DEMI mendorong para ayah lebih berperan sebagai pelindung keluarga, empat pegiat parenting membentuk perkumpulan Lingkar Ayah Indonesia (LAI). Perkumpulan itu juga telah menggelar dua kali diklat keayahan yang diikuti 38 peserta.
LAI didirikan oleh Rizqi Tajuddin, Irwan Rinaldi Hakimi atau terkenal sebagai Ayah Irwan, Satria Hadi Lubis, dan Hamim. Perkumpulan itu resmi terbentuk pada momen Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2024, dan disahkan secara hukum pada 1 November 2024. Rizqi yang juga menjabat Ketua Umum LAI menjelaskan bahwa para pendiri memiliki visi untuk memberikan pemahaman terhadap para ayah tentang pentingnya kehadiran mereka dalam mendampingi anak-anaknya sesuai fitrahnya.
“Program ini membantu ayah-ayah di Indonesia untuk lebih memahami bagaimana mendidik anak lelaki agar tumbuh sebagai pria sejati yang mampu mengambil tanggung jawab serta mendidik anak perempuan untuk tumbuh menjadi perempuan yang kuat dan mandiri. Para alumni ini akan berperan sebagai fasilitator dan mentor di komunitas lokal mereka, membantu ayah-ayah lain dalam mengembangkan kapasitas mereka sebagai pelindung dan pengasuh sejati,” kata Rizqi kepada Media Indonesia, Senin (11/11)
Rizqi mengungkapkan dari beberapa kesempatan berkeliling Indonesia, ia semakin menyadari pentingnya peran ayah dalam pengasuhan karena semakin banyaknya fenomena father hunger atau keadaan anak yang kekurangan kasih sayang ayah. Kondisi itu tidak berarti karena sang ayah tiada.
”Jadi anak-anak yang lapar ayah karena ayahnya di rumah, tidak berfungsi secara psikologis. Mungkin fisik ada tapi psikologis tidak terlalu berperan. Sayap pengasuhan itu harusnya seimbang dari ayah dan ibu. Nah sekarang sayapnya tidak imbang. Yang terjadi anak tumbuh fisiknya tidak sesuai dengan psikologisnya. Jadi fisiknya bisa jadi 21 tahun, tapi secara psikologis dia umur 11 tahun,” kata Rizqi.
Ia pun menceritakan keluhan seorang ibu tentang suaminya yang ada secara fisik tetapi tidak menjalankan peran ayah pada anak-anak mereka. Akibatnya, sang ibu merasa anaknya menunjukkan perilaku penyimpangan seksual.
Father hunger juga bukan berarti karena ayah sama sekali tidak berinteraksi dengan anak. Melainkan, bisa saja karena interaksi yang tidak menunjukkan kasih sayang, contohnya ayah yang menerapkan pola asuh yang keras.
Rizqi mengungkapkan bahwa cara asuh yang keras bisa berdampak pada lahirnya sifat pembully pada anak. “Rata-rata anak-anak yang melakukan kekerasan di sekolah itu punya hubungan yang buruk dengan bapaknya, kasar dan sebagainya. (Dampaknya anak jadi) Keras banget nantinya atau dia akan menarik diri dari lingkungan, lembek banget. Jadi ada anak-anak yang dikerasin sama orangtuanya atau nggak diperhatikan sama orangtuanya di sekolah jadi melunjak. Ada juga yang menarik diri dari lingkungan, di pojokan dan sebagainya, jadi pada posisi yang nggak bener,” lanjutnya.
Rizqi menambahkan bahwa usia 0-15 tahun merupakan usia penting untuk pembentukan karakter oleh orangtua. “Di atas 15, anak-anak itu sudah butuh figur lain selain orang tuanya. Karena kan mereka sudah punya passion yang orang tuanya gak mampu,” jelasnya.
Rizqi pun tidak sekadar menyampaikan wejangan, namun menerapkan pula konsep menjadi role model bagi anaknya yang berusia 10 tahun. Demi mendorong anaknya suka berolahraga, ia pun rutin berolahraga. Saat menyuruh anaknya melakukan sesuatu, ia berbicara dengan tegas namun tetap sopan. Ia juga berterima kasih saat sang anak selesai melakukan kewajiban di rumah, misalnya membereskan kasur sendiri.
Pola asuh itu diakui menyenangkan oleh sang anak, Gaza (10). ”Karena ayah suka berolahraga, saya juga suka olahraga. Saya juga ingin tegas tetapi sopan seperti ayah,” katanya.
Lalu bagaimana bentuk-bentuk parenting lainnya sesuai dengan usia anak? Baca penuturan lebih lanjut di Media Indonesia edisi Minggu, 17 November 2024. (M-1)