
KEMUNCULAN satwa liar di kawasan permukiman kembali menyita perhatian publik. Seekor macan tutul Jawa masuk ke hotel di Bandung, sementara harimau sumatra terekam kamera berada di halaman kantor Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Agam, Sumatra Barat. Foto dan video kejadian ini cepat menyebar di media sosial, memunculkan kehebohan sekaligus kekhawatiran.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Ekologi BRIN, Prof. Hendra Gunawan, menilai fenomena itu bukan kebetulan.
“Harimau dan macan tutul adalah penghuni inti hutan, satwa yang seharusnya hidup jauh dari manusia. Jika mereka muncul di kebun, jalan raya, bahkan hotel, itu pertanda mereka terpaksa keluar dari hutan untuk bertahan hidup,” ujarnya dalam keterangan resmi, Rabu (22/10).
Menurut Hendra, penyebabnya berlapis, mulai dari penyusutan habitat akibat pembukaan lahan, pembangunan jalan, dan permukiman, hingga berkurangnya mangsa alami.
Fragmentasi hutan membuat satwa kehilangan orientasi ruang, terutama ketika hutan yang menjadi referensi visual mereka berubah menjadi beton tanpa vegetasi.
“Begitu kehilangan elemen alami, mereka bisa tersesat dan panik,” jelasnya.
Hendra menegaskan bahwa fragmentasi hutan kini menjadi ancaman utama bagi keberlangsungan predator besar seperti harimau Sumatra dan macan tutul Jawa.
“Fragmentasi lebih berbahaya dari sekadar kehilangan luas hutan. Ia memutus konektivitas antarhabitat dan memperluas area tepi hutan, tempat manusia dan satwa semakin sering berinteraksi,” katanya.
Data BRIN menunjukkan sedikitnya 137 kasus konflik manusia–harimau terjadi di 14 kabupaten/kota di Sumatra Barat selama 2005–2023.
Mayoritas insiden ditemukan di kawasan dengan hutan yang telah terpecah-pecah seperti Lanskap Cagar Alam Maninjau. Hendra memperingatkan, tanpa intervensi ekologis, konflik serupa akan terus berulang.
Ia menekankan bahwa solusi tidak cukup hanya dengan mengevakuasi satwa, tetapi juga memperbaiki tata ruang dan kebijakan berbasis ekologi.
“Rencana tata ruang wilayah (RTRW) harus memuat koridor satwa dan jalur jelajah yang saling terhubung. Tanpa itu, satwa akan terus keluar hutan karena kehilangan ruang hidup,” ucapnya.
Hendra juga mendorong penerapan pendekatan human–wildlife coexistence atau koeksistensi manusia dan satwa liar. Pendekatan ini mencakup pencegahan interaksi langsung, mitigasi konflik, peningkatan toleransi masyarakat, dan penciptaan manfaat bersama melalui kegiatan seperti ekowisata berbasis komunitas.
“Kehadiran harimau di kantor BRIN bukan ancaman, melainkan pesan ekologis bahwa hutan kita sedang tidak baik-baik saja. Harimau bukan musuh, tetapi indikator kesehatan ekosistem. Jika mereka hilang, ekosistem kita pun runtuh,” tutur Hendra. (Z-1)