
BANJIR air laut pasang (rob) sudah mulai datang sejak sore, bahkan hingga pagi Senin (10/3) banjir rob masih merendam jalur Pantura Semarang-Demak tepatnya di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak dengan ketinggian air capai 50 centimeter hingga mengakibatkan ketersendatan lalu lintas di jalan nasional itu.
Suara azan Asar baru saja terdengar, cuaca cukup mendung ketika kepadatan lalulintas di sepanjang jalur Pantura Semarang-Demak meningkat, air subdaibmengalur di sisi kanan dan kiri ruas jajan nasional tersebut sudah penuh menyentuh bibir tanggul menandai air laut pasang (rob) mulai kembali datang hingga para pengendara memilih melakukan kendaraan lebih cepat.
Benar saja, kurang dari satu jam air telah melintas di ruas jalan depan sebuah pabrik elektronik dan terus meninggi hingga capai 50 centimeter menutup Jalur Pantura Semarang-Demak sepanjang satu kilometer mengakibatkan lalulintas tersendat, bahkan sejumlah kendaraan roda dua danvemist yang nekat menerobos banjir mogok hingga mengakibatkan kemacetan panjang.
Masuk lebih dalam ke arah pantai di Kecanatan Sayung, Demak kondisi lebih parah karena hampir seluruh desa telah berubah menjadi lautan, jalan perkampungan sudah tidak terlihat lagi dan rumah-rumah warga yang masih belum ditinggikan terendam hampir setengah dan dibiarkan kosong tanpa penghuni dengan kondisi mukai rapuh.
"Kami terpaksa pindah ke desa lain kareba banjir rob merendam hingga berbulan-bulan lamanya, rumah belum lunas kredit sudah tidak dapat ditempati lagi," kata Anik,43, warga Perumahan Pondok Raden Patah yang berada di perbatasan Semarang-Demak.
Kondisi di desa-desa lain di Kecamatan Sayung tidak jauh berbeda, bertahun-tahun lamanya ratusan keluarga di Desa Timbulsloko bertahan di rumah panggung diatas air setinggi 120 centimeter, menjadi pertahanan yang harus dilakukan dan berjalan ke luar rumah dengan mebiti jembatan kayu, keluar masuk desa dengan transportasi perahu menjadi pemandangan tidak asing lagi sejak beberapa tahun lalu
Tidak terasa dua jam menyusuri desa-desa bagian utara di Kecamatan Sayung dengan penuh kesulitan transportasi menembus hingga lima kilometer terasa melelahkan, air mata tumpah seketika ketika terdengar suara azan Magrib berkumandang dari mushola di ujung desa yang terendam banjir dan telah menyatu dengan lautan.
Sejumlah warga tampak berperahu menuju musala apung untuk menunaikan sholat Magrib, namun sebagian besar memilih menjalankan ibadah di rumah saja, bahkan di bulan Ramadan ini tanpa terlihat kesedihan tetap menikmati lauk sederhana tahu tempe untuk berbuka dengan duduk bersila di atas tikar yang digelar di lantai papan rumah-rumah panggung itu.
"Inilah kehidupan kami selama bertahun-tahun sejak banjir rob merendam desa ini, kami bertahan di sini karena hanya ini yang kami punya dan bisa dikakukan," ungkap Muhammad Fauzi,50, warga Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Demak.
Anak perempuan dewasa sudah berumah tangga dan memilih tinggal bersama suami di daerah lain, lanjut Fauzi, sedangkan lekaki usai sekolah hanta buruh pabrik yang pulang sepekan sekali, sedangkan anak-anak masih sekolah tetap bertahan di desa ini meskipun harus mengalami kesulitan saat berangkat dan pulang sekolah di SMP yang berada di luar desa.
Hak itu juga diungkapkan Sholihin,55, warga lainnya yang hidup di atas air banjir rob, untuk bertahan hidup warga terpaksa bekerja serabutan di Kota Semarang dan setiap hari pulang dan pergi bekerja harus berjalan menembus banjir. "Baik saya meninggalkan sawah cukup banyak, tetapi tidak lagi dapat ditanami karena sudah menjadi lautan, sehingga tidak ada yang dapat diwariskan ke anak cucu lagi," imbuhnya.
Dusun Senik dan Tambaksari di Kecamatan Sayung lebih parah lagi, sudah 20 tahun ratusan keluarga terpaksa hengkang karena kampung halaman dan tanah kelahiran susah tidak dapat ditempati lagi, hanya tersisa keluarga Pasijah (Mak Jah),56, yang bertahan hidup diantara rindangnya pohon di hutan mangrove setelah para tetangga memilih menyingkir.
Sembari menikmati makan buka puasa dengan nasi yang masih berada di dalam panci hitam dan lauk ikan hasil tangkapan di sekitar rumah, senyumnya tetap mengembang meskipun hidup dengan keterbatasan ekonomi tanpa penerangan listrik maupun Ajat elektronik. "Saya di sini saja, merawat tanaman bakau dan mencari sumber makanan dari sekitar, jika ada lebih tangkapan ikan dijual ditukar dengan beras," ujarnya.
Menghadapi kondisi rakyatnya yang bertahun-tahun hidup diatas banjir rob, Bupati Demak Eisti'anah mengaku hanya dapat berupaya, keterbatasan anggaran dimiliki daerah menjadi alasan utama untuk dapat mengatasi kondisi ini, sehingga harapan satu-satunya adalah mengandalkan bantuan dari pemerintah provinsi dan pemerintah pusat.
Anggaran dimiliki Pemkab Demak, ungkap Eisti'anah, telah dikucurkan setiap tahun untuk memberikan bantuan pembangunan rumah apung, perbaikan infrastruktur jalan, namun itu belum dapat mengobati sepenuhnya dan hanya bersifat meringankan saja, karena ada puluhan desa di empat kecamatan di Demak yakni Sayung, Karangtengah, Bonang dan Wedung yang terendam banjir rob.
"Saya sudah sampaikan keluhan kepada Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono dan akan dibangun tanggul laut (giant sea wall) untuk mengatasi rob," kata Eisti'anah. (H-2)