DINAMIKA politik jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 kian panas. Adanya pertemuan antara Presiden ketujuh Joko Widodo atau Jokowi dengan salah satu pasangan calon Pilkada Jakarta, Ridwan Kamil di Solo beberapa waktu lalu menuai kontroversi. Jokowi dituding masih melakukan praktik cawe-cawe atau mencampuri urusan kontestasi politik daerah.
Tokoh Pro-demokrasi dan HAM, Todung Mulya Lubis menurutkan bahwa perilaku cawe-cawe Jokowi di Pilkada 2024 seolah menjadi tanda bahwa demokrasi Indonesia mengalami krisis yang semakin parah. Hal itu dipicu oleh menguatnya peran negara dan pemerintah atau fenomena strong state namun terjadi pelemaham posisi masyarakat sipil.
“Dalam lima tahun terakhir ada fenomena strong state, tapi civil society kita semakin lemah. Ketika strong state eksis maka ada kekuatan pemerintah yang tidak bisa dikontrol dan dihentikan. Itu yang diperlihatkan Presiden Jokowi, walaupun sudah tak menjabat tapi masih bisa mengendalikan politik,” ujarnya di Jakarta pada Rabu (6/11).
Todung menjelaskan beberapa faktor yang menjadi dasar Indonesia mengalami fenomena strong state adalah lumpuhnya kekuatan oposisi yang menyebabkan partai politik berada pada koalisi yang sama.
“Parpol saat ini lumpuh dan dijinakkan dalam satu koalisi, semua masuk dalam kekuasaan. Saat ini tidak ada partai lain selain PDIP yang menjadi penyeimbang, tentu hal ini akan mempengaruhi prinsip check and balance sehingga menghilangkan tanggung jawab pengawasan dan berpotensi terjadi abuse of power,” jelasnya.
Todung menyayangkan sikap Jokowi yang secara tidak etis terus menggerus sistem demokrasi di Indonesia. Ia menilai, hampir tiga dekade pasca reformasi, demokrasi di Indonesia semakin mengalami kecacatan dan kini berada di ambang batas kematian.
“Meskipun sejak reformasi kita sudah melahirkan banyak lembaga demokrasi seperti MK dan KPU bahkan melakukan pemilu, awalnya kita berharap omo menjadi modal untuk memperkuat demokrasi, tapi saat ini justru stagnan dan mundur. Demokrasi di Indonesia saat ini adalah demokrasi yang cacat,” tandasnya.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menjelaskan bahwa praktik cawe-cawe Jokowi di Pilkada serentak akan menyebabkan demokrasi di Indonesia mengalami penurunan dan tercoreng di mata dunia.
“Cawe-cawe Jokowi dalam Pilpres berulang di dalam konteks Pilkada dengan menyalahgunakan daya sumber negara. Sebelumnya, Komite HAM PBB pernah mempertanyakan integritas pemilu di indonesia, jika praktik ini masih dilakukan, akan membuat kualitas demokrasi semakin tercoreng,” jelasnya.
Usman menurunkan bahwa parameter sebuah negara bisa dikatakan demokrasi setidaknya harus memenuhi tiga parameter utama yakni adanya kebebasan sipil di ruang publik, adalah oposisi untuk keseimbangan kekuasaan dan terlaksananya pemilu yang berintegritas.
“Dua parameter sudah tidak lagi berkualitas di indonesia, dimana ruang publik membusuk dan oposisi tidak ada lagi. Sementara parameter ketiga yakni pemilu, dulu indonesia masih dianggap punya kualitas pemilu yang baik sehingga dikatakan demokrasi di Indonesia tergolong jenis temporal,” imbuhnya.
Usman menilai pemerintahan Jokowi secara nyata teah melakukan penghancuran ruang publik melalui undang-undang yang bersifat represif dengan lahirnya UU Hukum Pidana dan UU ITE hingga pengerahan aparat yang represif pada berbagai dialog publik.
Sedangkan secara sistem politik dan pemerintahan, Jokowi juga dinilai telah menghancurkan pola oposisi baik di parlemen maupun di pemerintahan, hingga menjadikan instrumen hukum sebagai alat politik untuk mempertahankan kekuasaan.
Hal itu semakin diperparah dengan adanya praktik cawe-cawe Jokowi dalam Pilpres 2024 yang kembali dilakukan pada Pilkada 2024. Menurut Usman, perilaku Jokowi tersebut menyebabkan parameter elektoral di Indonesia mengalami penggerusan dan dianggap tidak berkualitas.
“Sehingga saat ini, ketiga parameter tersebut tidak lagi berkualitas, hal itu menyebabkan Indonesia secara praktik tidak lagi patut menyandang negara demokrasi dan tengah menuju negara otoriter,” katanya. (Dev/M-4)