Sidang Kecelakaan Mahasiswa UGM: Ahli Sebut Hasil Pemeriksaan Mata tak Bisa Jadi Acuan

1 day ago 4
 Ahli Sebut Hasil Pemeriksaan Mata tak Bisa Jadi Acuan Sidang kasus kecelakaan mahasiswa UGM di Pengadilan Negeri Sleman.(Dok. Antara)

SIDANG lanjutan kasus kecelakaan maut di Jalan Palagan Tentara Pelajar, Sleman yang menewaskan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Argo Ericko Achfandi digelar di Pengadilan Negeri Sleman, Rabu (15/10). Sidang tersebut menghadirkan ahli kedokteran mata Gilbert Simanjuntak dan ahli keselamatan lalu lintas yang juga pensiunan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Eddy Suzendi.

Dalam kesaksiannya, Gilbert menegaskan hasil pemeriksaan kesehatan mata terhadap terdakwa Christiano Pengarapenta Pengidahen Tarigan tidak bisa dijadikan acuan untuk menggambarkan kondisi saat kecelakaan terjadi.

“Hasil pemeriksaan bersifat on the spot pada hari itu. Hasil pemeriksaan kesehatan mata tidak dapat menjelaskan kondisi sebelumnya, kecuali ada catatan medis atau riwayat medis sebelumnya,” ujarnya di hadapan majelis hakim.

Keterangan itu menanggapi hasil pemeriksaan dokter Widya Rafitri Rasmiyati yang dihadirkan jaksa pada sidang sebelumnya. Dokter Widya menyebut, hasil pemeriksaan mata pada 11 Juni 2025 diketahui bahwa Christiano memiliki minus silindris 2,5 di kiri dan 0,5 di kanan, yang masih bisa dikoreksi dengan kacamata. Pemeriksaan mata ini dilakukan hampir 3 minggu setelah terjadi kecelakaan. Jaksa menduga Christiano lalai karena mengemudi tanpa kacamata.

Namun, Gilbert menyatakan kondisi itu masih wajar. “Dia bisa melihat, hanya saja penglihatannya akan ada gradasi,” katanya. Ia menambahkan bahwa mata silindris merupakan kondisi normal. “Mata silindris itu normal, karena semua orang pasti ada silindrisnya,” ujarnya.

Gilbert juga menjelaskan bahwa trauma pada mata atau trauma okuli dapat menyebabkan gangguan penglihatan seperti rabun jauh, silindris, atau katarak, namun cedera semacam itu biasanya timbul karena benturan di sekitar mata. Karena itu, pemeriksaan medis pascakejadian tidak cukup kuat untuk menggambarkan kondisi terdakwa sebelum kecelakaan.

Sementara itu, saksi ahli dari Eddy Suzendi menemukan kejanggalan pada rambu batas kecepatan di lokasi kejadian yang menurutnya tidak dipasang oleh instansi resmi.

“Biasanya kalau rambu dipasang itu ada logo yang memasang, misalnya dari Dinas Perhubungan kabupaten atau kota. Kalau tidak ada logo, kita masih meragukan siapa yang masang,” kata Eddy.

Ia menilai, kondisi rambu di Jalan Palagan tidak memenuhi standar dan bahkan bisa membingungkan pengendara. Rambu tersebut, kata dia, terpasang terlalu dekat dengan area padat penduduk, tidak berulang setiap 500 meter sebagaimana ketentuan untuk jalan kolektor primer, dan jumlahnya terbatas.

“Idealnya rambu ada di awal dan akhir jalan, serta diulang setiap 500 meter. Nah di situ tidak ada, adanya cuma dua di sebelah kiri dan kanan,” ujarnya.

Eddy juga menjelaskan bahwa penyebab kecelakaan transportasi biasanya merupakan akumulasi dari empat faktor utama, yakni manusia, kendaraan, jalan, dan regulasi. Menurutnya, meski kendaraan dalam kondisi baik, kecelakaan bisa tetap terjadi bila jarak pengereman tidak sesuai dengan kondisi jalan. Dari pengamatannya di lokasi, ia memperkirakan kecepatan mobil terdakwa sekitar 60 kilometer per jam berdasarkan bekas pengereman sejauh 20 meter.

Sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda pembacaan tuntutan jaksa penuntut umum. (H-3)

Read Entire Article
Global Food