
KETIKA propaganda Barat tentang ‘kamp penahanan’ dan rumor penindasan muslim di Xinjiang mencuat beberapa tahun lalu, Tiongkok meresponsnya dengan elegan: mengundang berbagai pemimpin muslim dunia untuk melihat langsung Pusat Pendidikan Keterampilan dan Pelatihan (Vocational Education and Training) yang dimaksud dan menilai sendiri kebenaran tuduhan Barat tersebut. Hasilnya, negara-negara muslim mengambil sikap objektif dan menegaskan bahwa tuduhan Barat mengenai kamp penahanan dan penyiksaan kaum muslimin--tidak berdasar.
Pada 2021, Beijing juga merilis dokumen berjudul Respecting and Protecting the Rights of All Ethnic Groups in Xinjiang yang terdiri atas tujuh bagian. Di antaranya menegaskan komitmen Tiongkok untuk menghormati dan menjaga hak-hak sipil dan kebebasan beragama di Xinjiang.
Pada 2022, Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia bersama Pakistan, Qatar, dan Uni Emirat Arab menolak perdebatan terkait dengan muslim Uyghur di Dewan HAM PBB yang digagas oleh negara-negara Barat. Tiongkok memang semakin aktif melakukan diplomasi kultural dengan negara-negara berpenduduk muslim di dunia.
Zhiqun Zhu (2013) menyoroti transformasi diplomasi Tiongkok yang semakin aktif dalam merespons isu-isu global. Pendekatan mereka berorientasi pada zou chu qu (keluar) serta memperkuat soft power melalui doktrin heping fazhan (membangun kerja sama berdasarkan prinsip perdamaian).
Dalam menghadapi isu Xinjiang, pemerintahan Xi Jinping tidak lagi terpengaruh oleh rumor dan propaganda Barat, tetapi berupaya menunjukkan secara langsung kepada dunia tentang hasil kebijakan keterbukaan pembangunan mereka di wilayah barat laut Tiongkok tersebut yang kini telah membawa kemajuan signifikan.
Beberapa bulan lalu, saya mewakili Indonesia bersama delegasi dari negara-negara berpenduduk mayoritas muslim lainnya seperti Mesir, Pakistan, Malaysia, Brunei, Iran, Kuwait, Irak, dan Azerbaijan menghadiri undangan dari pemerintah Tiongkok untuk menyaksikan langsung kemajuan pembangunan di Xinjiang.
Berbagai sektor pembangunan yang mengalami perkembangan pesat, termasuk infrastruktur, industri pengolahan makanan, pertanian, farmasi, pariwisata, serta situs-situs peribadatan muslim seperti masjid dan Xinjiang Islamic Institute.
Tulisan ini akan menyoroti keberadaan Xinjiang Islamic Institute sebagai instrumen penting yang mampu 'membalik' persepsi negatif yang disuarakan Barat atas kebijakan Beijing terhadap kaum muslim di Xinjiang.
Sebagai pusat pengaderan ulama terbesar dan modern di Tiongkok, Xinjiang Islamic Institute juga menjadi game changer dalam merespons framing negatif negara-negara Barat terhadap kebijakan Tiongkok di Xinjiang, terutama yang disampaikan ke dunia muslim.
PESANTREN TERBESAR DI TIONGKOK
Sistem pendidikan di Xinjiang Islamic Institute memiliki kemiripan dengan pesantren-pesantren modern di Indonesia. Dibangun di atas lahan lebih dari 10 hektare dengan fasilitas yang sangat modern, institut itu menjadi 'pesantren' terbesar di Tiongkok, baik dari segi luas lahan maupun kapasitasnya.
Didirikan pada 1987, Xinjiang Islamic Institute berfungsi sebagai pusat pendidikan agama dan akademik bagi generasi muda di wilayah barat laut Tiongkok. Pemerintah Tiongkok menginvestasikan lebih dari 200 juta RMB atau hampir Rp500 miliar untuk membangun kembali Xinjiang Islamic Institute, menjadikan bangunannya lebih megah dan modern sebagai simbol komitmen Beijing dalam mendukung pengaderan ulama di Xinjiang.
Gedung baru Xinjiang Islamic Institute tersebut diresmikan pada September 2017 dengan operasional sehari-harinya sepenuhnya didanai oleh pemerintah Tiongkok. Pada 2023, Beijing mengundang 14 diplomat dari berbagai negara, termasuk Indonesia, untuk mengunjungi Xinjiang Islamic Institute.
Pada tahun yang sama, 30 pemimpin muslim yang tergabung dalam World Muslim Communities Council (Dewan Komunitas Muslim Dunia) juga diundang untuk melihat langsung pesantren yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas modern, termasuk perpustakaan dengan koleksi sekitar 49 ribu buku, di antaranya terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Mandarin, Uygur, serta bahasa etnik minoritas lainnya.
Xinjiang Islamic Institute juga memiliki beberapa cabang di Ili, Changji, Turpan, Aksu, Kizilsu, Kashgar, dan Hotan. Mereka membentuk sistem pelatihan komprehensif bagi para calon ulama Tiongkok.
INSTRUMEN DIPLOMASI DAN MEMPERKUAT NASIONALISME
Keberadaan Xinjiang Islamic Institute menjadi antitesis dari narasi Barat yang menggambarkan perlakuan negatif Beijing terhadap komunitas muslim di Xinjiang. Setidaknya ada dua perspektif yang patut di-highlight atas keberadaan pesantren itu, baik dari sisi hubungan internasional maupun kepentingan nasional Tiongkok sendiri.
