
PEMILU serentak 2024 menjadi momentum refleksi besar bagi demokrasi Indonesia. Bukan hanya sebagai ajang politik lima tahunan, tetapi juga cermin yang menampilkan berbagai kelemahan mendasar dalam desain dan tata kelola pemilu nasional. Kompleksitas teknis, tumpang tindih regulasi, serta dinamika penyelenggara yang kerap dipertanyakan independensinya menunjukkan bahwa sistem elektoral Indonesia masih menghadapi tantangan serius.
Hal tersebut disampaikan oleh akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini, dan Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Ia menilai, Pemilu dan Pilkada 2024 memperlihatkan rapuhnya sistem demokrasi ketika dihadapkan pada agenda elektoral yang terlalu padat tanpa kesiapan kelembagaan yang memadai.
“Semua itu memberi sinyal bahwa revisi atas Undang-Undang Pemilu merupakan agenda krusial dan mendesak dalam praktik demokrasi konstitusional Indonesia,” ujar Titi dikutip dari siaran pers yang diterima, Senin (20/10).
Titi menjelaskan, revisi UU Pemilu saat ini telah tercantum dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 sebagai usulan Badan Legislasi (Baleg) DPR, dan juga Prolegnas Prioritas 2026 sebagai usulan Komisi II DPR. Menurutnya, inisiatif tersebut harus dimaknai bukan sebagai rutinitas politik, melainkan sebagai upaya transformasi menyeluruh sistem demokrasi.
“Setiap ketentuan baru yang dirumuskan tidak boleh berhenti pada kompromi pragmatis, melainkan harus diarahkan untuk memperkuat integritas dan kualitas demokrasi,” jelasnya.
Titi menegaskan tiga pijakan utama yang seharusnya menjadi landasan dalam penyusunan RUU Pemilu. Pertama, perlunya evaluasi menyeluruh terhadap seluruh tantangan dan persoalan dalam penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada 2024, baik secara teknis maupun substansial.
Kedua, karena tidak ada lagi pembedaan antara rezim pemilu dan pilkada berdasarkan Putusan MK No.85/PUU-XX/2022 dan Putusan MK No.135/PUU-XXII/2024, maka penyusunan UU Pemilu dan Pilkada idealnya dilakukan dengan model kodifikasi dalam satu naskah.
“Materi muatannya harus mencakup pengaturan pemilu presiden dan wakil presiden, legislatif, serta kepala daerah, sekaligus penyelenggaranya,” tambahnya.
Ketiga, RUU Pemilu wajib mengakomodasi seluruh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah merevisi maupun merekonstruksi aturan elektoral, termasuk terkait pemisahan pemilu serentak nasional dan daerah sesuai Putusan MK No.135/PUU-XXII/2024.
“Dengan mengintegrasikan pelajaran praktis dan koreksi konstitusional, maka revisi UU Pemilu akan memiliki legitimasi hukum yang kokoh sekaligus relevansi politik yang nyata,” tegas Titi.
Titi mengingatkan bahwa tantangan terbesar dari revisi UU Pemilu terletak pada tarik-ulur politik di DPR. Ia menilai, pembahasan RUU Pemilu selama ini kerap tersandera oleh kepentingan fraksi dan perbedaan pandangan terkait sistem pemilu, sehingga membuat proses legislasi berjalan lambat. Karena itu, menurutnya, strategi paling realistis dan efektif adalah dengan mendorong Pemerintah menjadi pihak pengusul RUU Pemilu.
“Karena itu, strategi yang lebih realistis dan efektif adalah mendorong Pemerintah untuk menjadi pengusul RUU Pemilu,” ujar Titi.
Dengan kapasitas birokrasi dan kewenangan yang dimiliki, Pemerintah dinilai mampu menyiapkan naskah akademik dan draf RUU lebih cepat, sehingga proses pembahasan bersama DPR dapat dimulai lebih awal dan tidak berlarut-larut. Langkah ini juga akan mengurangi risiko revisi UU Pemilu tersandera oleh kalkulasi politik jangka pendek.
“Melalui cara ini, revisi UU Pemilu lebih punya harapan untuk dapat terealisasi sesuai tenggat waktu dan menghindari terjebak dalam tarik-ulur politik yang melelahkan,” bebernya.
Titi menilai, revisi UU Pemilu merupakan ujian serius bagi kredibilitas demokrasi Indonesia. Ia menilai, pembentuk undang-undang memiliki dua pilihan: tetap bertahan pada pola lama yang penuh kompromi pragmatis, atau mengambil langkah bersejarah melalui rekonstruksi menyeluruh sistem elektoral nasional.
“Pilihan itu akan menentukan kualitas demokrasi Indonesia dalam jangka panjang,” ucapnya.
Jika revisi UU Pemilu dapat dijalankan secara serius dan berbasis prinsip konstitusional, Indonesia diyakini bisa mencapai sistem demokrasi yang lebih stabil, representatif, dan berintegritas.
“Revisi ini bisa menjadi lompatan fundamental demokrasi Indonesia. Mari kita pantau dan awasi bersama,” tandasnya. (Fal/E-4)