
KOMISI untuk orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyoroti pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang didominasi dengan corak militeristik. Hal itu terlihat dari jumlah pejabat berlatar belakang militer di jajaran kabinet yang lebih banyak dibandingkan di masa-masa presiden sebelumnya.
Koordinator Kontras Dimas Bagus Arya, mengatakan dominasi corak militer itu semakin diperparah dengan penunjukan individu berlatar belakang militer yang masih aktif dalam Kabinet Merah Putih.
“Salah satu alasan utamanya adalah Prabowo tidak percaya pada politisi dan birokrat sipil. Koalisi politiknya juga tidak cukup solid, sehingga dia lebih nyaman mempercayakan jabatan kepada kalangan militer, yang dianggapnya lebih loyal dan disiplin,” jelas Dimas dalam keterangannya, Senin (10/3).
Dimas memaparkan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), hanya ada satu pejabat berlatar belakang militer di awal pemerintahannya, yaitu Sudi Silalahi sebagai Menseskab.
Sementara, pada periode pertama Presiden Jokowi, ada dua orang, yaitu Tejo Edy sebagai Menkopolhukam dan Ryamizard Ryacudu sebagai Menteri Pertahanan. Sementara itu, jumlah pejabat dari kalangan militer jauh meningkat pada masa Prabowo.
“Di era Prabowo, jumlahnya melonjak drastis ada sekitar 10 orang dengan latar belakang militer, bahkan satu di antaranya masih berstatus aktif, yaitu Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet,” ungkapnya.
Dimas menyebut posisi-posisi strategis dalam kabinet seperti Menko Infrastruktur, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Transmigrasi, hingga berbagai Wakil Menteri dan Kepala Lembaga diisi oleh orang-orang dari militer. Fenomena ini, kata dia, memperlihatkan bahwa pemerintahan Prabowo sangat kental dengan corak militeristik.
Selain kabinet inti, Kontras juga menggarisbawahi adanya sejumlah individu dengan latar belakang militer yang menduduki posisi strategis dalam implementasi program prioritas Prabowo.
Program yang ia maksud adalah Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dijalankan oleh Badan Gizi Nasional (BGN). Lembaga baru tersebut diisi oleh lima orang dengan latar belakang militer, termasuk Mayjen (Purn) Lodewyk Pusung sebagai wakil ketuanya
“Lihat saja bagaimana keterlibatan TNI dalam berbagai program pemerintah. Program MBG (Makan Bergizi), misalnya, melibatkan 351 Kodim, 14 Lantamal, dan 41 Lanud. Ini menunjukkan bahwa Prabowo bukan hanya memiliki jaringan kuat di kalangan militer, tapi juga mengedepankan loyalitas kepada rekan-rekannya di dunia militer,” jelas Dimas.
“Sementara itu, dalam proyek Food Estate, TNI sudah terlibat sejak Prabowo menjadi Menhan, dengan pengerahan batalyon ke Kalimantan Tengah dan Papua untuk membuka lahan,” sambungnya.
Dimas juga mengatakan ada beberapa prajurit militer aktif yang menempati jabatan sipil, mulai dari Seskab hingga Direktur Utama Perum Bulog. Baru-baru ini Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menunjuk Mayor Jenderal Novi Helmy Prasetya untuk jabatan tersebut.
“Penempatan prajurit aktif dalam kementerian/lembaga negara dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) semakin menjauhkan profesionalitas TNI, serta mengganggu meritokrasi sipil,” jelasnya.
Tak sampai di sana, Dimas menilai corak militerisasi itu juga menunjukkan indikasi bahwa Prabowo sedang melakukan rekonsolidasi jaringan lama, termasuk dengan Tim Mawar seperti Nugroho sebagai Kepala BSSN, Yuloli Selfanus sebagai Gubernur Sulawesi Utara, dan Untung Budiarto sebagai Komisaris Utama PT Trans-Jakarta.
Revisi UU TNI
Jika revisi undang-undang (RUU) TNI disahkan, peran militer dalam tata kelola negara dan urusan sipil akan semakin besar. Hal itu akan berdampak pada militerisasi pemerintahan yang lebih masif ke depannya.
“Yang lebih mengkhawatirkan, ada upaya untuk mengubah Pasal 47 ayat (2) dalam RUU TNI, yang jika disahkan akan memberi legitimasi lebih besar bagi prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil. Konsekuensinya, profesionalisme TNI bisa mundur, dan meritokrasi di sektor sipil akan terganggu,” ujar Dimas.
Atas dasar itu, Dimas meminta untuk menghentikan pembahasan revisi UU TNI karena akan menghidupi dwifungsi. Ia juga mendorong pengawasan yang ketat akan membuka celah impunitas yang tinggi utamanya karena belum ada revisi UU Peradilan Militer.
Menurutnya, ini akan berdampak pada kualitas demokrasi di Indonesia. “Surpres RUU TNI menjadi sebuah manuver politik untuk melegitimasi proses penyertaan dan pelibatan militer dalam tata kelola negara dan urusan sipil,” tukasnya.
Dimas menilai RUU TNI tidak baik bagi pertumbuhan demokrasi ke depan karena semakin banyaknya peran militer di ranah sipil, profesionalisme TNI akan semakin melemah, dan meritokrasi di pemerintahan jadi terganggu.
“Belum lagi, kasus-kasus kekerasan oleh anggota militer mulai bermunculan lagi, mengingatkan kita pada era Orde Baru. Tanpa pengawasan yang ketat dan tanpa revisi undang-undang peradilan militer, impunitas bagi aparat militer bisa semakin besar,” pungkasnya. (Dev/P-2)