99,81% Perempuan Korban Kekerasan Memilih Diam

11 hours ago 3
99,81% Perempuan Korban Kekerasan Memilih Diam (freepik.com)

99,81% Perempuan Korban Kekerasan Memilih Diam
Atalya Puspa(7/3/2025, 17.54.48)

Kekerasan terhadap perempuan masih menjadi fenomena gunung es di Indonesia. Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Desy Andriani mengungkapkan bahwa dari data yang masuk ke Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni) KPPPA, terdapat 12.416 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2024. Namun, angka ini sangat jauh dari estimasi Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN), yang mencatat ada sekitar 6,2 juta perempuan mengalami kekerasan dalam kurun waktu yang sama.

"Artinya, hanya 0,19% perempuan korban kekerasan yang melaporkan kasusnya. Sementara 99,81% memilih untuk diam," ujar Desy dalam acara Peluncuran Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2024, Jumat (7/3). 

Desy menyoroti bahwa data yang tersedia masih menghadapi berbagai tantangan dalam hal pencatatan dan pelaporan. Oleh karena itu, KPPPA terus berupaya memperbaiki sistem pendataan, termasuk melalui call center dan mekanisme pengaduan lainnya. 

"Tidak ada satu hal yang langsung permanen, serba sempurna. Kita senantiasa melakukan updating, baik dalam konteks people behind the application, behind the data, behind the call center, maupun dalam konteks teknologi informasi itu sendiri," jelasnya.

Selain itu, Desy menegaskan bahwa dalam upaya menangani kekerasan terhadap perempuan, penting untuk tidak hanya fokus pada aspek hilir, tetapi juga melakukan intervensi sejak tataran hulu. 

"Bagaimana dimulai dari hal yang terkecil, dari mulai keluarga. Dengan kebijakan Ibu Menteri, ruang bersama Indonesia ini semoga menjadi solusi alternatif di mana ownership-nya adalah seluruh stakeholder," katanya.

Menjelang tiga tahun berlakunya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada Mei 2025, Desy mengakui bahwa masih ada tantangan dalam implementasi aturan turunan. Sejauh ini, baru empat aturan turunan yang disahkan, sementara regulasi teknis lainnya masih dalam tahap penyusunan.

"Salah satu perpres turunan dari TPKS adalah pembentukan UPTD-PPA. Saat ini lebih dari 330 UPTD telah terbentuk di 34 provinsi. Tapi sejauh mana optimalisasi dan mekanisme pelaporan yang terpadu, ini juga menjadi tantangan tersendiri," ungkapnya.

Desy juga menyoroti peran aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan. "Masih ditemukan aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi first responder dalam memberikan pelayanan, tetapi justru melakukan kekerasan. Ini menjadi refleksi bersama," ujarnya. 

Dalam upaya mendorong lebih banyak korban untuk berani melapor, KPPPA mendukung program Rise and Speak yang diluncurkan oleh Polri. 

"Pada saat seseorang berani bangkit dan berbicara, tentu kita harus memastikan ada jalur yang dapat mereka tempuh. Baik melalui call center atau one-stop solution yang saat ini masih dalam proses pengembangan," jelas Desy.

Namun, ia mengakui bahwa ada tantangan besar dalam mendukung penyintas untuk bersuara. "Pada saat seorang penyintas bisa berani bicara, tantangannya ada pada proses pelaporan. Apakah melapor ke UPTD-PPA atau langsung ke kepolisian? Kita harus memastikan sistem ini bekerja dengan baik," katanya.

Untuk itu, ia menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, aparat penegak hukum, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat dalam menangani kekerasan terhadap perempuan.

"Kolaborasi adalah langkah yang sangat tepat. Kita harus bekerja bersama-sama agar perempuan berdaya dan anak terlindungi, menuju Indonesia Emas 2045," tutupnya. (H-1) 

Read Entire Article
Global Food