MAHASISWA asing dari Belanda mengunjungi Desa Sukoreno di Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), untuk melihat langsung upaya penanganan stunting berbasis komunitas yang dilakukan di desa tersebut. Desa Sukoreno termasuk desa yang memiliki angka stunting tinggi di Kulonprogo.
Kepala Puskesmas Sentolo 1 Kulon Progo, dr. Renny Lo menjelaskan, Desa Sukoreno termasuk dalam wilayah kerja Puskesmas yang dipimpinnya. Ia menyebut anak di Desa Sukoreno yang sudah didiagnosis stunting berjumlah 60.
"Tidak mudah untuk (mengobati stunting) 60 anak yang tegak diagnosis stunting," kata dia di sela-sela kunjungan Summer Course mahasiswa Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM, Selasa (5/11).
Cara yang dilakukan untuk mengatasi persoalan stunting, kata dia, adalah dengan cara meningkatkan gizi. Pihaknya harus berkolaborasi lintas sektoral untuk mengatasi persoalan stunting.
Ia menyebut, saat ini sudah tampak keberhasilan dari usaha yang dilakukan untuk mengatasi persoalan stunting. Dari anak-anak yang dikelola makanan bergiznya dan dipantau tumbuh kembangnya dengan baik, mereka sudah mengalami peningkatan berat badan sesuai harapan.
Dr. Renny Lo mengatakan pihaknya berupaya mencoba menangani anak-anak yang sudah didiagnosis stunting lewat program Si Anak Hebat. "Nama ini sengaja kami pilih untuk mengubah stigma stunting di masyarakat," terang dia.
Pasalnya, ia mendapati, setiap orang tua akan sedih ketika anaknya dibilang stunting. Akibatnya, mereka merasa malu ketika akan dibawa ke Posyandu.
Ia menegaskan, walau seorang anak sudah didiagnosis stunting, anak-anak tersebut masih berkesempatan menjadi anak hebat. Namun, semua itu membutuhkan kerja sama juga dengan orang tua si anak.
Orang tua dibekali ilmu tentang gizi makanan sehat. Ibu-ibu dan kader-kader Posyandu di Sukoreno pun telah membentuk Omah Berkah yang menyediakan olahan makanan bergizi.
Ia menyatakan, warga Sukoreno diuntungkan karena masih memiliki lahan yang luas. Dengan demikian, mereka bisa menanam aneka sayuran ataupun budidaya ayam dan ikan air tawar di pekarangan mereka.
Program pemberian makanan tambahan (PMT) yang diselenggarakan Posyandu pun diolah dari bahan makanan dari pekarangan warga. "Jika berlebih, bisa dijual," terang dia.
Penanganan stunting tidak hanya dilakukan kepada anak-anak, tetapi juga dilakukan kepada remaja. Ia menyebut, 38% remaja perempuan di wilayah Puskesmas Senolo 1 mengalami anemia.
Remaja dengan anemia tersebut harus mendapat pendampingan agar mereka tidak lagi anemia. Pasalnya, jika mereka nanti tumbuh dewasa, menikah, menjadi calon ibu, anak yang mereka berisiko stunting jika ibu tersebut masih anemia. "Program kami mengajak kita memperhatikan siklus hidup secara keseluruhan (dari masih janin hingga lansia)," terang dia.
Salah seorang peserta Summer Course dari Amsterdam, Belanda, Julia mengaku senang dengan kegiatan Summer Course ini. Lewat Summer Course ini ia bisa mengetahui penanganan kesehatan di Indonesia. "Saya melihat upaya menjaga kesehatan di sini yang dilakukan masyarakat di tingkat komunitas," terang dia yang baru pertama kali datang ke Indonesia.
Julia tidak sendirian dalam program Summer Course tersebut. Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahsiswaan FK-KMK UGM, dr. Ahmad Hamim menyebut, kegiatan ini diikuti oleh 60 mahasiswa yang berasal dari universitas di Indonesia, Belanda, Italia, dan Malaysia. "Melalui kegiatan ini, mereka diharapkan bisa memahami dan mengenali masalah kesehatan secara global di masyarakat secara langsung menjadi proses pembelajaran yang holistik," terang dia.
Mereka berkesempatan memahami secara langsung masalah kesehatan masyarakat di wilayah Kulonprogo, Yogyakarta. Mahasiswa berinteraksi langsung dengan masyarakat dan bekerjasama dengan 10 puskesmas setempat.
"Kegiatan ini mendapat dukungan dari 28 narasumber ahli dari dalam dan luar negeri yang terdiri dari 10 narasumber asing, 16 narasumber dari UGM dan RSA UGM, satu dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta satu dari Kementerian Kesehatan.
Ketua Tim International FK-KMK UGM, Prof. dr. Gunadi, Ph.D., Sp.BA., Subsp.DA(K) menambahkan, tema Summer Course 2024 adalah Empowering Communities for Climate Health Resilience. Kegiatan ini dilaksanakan selama dua pekan, 28 Oktober hingga 8 November 2024,
"Melalui program Summer Course 2024, FK-KMK UGM berkomitmen untuk menjadi bagian dari solusi global dalam menciptakan masyarakat yang tangguh menghadapi perubahan iklim," tutup dia. (N-2)