Apindo: Penerapan PPN 12% Perlu Penyesuaian Waktu

1 day ago 2
 Penerapan PPN 12% Perlu Penyesuaian Waktu Ilustrasi pajak(Dok.MI)

PEMERINTAH diminta mempertimbangkan kembali penerapan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% di 2025. Ruang untuk menunda kebijakan itu dinilai terbuka lebar dan mudah dilakukan, seperti penundaan pajak karbon.

"Perlu membuat penyesuaian waktu. Tentang penyesuaian waktu kebijakan ini, juga pernah dilakukan atas penerapan pajak karbon. Jadi, bukan sesuatu yang baru," ujar Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani saat dihubungi, Jumat (15/11). 

Bagi dunia usaha, lanjutnya, penundaan kenaikan tarif PPN merupakan kebijakan yang rasional. Pasalnya pemerintah masih perlu untuk menjaga daya beli masyarakat dan mendorong efisiensi produksi. Itu bertujuan agar supply dan demand ekonomi dapat terjaga dengan baik.

Saat ini, masyarakat secara umum juga dipandang masih membutuhkan insentif yang tepat, alih-alih menambah beban melalui penaikan tarif PPN. Kenaikan tarif yang dipaksakan juga dinilai akan menjadi bumerang bagi pemerintah. 

Sebabnya, kenaikan tarif PPN bakal mendorong kenaikan harga-harga barang dan jasa. Itu berpotensi mendorong penurunan permintaan konsumsi. Konsumsi yang kian lemah bakal memantik penurunan produksi dan mengakibatkan stagnasi, atau bahkan penurunan geliat ekonomi. 

Dampak penaikan tarif PPN juga berpotensi mengerek tingkat inflasi. Selisih kenaikan inflasi, kata Ajib, akan mengurangi tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia.

"Pemerintah seharusnya melakukan diskusi dengan semua stakeholder, termasuk masyarakat luas dan juga pengusaha untuk mengukur efek kenaikan tarif PPN di masyarakat," jelasnya. 

"Atau, misalnya, bisa juga pemerintah memberikan insentif dalam bentuk kenaikan PTKP (penghasilan tidak kena pajak), sehingga daya beli masyarakat tetap terjaga. PTKP yang sejak tahun 2016 sebesar Rp54 juta per tahun, bisa dinaikkan batasnya," tambah Ajib. 

Dampak penaikan tarif PPN menjadi 12% banyak dinilai akan memberatkan perekonomian. Center of Economic and Law Studies, misalnya, mengalkulasi dampak kebijakan itu akan mengerek tingkat inflasi Indonesia di 2025 pada kisaran 4,5%-5,2% secara tahunan. 

Sementara itu laporan dari Lembaga Penyelidik Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia menyebutkan, penaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025 dinilai berpeluang memperlebar tingkat kesenjangan di Indonesia. Itu karena tarif PPN berlaku sama bagi semua golongan dan memungkinkan masyarakat di kelompok menengah bawah menjadi yang paling tertekan. 

Skenario tersebut dapat memperburuk tingkat kemiskinan dan memperlebar kesenjangan sosial, mendorong lebih banyak orang ke bawah garis kemiskinan dan semakin membebani kelompok-kelompok rentan. 

Penerapan tarif PPN yang lebih tinggi juga bakal memberikan pengaruh langsung terhadap inflasi. Kenaikan harga barang dan jasa akan mendorong peningkatan biaya hidup masyarakat secara keseluruhan.

Laporan LPEM UI turut menunjukkan, kenaikan beban imbas tarif PPN yang tinggi paling dirasakan oleh kelompok masyarakat menengah ke bawah. 20% kelompok rumah tangga termiskin diperkirakan akan mengalami kenaikan beban sebesar 0,86% poin, sementara 20% kelompok rumah tangga terkaya mengalami kenaikan beban 0,71% poin. 

Demikian pula, ketika membandingkan beban PPN selama tarif PPN saat ini sebesar 11% terhadap tarif 10% selama era covid-19 (2020-2021), beban PPN untuk 20% rumah tangga terkaya meningkat sebesar 0,55% poin, sementara itu meningkat sebesar 0,71% poin untuk 20% rumah tangga termiskin. 

Kenaikan beban paling berat dirasakan oleh rumah tangga yang berada pada persentil ke-20 hingga ke-22, di mana beban mereka meningkat sebesar 0,91% poin. 

Dampak regresif dari kenaikan tarif PPN menjadi jelas ketika melihat beban PPN berdasarkan kelas pendapatan. Dibandingkan dengan periode sebelum covid-19 dengan tarif PPN 10%, tarif PPN saat ini sebesar 11% menghasilkan kenaikan yang lebih kecil untuk rumah tangga terkaya.

Secara khusus, beban PPN meningkat sebesar 0,84% poin untuk kelompok termiskin, 0,87% poin untuk kelompok rentan, dan 0,61% poin untuk kelompok menengah. Sebaliknya, kenaikan beban PPN hanya 0,62% poin untuk kelas atas.

Lebih lanjut, kenaikan tarif PPN juga dinilai bakal berdampak pada daya saing, utamanya di sektor pariwisata. Kenaikan tarif PPN dapat menghalangi pengunjung internasional yang menganggap Indonesia kurang hemat biaya dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang memiliki tarif pajak yang lebih rendah. 

Situasi tersebut pada akhirnya juga dapat memengaruhi investasi asing, karena investor sering mencari daerah dengan lingkungan pajak yang lebih menguntungkan. Selain itu, peningkatan biaya produksi yang terkait dengan PPN yang lebih tinggi dapat mengurangi daya saing ekspor Indonesia di pasar global.

Tantangan implementasi juga perlu diperhatikan. Kenaikan PPN dapat menyebabkan peningkatan tax avoidance atau tax evasion, terutama di sektor-sektor yang memiliki tingkat informalitas yang tinggi atau pengawasan yang terbatas.

Risiko itu mengancam melemahkan tujuan pendapatan pemerintah dan mempersulit upaya penegakan hukum, sehingga berpotensi mengimbangi manfaat yang diharapkan dari kenaikan tarif PPN.

Kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025 sedianya tertuang dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi dan Peraturan Perpajakan (HPP) Pasal 7 (1): Tarif PPN sebesat 12% berlaku paling lambat tanggal 1 Januari 2025. 

Namun sejatinya pemerintah memiliki ruang untuk melakukan penundaan penaikan tarif itu. Kewenangan itu diberikan melalui UU PPN pasal 7 ayat (3). Beleid itu menyebutkan pemerintah dapat mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15% melalui Peraturan Pemerintah. (Mir/M-3)

Read Entire Article
Global Food