Negosiasi Pandemic Treaty Dinilai belum bisa Merespons Keadaan Darurat Pandemi

1 week ago 3
Negosiasi Pandemic Treaty Dinilai belum bisa Merespons Keadaan Darurat Pandemi Asep Eka Nurhidayat, Country Program Manage AHF (kiri) dan Lutfiyah Hanim, peneliti di Indonesia for Global Justice (kanan) saat konferensi pers di Jakarta, Rabu (6/11).(Ist)

PANDEMIC Treaty atau Perjanjian Pandemi yang masih digodok dinilai belum bisa merespons keadaan darurat pandemi di masa mendatang. Rencananya, Perjanjian Pandemi ini bakal selesai pada 2 Desember 2024 atau selambat-lambatnya pada World Health Assembly (WHA) di Mei 2025.

Demikian disampaikan oleh Asep Eka Nurhidayat, Country Program Manage AHF, saat konferensi pers di Jakarta, Rabu (6/11). Menurut dia, yang terpenting bukan kapan waktu Perjanjian Pandemi  tersebut selesai, melainkan isi substansinya yang utama.

“Karena kalau sekarang saja tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Trus buat apa juga gitu?” ujarnya.

Masalah yang ia maksud adalah penanganan wabah Mpox yang masih belum terkendali di Afrika. Untuk diketahui menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Africa CDC), lebih dari 1.100 orang telah meninggal karena Mpox di Afrika dan sekitar 48.000 kasus telah tercatat sejak Januari 2024.

“Kalau buat masyarakat sipil, lebih baik tidak ada kesepakatan, daripada ada kesepakatan yang buruk yang akan merugikan rakyat Indonesia,” tegasnya.

Pihaknya mendesak agar Perjanjian Pandemi yang baru mencakup setidaknya empat hal.

Pertama, kapasitas produksi regional (regional production capacity). Ia menjelaskan, Perjanjian Pandemi harus bisa menyasar secara konkret untuk memfasilitasi produksi vaksin lokal, diagnostik dan therapeutics di negara-negara south global.

“Mereka (Afrika) sudah mengatakan soal Mpox ini butuh 10 juta dosis vaksin, tapi yang buat cuma 1 perusahaan saja. Lalu di mana dosis vaksin itu. Itu (vaksin) ada, tapi bukan di Afrika, setelah disuarakan baru ada semacam sumbangan sukarela ke sana. Itu pun masih jauh dari kebutuhan Afrika,” paparnya.

“Sejauh ini draft dalam Perjanjian Pandemi ini belum menjawab bagaimana Afrika mendapatkan Mpox secepat mungkin. Pandeminya kan di sana, pasiennya di sana, kenapa vaksinnya ada di negara lain?,” imbuhnya lagi.

Kedua, transfer teknologi (technology transfer). Ia menjelaskan transfer teknologi tidak dibatasi pada syarat sukarela semata, tetapi memberikan negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah fleksibilitas yang sama seperti negara kaya seperti Amerika Serikat, yang dapat menggunakan cara non-sukarela dan langkah-langkah tambahan untuk mengatasi keadaan darurat kesehatan dan krisis lainnya.

Ketiga, pembiayaan berkelanjutan. Pihaknya berharap perjanjian tersebut dapat menjamin komitmen finansial jangka panjang yang mengikat negara-negara berpenghasilan tinggi untuk mendukung kesiapsiagaan dan respons pandemi bagi negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Keempat, partisipasi masyarakat sipil. Ia menjelaskan, efektivitas tata kelola kesehatan global kini mengakui peran penting masyarakat sipil dan non-state actors lainnya dalam pengambilan keputusan.

Hingga kini, pertemuan pembahasan Perjanjian Pandemi yang diikuti negara-negara anggota World Health Organization (WHO) masih terus berjalan. Pertemuan di 4 - 15 November 2024 ini adalah pertemuan internasional ke-12 yang masing-masing berjalan dua pekan.

Lutfiyah Hanim, peneliti di Indonesia for Global Justice (IGC) menekankan prinsip dasar yang selalu jadi bahan pertimbangan utama adalah “equity”. Sebab kata dia, penerimaan vaksin masih sangat rendah, terutama di negara-negara yang berpenghasilan rendah dan menengah.

“Melalui komitmen bersatu untuk kesetaraan berkeadilan, kita dapat menciptakan Perjanjian Pandemi yang tidak hanya melayani Asia tetapi juga membangun ketahanan untuk semua, memastikan ngga ada wilayah yang dibiarkan rentan dalam krisis di masa depan,” pungkasnya. (Nov)

Read Entire Article
Global Food