Pertama, Xinjiang Islamic Institute telah berperan sebagai instrumen diplomasi yang efektif. Meskipun berbeda dengan Pusat Pendidikan Keterampilan dan Pelatihan (Vocational Education and Training) yang berfokus pada peningkatan keterampilan generasi muda, Xinjiang Islamic Institute justru berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang mencetak kader muda muslim di Xinjiang agar menjadi ulama yang mumpuni.
Fakta itu mengonfirmasi keinginan Beijing yang ingin menunjukkan kepada dunia bahwa kebijakan mereka di Xinjiang tidak hanya bertujuan meningkatkan kemakmuran dan kemajuan masyarakat setempat, tetapi juga untuk menjaga keberlanjutan kekayaan budaya serta tradisi keagamaan dalam jangka panjang.
Pesantren sebagai tempat pengaderan ulama memiliki dampak strategis terhadap keberlangsungan ajaran Islam dan eksistensi komunitas muslim itu sendiri. Tiongkok seolah mengirimkan pesan kepada dunia bahwa ajaran Islam dan masyarakat muslim di Xinjiang berada dalam kondisi yang baik, bahkan lebih baik dari sebelumnya.
Kedua, sebagai lembaga pendidikan yang sepenuhnya didanai oleh negara, Xinjiang Islamic Institute berfungsi sebagai sarana efektif untuk menanamkan jiwa nasionalisme yang kuat di kalangan generasi muda muslim Tiongkok di Xinjiang.
Seperti diketahui, pemerintahan Xi Jinping telah menginisiasi berbagai program untuk mengatasi tiga ancaman utama: separatisme, radikalisme, dan terorisme. Seperti halnya di banyak negara, penanaman nasionalisme di kalangan generasi muda sering dilakukan melalui lembaga pendidikan. Beijing ingin memperkuat tradisi pratiotik generasi muda muslim di wilayah otonomi Tiongkok terluas itu melalui Xinjiang Islamic Institute agar tidak terpapar ideologi ekstremisme, terorisme dan separatisme.
EKSISTENSI AGAMA SEMAKIN PENTING DI TIONGKOK
Konstitusi Tiongkok Pasal 36 memang mengatur warga negaranya untuk menikmati kebebasan beragama dan tidak ada lembaga negara, organisasi publik, atau individu di Tiongkok yang boleh memaksa warga negaranya untuk percaya atau tidak percaya pada agama apa pun; mereka juga tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap warga negara yang percaya atau tidak percaya pada agama apa pun.
Robert Lawrence Kuhn (2010) pernah menulis sebuah bab berjudul Why Religion Became Important (Mengapa Agama Menjadi Penting) untuk menggambarkan pergolakan pemikiran para pemimpin Tiongkok dalam melakukan transformasi kebijakan terhadap keberadaan agama-agama di 'Negeri Tirai bambu' tersebut.
Buku Kuhn tersebut berjudul How China’s Leaders Think, The Inside Story of China’s Reform and What this Means for Future berisi berbagai kebijakan reformasi dari para pemimpin Tiongkok, termasuk dalam persoalan keagamaan. Pada 2001, Tiongkok mengadakan Konferensi Nasional selama tiga hari untuk merumuskan kebijakan keagamaan dalam menghadapi tantangan abad baru. Konferensi itu dihadiri oleh pejabat tinggi negara serta para pemimpin terkemuka di Tiongkok dan berhasil menetapkan kebijakan yang menempatkan agama sebagai modal pembangunan.
Pitman B Potter (2003) mencatat bahwa dalam konferensi tersebut Presiden Jiang Zemin menginstruksikan para pejabat Tiongkok untuk mematuhi kebijakan kebebasan beragama, menahan diri dari penggunaan kekuatan administratif untuk membatasi eksistensi agama, serta menerima agama sebagai bagian integral dari masyarakat Tiongkok.
Dalam perkembangan terbaru, keberadaan Islam dan komunitas muslim di Tiongkok tidak hanya berfungsi sebagai modal pembangunan domestik, tetapi juga sebagai instrumen diplomasi yang efektif dalam memperkuat hubungan dengan negara-negara berpenduduk muslim di dunia.
Xi Jinping telah melakukan berbagai terobosan diplomatik, khususnya dengan negara-negara di Timur Tengah dan negara-negara mayoritas muslim lainnya seperti Indonesia melalui program belt and road initiative.
Tiongkok juga merekrut banyak diplomat muda dengan kemampuan bahasa Arab yang par excellent. Sebagian di antara mereka merupakan anak-anak muda yang pernah menimba ilmu di Mesir dan Saudi Arabia serta alumni jurusan bahasa Arab dari kampus-kampus di Tiongkok.
Pada 2016, Xi Jinping juga menggagas China-Arab States Cooperation Forum dengan melakukan pertukaran kunjungan 100 pemimpin agama. Kerja sama Tiongkok dengan Indonesia, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, meningkat secara signifikan di era Xi Jinping.
Hubungan itu tidak hanya berkembang di bidang ekonomi, tetapi juga dalam pendidikan dan diplomasi budaya, di antaranya dengan memperkenalkan Xinjiang Islamic Institute kepada masyarakat Islam dunia. Wallahu a‘lam bish-shawab.