
PENGAMAT pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menyebutkan, kebijakan pemerintah terkait harga dari MinyaKita saat ini tidak menguntungkan produsen. Itu mengapa menurutnya, pemerintah perlu membuat kebijakan baru terkait dengan penetapan harga minyak goreng rakyat atau MinyaKita.
Dikatakan Khudori, pengelola kebun sawit, produsen MinyaKita, pedagang, dan konsumen adalah satu mata rantai tak terputus. Kebijakan yang tak memberatkan produsen itu akhirnya justru membuat beberapa produsen nakal mengurangi takaran MinyaKita.
"Ke depan, pemerintah perlu membuat kebijakan yang tidak mendistorsi harga," ujar Khudori, Senin, (10/3).
Khudori menjelaskan biaya pokok produksi sudah jauh melampaui harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp15.700. Harga bahan baku minyak goreng sawit, yakni crude palm oil (CPO), dalam negeri selama enam bulan terakhir tercatat sekitar Rp15.000-16.000 per kilogram.
Apabila angka konversi CPO ke minyak goreng 68,28 persen dan 1 liter setara 0,8 kilogram, diketahui untuk memproduksi MinyaKita seharga Rp15.700 per liter, maka harga CPO yang dibutuhkan kurang lebih Rp13.400 per kilogram.
"Ini baru menghitung bahan baku CPO. Belum memperhitungkan biaya mengolah, biaya distribusi, dan margin keuntungan usaha. Kalau ketiga komponen itu diperhitungkan, sudah barang tentu harga CPO harus lebih rendah lagi," katanya.
Mengacu pada peraturan pemerintah, distribusi MinyaKita dari produsen ke distributor I (D1) dijual seharga Rp13.500 per liter. D1 ke D2 seharga Rp14.000 per liter, D2 ke pengecer Rp14.500 per liter, dan pengecer ke konsumen Rp15.700 per liter.
Lebih lanjut, kata Khudori dengan tingkat harga CPO saat ini dan keharusan produsen MinyaKita menjual ke D1 maksimal sebesar Rp13.500 per liter, maka kerugian tidak bisa dihindari. Menurut Khudori, jika tidak ada koreksi kebijakan, ada dua kemungkinan yang terjadi yakni produsen menjual MinyaKita sesuai HET tapi mengorbankan kualitas, menyunat dan mengurangi isi kemasan. Kedua, produsen tetap memproduksi MinyaKita sesuai kualitas dan tidak menyunat isi, tetapi menjual dengan harga di atas HET.
"Keduanya berisiko dan melanggar aturan. Tapi kalau aturan yang ada tidak memungkinkan usaha eksis dan sustain tanpa melanggar aturan, yang patut disalahkan pengusaha atau pembuat regulasi," ucap Khudori.
Kelemahan Aturan MinyaKita
Aturan terkait MinyaKita tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 49 Nomor 2022 tentang Tata Kelola Program Minyak Goreng Rakyat. Salah satu tujuannya adalah memastikan ketersediaan minyak goreng di dalam negeri melalui skema wajib pasok pasar domestik (domestic market obligation/DMO).
Pemenuhan DMO merupakan syarat eksportir CPO mendapatkan izin ekspor dari pemerintah dengan rasio tertentu sesuai dinamika pasar. Namun, kelemahan dari skema DMO ini adalah tidak mengakomodasi fluktuasi harga CPO sebagai bahan baku minyak goreng. Ketika harga CPO naik, otomatis harga MinyaKita juga naik.
Sebaliknya, ketika harga CPO turun, harga MinyaKita di konsumen tidak otomatis turun. Selain itu, beleid ini juga potensial menghambat ekspor dan menurunkan penerimaan negara.
Khudori mengatakan harga MinyaKita yang tidak sesuai HET bukanlah hal baru. Oleh karena itu, ia merekomendasikan untuk membuat kebijakan baru untuk harga MinyaKita dan memberikan subsidi MinyaKita untuk kelompok miskin/rentan dan UMKM, sebaiknya dilakukan dengan transfer tunai.
"Uang hanya bisa digunakan untuk membeli MinyaKita, tidak bisa dicairkan atau digunakan membeli yang lain. Cara ini tidak mendistorsi harga, selain juga lebih tepat sasaran, atau kebijakan lain yang ramah pasar," kata Khudori. (Ant/H-3)