LEBIH dari 60% penyakit menular yang muncul pada manusia bersifat genetik yang berasal dari hewan dan menular ke manusia. Oleh karena itu, sangat penting untuk merancang dan mengintegrasikan sistem pengawasan dalam konsep One Health atau kesehatan terpadu yang menekankan keterkaitan dan ketergantungan kuat antara kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan.
“Seperti yang terlihat pada kasus Ebola, SARS, Covid-19, dan cacar monyet, yang telah dinyatakan sebagai keadaan darurat kesehatan masyarakat dan menjadi perhatian internasional. Kerangka kerja kesehatan terpadu (One Health Framework) menyoroti perlunya kolaborasi lintas sektor untuk mengatasi masalah kesehatan pada antarmuka manusia, hewan, dan lingkungan,” ujar Peneliti Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Masdalina Pane.
Ia menekankan sistem pengawasan terpadu dan multisumber (integrated and multisource surveillance) dalam konsep One Health di Indonesia sangat diperlukan.
“Artinya, untuk menjaga kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan secara menyeluruh, kita perlu memiliki sistem pengawasan yang kuat dan komprehensif. Sistem ini harus mengintegrasikan data dari berbagai sumber dan melibatkan berbagai sektor,” terangnya.
Lebih lanjut Masdalina menjelaskan, konsep One Health mengakui klausul dan hubungan saling ketergantungan, di antara kesehatan manusia, kesehatan rumah tangga dan dunia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan yang lebih luas termasuk ekosistem.
Pendekatan ini melibatkan berbagai sektor, disiplin ilmu dan komunitas di berbagai tingkatan masyarakat untuk berkolaborasi dalam mempromosikan kesejahteraan, menangani tren kesehatan dan ekosistem, serta memenuhi kebutuhan air bersih, energi, udara, makanan yang aman dan bergizi, aksi perubahan iklim, dan pembangunan berkelanjutan.
“Dengan mengakui saling ketergantungan antara kesehatan manusia, hewan, dan ekosistem, pendekatan ini mendorong kerangka kerja multisektoral dan interdisipliner yang kolaboratif untuk mengatasi tantangan kesehatan yang kompleks, termasuk penyakit zoonosis, resistensi antimikroba, dan masalah lingkungan,” imbuhnya.
Sistem Surveilans Terpadu (Integrated Surveillance System) sendiri terdiri dari beberapa komponen kunci yaitu kerangka kerja kesehatan terpadu yang mengintegrasikan berbagai sektor kesehatan, kolaborasi lintas disiplin yang melibatkan berbagai ahli dari berbagai bidang, pertukaran data dan sumber daya antar berbagai lembaga dan organisasi, pengawasan dan respons berbasis risiko, integrasi dan implementasi kebijakan yang mendukung, dan peningkatan kesadaran serta edukasi masyarakat.
“Di Indonesia kami telah menerapkan pengawasan terpadu dengan menggabungkan pemantauan influenza dan Covid-19. Pasien yang diduga menunjukkan gejala seperti influenza akan menjalani tes diagnostik cepat secara bersamaan. Hasilnya, pengujian PCR reaktif kami mengikuti pengujian genomik yang dilakukan jika kriteria intrusi terpenuhi untuk mendeteksi strain baru influenza atau Covid-19,” imbuhnya.
Sementara itu, Multi Source Collaborative Surveillance (MSCS) atau Surveilans Kolaboratif Multisumber adalah cara sistematis untuk mengumpulkan informasi dari berbagai sumber. Informasi ini kemudian digunakan untuk membantu membuat keputusan yang tepat saat terjadi keadaan darurat kesehatan, seperti wabah penyakit. Cara ini membuat kita bisa lebih cepat mendeteksi adanya ancaman kesehatan, lebih memahami penyebaran penyakit, dan mendapatkan informasi yang lebih lengkap tentang situasi tersebut.
Indonesia sendiri sudah melakukan tindakan inisiatif yang tegas untuk memperkuat pengawasan kolaboratif multisumber terhadap penyakit demam berdarah dengan melibatkan berbagai pihak seperti Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, BMKG, Kementerian Perhubungan, Google, dan lain-lain.
Masdalina menambahkan, disamping berbagai manfaat yang beragam, pendekatan integrasi dan pengawasan multi-sumber juga memiliki beberapa tantangan yang harus diatasi seperti kualitas data, keterbatasan sharing data, SDM, infrastruktur dan pendanaan, serta hambatan politik dan logistik. (Z-9)