INDONESIA darurat judi online (judol). Pernyataan itu tidak berlebihan. Dalam dua-tiga tahun terakhir, judol cenderung makin meluas dan telah banyak memakan korban. Ketika masyarakat makin terbiasa memanfaatkan gadget, yang terjadi tidak hanya mempermudah komunikasi, tetapi juga berisiko menyebabkan banyak warga masyarakat terpapar oleh godaan judol.
Ketersediaan jaringan dan akses internet yang makin mudah menyebabkan masyarakat kerap kali terpapar oleh iklan judol yang sering kali disamarkan sebagai aplikasi permainan yang sepintas tampak tidak berbahaya. Bukan tidak mungkin terjadi, ketika di awal masyarakat hanya iseng dan kemudian mencoba terlibat dalam permainan judol, ternyata ujung-ujungnya menjadi makin kecanduan. Mereka menjadi adiktif untuk terus berjudi karena tawaran mimpi dan cara instan untuk mengubah nasib.
Bisa dibayangkan, siapa yang tak tergoda ketika judol yang ditawarkan dalam berbagai iklan menjanjikan perubahan dan kemenangan yang cepat bagi pelaku. Survei Populix 2023 berjudul Understanding the Impact of Online Gambling Ads Exposure menemukan sekitar 84% pengguna internet di Indonesia sering melihat iklan judol di media sosial, seperti Instagram, Youtube, dan Facebook.
Godaan
Kalau berbicara idealnya, dalam masyarakat yang sudah masuk era pascaindustrial, sudah sewajarnya jika mereka makin kritis dan tidak mudah terpengaruh oleh godaan yang keliru, seperti judol. Masyarakat yang memiliki kemungkinan untuk mengakses berbagai informasi sudah seharusnya memiliki kesempatan yang lebih terbuka untuk lebih kritis dan mengembangkan literasi informasi yang baik.
Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pada 2024, jumlah pengguna internet di Indonesia telah mencapai 221.563.479 orang dari total populasi 278.696.200 jiwa, dengan tingkat penetrasi internet tinggi hingga 79,5%. Data itu memperlihatkan hampir 80% dari penduduk Indonesia memiliki akses pada internet dan karena itu, mereka berisiko terpapar oleh iklan judol yang banyak bertebaran di dunia maya.
Bagi masyarakat yang sudah mapan dan memiliki latar belakang keagamaan yang kuat, mereka rata-rata tidak akan mudah terpengaruh oleh iklan judol. Namun, lain soal bagi masyarakat yang kondisi ekonominya pas-pasan atau masyarakat yang memiliki mimpi yang belum kesampaian. Masyarakat yang labil, ketika menghadapi godaan iklan judol yang banyak berseliweran di dunia maya, bukan tidak mungkin akan tergoda untuk mencoba bermain judi.
Masyarakat yang merasa nasib mereka tak kunjung membaik lewat jalur kerja dan usaha bukan tidak mungkin akan melihat judol sebagai peluang baru yang menjanjikan. Dalam berbagai kasus, sering kali terjadi judol dilihat sebagai jalan pintas untuk mendapatkan uang banyak dengan cepat. Judol dikonstruksi sebagai kesempatan untuk berubah nasib. Meskipun disadari risikonya sangat tinggi, dalam pikiran masyarakat yang sudah adiktif mereka umumnya melihat judol ialah pintu harapan.
Seperti definisinya, judi pada dasarnya ialah pertaruhan dengan sengaja, yaitu mempertaruhkan satu nilai atau sesuatu yang dianggap bernilai dengan menyadari adanya risiko dan harapan-harapan tertentu pada peristiwa-peristiwa, permainan pertandingan, perlombaan, dan kejadian-kejadian yang tidak/belum pasti hasilnya (Kartono, 2005).
Bagi masyarakat yang sudah kecanduan berjudi, mereka umumnya sulit diajak bernalar sehat karena pikiran mereka lebih banyak didominasi mimpi untuk mengubah nasib lewat permainan judol daripada mencari nafkah lewat jalur kerja yang tak kunjung memberikan harapan.
Mimpi seorang pejudi yang sudah adiktif ialah kapan mereka bisa meraih jackpot atau kemenangan besar dari hasil berjudi. Seperti halnya minuman keras dan narkotika, judol niscaya menyebabkan kecanduan karena para pejudi akan terus dihadapkan pada harapan kosong satu ke harapan berikutnya yang diimpikan.
Kecanduan judi yang disebut juga gambling disorder sebetulnya merupakan salah satu bentuk gangguan mental yang kronis. Hanya saja si pelaku judi umumnya tidak menyadari kekeliruan mereka karena sudah telanjur terjerumus dalam perilaku judi yang irasional.
Media Indonesia edisi 13 November 2024 melaporkan curhat para istri ke Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi). Mereka ialah ibu-ibu yang memilki suami pecandu judol. Sejumlah ibu rumah tangga curhat karena suami mereka harus masuk penjara gara-gara judol. Istri yang lain bahkan harus cerai dengan suami mereka karena suami mereka terlilit oleh utang yang menggunung gara-gara judol. Alih-alih bertanggung jawab melindungi dan menghidupi anak-istri, orang yang sudah kecanduan judol umumnya tidak akan berpikir panjang dan cenderung menghalalkan segala cara untuk mengejar mimpi mereka.
Memberantas judol
Memberantas judol harus diakui bukan hal yang mudah. Kesulitan memberantas judol disebabkan praktik ekonomi ilegal itu didukung struktur yang sudah menggurita, termasuk keterlibatan oknum aparat. Polda Metro Jaya, misalnya, belum lama ini telah menangkap 16 tersangka terkait dengan penyalahgunaan wewenang pemblokiran situs judol. Diketahui, sebanyak 11 orang merupakan pegawai Kemenkomdigi, sementara lima orang lain merupakan warga biasa.
Tidak cukup hanya mengandalkan langkah Kemenkomdigi yang telah memblokir lebih dari 2.625.000 situs judi online per Juli 2024. Yang dibutuhkan ke depan sesungguhnya ialah, pertama, bagaimana membangun literasi keuangan yang memadai. Masyarakat yang tidak memiliki literasi keuangan yang memadai niscaya tidak akan mampu berhitung dan mengelola keuangan mereka secara sehat. Berjudi ialah pilihan orang-orang yang tidak memliki literasi keuangan yang cukup.
Kedua, sejauh mana pemerintah bersikap tegas membongkar backing di balik meluasnya judol di masyarakat. Backing yang dimaksud tentu bukan hanya aparatur birokrasi yang melindungi situs-situs judol di dunia maya, melainkan juga orang-orang kuat di Tanah Air yang kerap kali disebut-sebut dalam rumor sebagai penyelenggara judol yang sesungguhnya. Di sini butuh ketegasan pemerintah untuk berani mengambil sikap agar segera memberantas judol hingga seakar-akarnya.
Ketiga, bagaimana membangun kesadaran masyarakat untuk ikut mengawasi dan melaporkan konten judol yang mengancam masyarakat. Tidak mungkin aparat penegak hukum mampu sendiri mengawasi peredaran judol. Tanpa adanya keterlibatan masyarakat, jangan harap judol dapat diberantas.