TERPILIHNYA Sunarto, mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yusidisial yang dikenal sebagai Hakim Agung berintegrtias dan independen sebagai Ketua Mahakamah Agung baru dengan meraih suara mutlak 30 suara dari 42 suara sah membuka harapan baru akan ditegakkannya kebenaran dan keadilan untuk Mardani H Maming berupa putusan bebas.
Terlebih baru-baru ini masyarakat baru saja dipertontonkan dengan kasus Zarof Rikard, mantan Pejabat Eselon I Mahkamah Agung sebagai makelar kasus perkara Robert Tanur.
Kasus tersebut membuka fakta banyaknya perkara yang selama ini ditangani Mahkamah Agung terindikasi diputus secara tidak independen dan sarat intervensi.
Hal ini terlihat dalam perkara yang menjerat Mardani H Maming yang pada tingkat kasasi dipidana dengan pidana penjara selama 12 tahun.
Putusan pemidanaan Mardani H Maming ditengarai sebagai akibat intervensi dan rekayasa hukum pihak tertentu yang memaksakan agar Mardani H Maming dipidana.
Di masa Sunarto, Komisi Yudisial (KY). Anggota KY, Prof Amzulian berharap terjadi perubahan untuk MA. Sehingga MA menjadi badan peradilan yang agung dan semakin dipercaya publik.
"Terpilihnya Prof Sunarto sebagai Ketua MA, menjadi angin segar penegakan hukum yang berkeadilan serta bebas dari intervensi. Harapannya, semoga MA menjadi badan peradilan yang benar-benar dipercaya publik," harap Amzulian.
Para akademisi, pakar hukum dan pegiat antikorupsi juga mempunyai harapan yang sama pada Sunarto. Saat ini, murwah MA sebagai benteng terakhir untuk mencari keadilan, ada pada sosok Sunarto.
Di tengah harapan baik, para pakar juga mewanti Sunarto agar bebas dari intervensi dalam penanganan kasus hukum. Salah satunya dalam proses penanganan kasus Peninjauan Kembali (PK) mantan Bupati Tanah Bumbu, Mardani H Maming.
Sunarto diminta untuk benar-benar mempergunakan hukum pada tempatnya, dan menggunakan nuraninya dalam memproses perkara Maming. Hal itu dikarenakan, adanya dugaan kuat kalau kasus Maming sengaja direkayasa.
Seperti halnya, disampaikan, Prof. Dr, Topo Santoso, SH, MH meminta agar pengusaha Mardani H Maming segera dibebaskan karena adanya kekhilafan hakim.
Akademisi yang juga menjabat sebagai Tim Asistensi Penyusunan Rancangan UU Pemberantasan Tipikor dan RUU KUHP Nasional ini, menyatakan ada beberapa hal yang menunjukkan kekeliruan hakim yang mengadili Mardani H Maming.
"Putusan pengadilan atas Mardani H Maming dengan jelas memperlihatkan kekhilafan atau kekeliruan nyata. Unsur menerima hadiah dari pasal yang didakwakan tidak terpenuhi karena perbuatan hukum dalam proses bisnis seperti fee, dividen, dan utang piutang merupakan hubungan keperdataan yang tidak bisa ditarik dalam ranah pidana," katanya.
Apalagi, ada putusan Pengadilan Niaga yang ditempuh dalam mekanisme sidang terbuka. Putusan itu menyatakan tidak terdapat kesepakatan diam-diam, karena itu tidak ada hubungan sebab akibat antara keputusan terdakwa selaku Bupati dengan penerimaan fee atau dividen.
"Sehingga tidak terdapat niat jahat (mens rea) pada perbuatan terdakwa. Dengan demikian, Mardani H Maming harus dinyatakan bebas," kata akademisi yang juga menjadi pengajar pendidikan calon Hakim Tipikor di Mahkamah Agung ini.
Pendapat yang sama juga dilontarkan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH, LLM. Ketua Tim Penyusun RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan RUU Pembentukan KPK, menyampaikan bahwa terdapat delapan kekeliruan serius dalam penanganan perkara Mardani H. Maming.
Ia menegaskan bahwa tuntutan dan putusan pemidanaan tidak didasarkan pada fakta hukum, melainkan lebih didasarkan pada imajinasi penegak hukum.
"Proses hukum terhadap terdakwa bukan hanya menunjukkan kekhilafan atau kekeliruan nyata, tetapi merupakan sebuah kesesatan hukum yang serius," tegas Prof. Romli.
Dukungan terkait kasus ini juga datang dari Akademisi Departemen Hukum Administrasi Negara dan Departemen Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada, Dr Hendry Julian Noor S.H., M.Kn dan tim Hukum UGM, berpendapat bahwa bukti-bukti yang diajukan oleh jaksa penuntut umum tidak cukup kuat untuk membuktikan adanya unsur pidana korupsi.
Salah satu poin penting yang dikritisinya adalah penerapan Pasal 12 huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Ia berpendapat bahwa tindakan Mardani Maming masih berada dalam koridor kewenangannya sebagai kepala daerah dan tidak melanggar prosedur yang berlaku.
"Putusan ini mengkhawatirkan karena mengaburkan batas antara tindakan yang bersifat administratif dengan tindak pidana korupsi," ujarnya saat memberi keterangan ahli terkait kekeliruan dan kekhilafan yang nyata hakim dalam mengadili perkara Mardani H Maming.
"Terdapat kecenderungan untuk menjerat setiap pejabat publik dengan tuduhan korupsi, tanpa memperhatikan secara cermat unsur-unsur pidananya," sambungnya.
Desakan pembebasan Maming mencuat setelah adanya eksaminasi putusan hakim dan temuan adanya kekhilafan dan kesalahan hakim saat memberikan vonis.
Pengajar Hukum Pidana di Fakultas Hukum UII, Dr Mahrus Ali menilai, Mardani H Maming tidak melanggar semua pasal yang dituduhkan sehingga harus dibebaskan demi hukum dan keadilan.
"Koreksi putusan menjadi penting, ini tidak hanya untuk Maming, tapi untuk mempertebal rasa kepercayaan publik pada Mahkamah Agung," terang Mahrus Ali. (Adv)