anggaran besar sehingga memerlukan kontribusi semua pihak untuk menutup gap antara anggaran dengan kebutuhan yang tersedia.
Dia berharap pendanaan konservasi bisa terselenggara dengan baik serta menggugah berbagai pihak untuk terlibat. Satyawan juga menjamin dana konservasi akan dikelola secara transparan dan bertujuan untuk konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia.
“Kami butuh dukungan masyarakat secara luas untuk kepentingan konservasi keanekaragaman hayati yang hasilnya bukan hanya untuk kita saja, tapi juga generasi yang akan datang dan juga global,” urainya.
Di tempat yang sama, Staf Ahli Menteri Bidang Pangan KLHK, Indra Exploitasia menambahkan bahwa pemerintah saat ini sedang membuat rancangan peraturan pemerintah khususnya untuk pasal 36 a dalam UU 32/2024.
“Kami saat ini sedang merancang piloting bagi hasil yang berkeadilan. Ini konsep yang diterapkan Protokol Nagoya. Kita sudah punya aturan Peraturan Menteri LHK Nomor 2 Tahun 2018 terkait dengan akses benefit sharing. Ada 3 hal yang harus ditempuh yaitu pengakses perlu buat proposal lalu dia wajib melakukan mutual agreement atau hubungan kerja sama dan material transfer agreement,” ucap Indra.
Menurutnya kekurangan dari aturan tersebut adalah bagi hasil yang belum jelas. Indra menekankan bahwa tidak pernah ada bagi hasil untuk konservasi.
“Maka dari itu konsep yang dibangun persentase bagi hasil yang berkeadilan atau benefit sharing. Naskah akademik harus berbasis ilmiah, jadi kita buat kajian dan informasi ilmiah yaitu sumber pendanaan yang sah sesuai sumber perundangan. Kita sudah mengkaji ada 43 potensi sumber pendanaan. Tapi bisa kita pilah sebagai sumber yang sah sesuai aturan perundangan ada 17. Hal yang kita keluarkan itu sanksi administrasi perdagangan satwa misalnya bisa untuk PNBP. Jadi ini kajian yang kita lakukan. Potensinya akan sangat banyak terutama nilainya. Kita lihat sumber sah ini bisa dari bioprospeksi, bidding loan, dan lainnya,” jelasnya.
Dia memberi contoh terdapat dua piloting yang sudah dilakukan yaitu di Flores dan Aceh. Di Flores dilakukan pengembangan ekosistem pengelolaan Taman Nasional Komodo sementara di Aceh dilakukan pengembangan komoditas kopi.
“Jadi masyarakat dapat uang dari yang mereka lakukan. Kita juga kerja sama dengan koperasi yang akan mengelola keuangan yang kita titipkan. Kita bisa lihat bagi hasilnya. Hasilnya dalam bentuk cash dan valuasi dari kegiatan yang dilakukan masyarakat. Ketika menjalankan program tersebut dan menghasilkan keuntungan mereka menyisihkan keuntungan ke koperasi dan dana konservasi. Ini yang kami catat dan dijadikan naskah akademik,” ucap Indra.
“Hal ini bisa menjadi bukti bagi Kementerian Keuangan bukan hanya bagi hasil antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, tapi juga harus kembali ke konservasi. Ada jaminan dalam 2-3 tahun uangnya kembali atau berputar,” sambungnya.
Pihaknya juga dikatakan sudah melakukan pembandingan dengan model di negara lain seperti Tiongkok yang memiliki nilai konservasi yang cukup kecil atau hanya 0,1%, sementara Kosta Rika mencapai 10%.
“Dengan model piloting ini kita bisa lihat bagi hasilnya 50% ke masyarakat, 30% koperasi dan 15% untuk konservasi. Program lain bisa kita tentukan dengan persentase yang berbeda. Pemodelan ini bisa dikaitkan dengan benefit sharing,” tutur Indra.
“Dengan begini kita ingin mengubah paradigma bahwa konservasi keanekaragaman hayati bisa membangun kemandirian dalam hal perekonomian di mana masyarakat berdaulat atas keanekaragaman hayati secara berkelanjutan,” pungkasnya. (H-2)