Kasus Minyakita Bukti Gagalnya Tata Kelola Pangan

3 hours ago 1
Kasus Minyakita Bukti Gagalnya Tata Kelola Pangan Ilustrasi: produk Minyakita kemasan ukuran dua liter di antara produk minyak goreng lain(MI/Susanto)

POLEMIK pengurangan isi kemasan Minyakita dan penjualan di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) menjadi ironi di tengah upaya pemerintah menyediakan minyak goreng murah bagi rakyat. Kondisi itu dinilai bukan sekadar praktik curang segelintir pihak, tetapi juga cerminan lemahnya tata kelola pangan nasional.  

Pengamat Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menilai, kegagalan regulasi dan lemahnya pengawasan telah membuka ruang bagi oknum-oknum nakal untuk mengambil keuntungan di tengah ketidakstabilan harga bahan baku.

"Ini adalah bukti nyata bahwa regulasi pemerintah tidak adaptif dengan realitas pasar. Harga Crude Palm Oil (CPO) melonjak, tetapi HET tetap dipertahankan, sehingga produsen menghadapi tekanan biaya produksi. Akibatnya, mereka memilih jalan pintas dengan mengurangi isi kemasan atau menaikkan harga di atas HET," ujarnya melalui keterangan tertulis, Senin (10/3).

Tak hanya itu, rantai distribusi yang panjang dan tidak efisien turut memperparah masalah. Dari produsen hingga pengecer, minyak goreng melewati banyak tangan, yang masing-masing berpotensi menaikkan harga.

"Ketika pengawasan negara lemah, praktik curang ini semakin marak. Negara seharusnya hadir untuk memastikan bahwa minyak goreng rakyat tidak menjadi ajang spekulasi segelintir pihak," tutur Achmad. 

Lebih parah lagi, ditemukan beberapa produsen Minyakita yang beroperasi tanpa izin edar atau Standar Nasional Indonesia (SNI). Hal ini menandakan lemahnya kontrol pemerintah terhadap industri minyak goreng bersubsidi. 

Achmad menekankan, pemerintah tidak cukup hanya memberi sanksi, tetapi harus melakukan reformasi besar-besaran dalam tata kelola Minyakita.  

Pertama, pemerintah harus menyesuaikan HET dengan harga bahan baku yang fluktuatif. Namun, hal ini perlu dibarengi dengan skema subsidi langsung kepada pelaku usaha mikro agar mereka tetap mendapatkan minyak goreng dengan harga terjangkau.

Kedua, Minyakita harus didistribusikan melalui jalur resmi yang dikontrol negara, seperti Bulog atau koperasi konsumen, agar tidak dimanipulasi oleh mafia pangan. Digitalisasi logistik dan pelacakan stok secara real-time juga harus segera diterapkan.

Ketiga, pemerintah harus mencabut izin usaha dan menyita aset produsen atau distributor yang terbukti melakukan kecurangan. Satgas Pangan perlu diperkuat dengan kewenangan lebih luas dalam mengawasi rantai pasok Minyakita.

Produksi Minyakita harus melibatkan koperasi dan usaha mikro agar tidak didominasi oleh perusahaan besar yang cenderung mencari keuntungan semata.  

Kelima, masyarakat harus bisa dengan mudah melaporkan praktik curang, serta mendapatkan akses informasi tentang harga dan ketersediaan Minyakita di pasar secara real-time.  

Lebih lanjut, Achmad menilai, kasus Minyakita bukan sekadar isu ekonomi, tetapi juga ujian keberpihakan negara kepada rakyat. Jika tidak segera dibenahi, bukan hanya harga minyak goreng yang semakin melambung, tetapi juga kepercayaan publik terhadap pemerintah yang semakin runtuh.

"Minyakita adalah hak publik. Jika pemerintah gagal mengelolanya dengan baik, ini sama saja dengan pengkhianatan terhadap tanggung jawab konstitusional dalam menjamin pangan rakyat," pungkasnya. (Mir/M-3)

Read Entire Article
Global Food