DANANTARA digadang sebagai mesin investasi nasional yang mampu menggerakkan ekonomi tanpa membebani APBN.
Berdasarkan regulasi, Danantara berhak menerima aliran dana dari dividen BUMN setiap tahun, jumlahnya bisa mencapai ratusan triliun rupiah. Dana inilah yang diamanatkan untuk memperkuat sektor produktif, industri masa depan, dan pembangunan bernilai tambah.
Namun, kritik tajam muncul dari Menteri Keuangan sekaligus Dewan Pengawas Danantara Purbaya Yudhi Sadewa, yang mempertanyakan langkah Danantara menempatkan sebagian dananya di Surat Berharga Negara (SBN).
“Anda ini dapat dividen dari BUMN, lalu uangnya diparkir lagi ke SBN. Uang kembali lagi ke pemerintah. Lantas keahlian Anda apa?” ujarnya.
Menurut Analis Kebijakan Ekonomi Apindoz Ajib Hamdani, pandangan tersebut perlu dilihat dalam konteks yang lebih luas. Pasalnya, mekanisme penempatan dana seperti itu lazim diterapkan lembaga sekelas sovereign wealth fund (SWF) di berbagai negara. Ajib mengatakan penempatan dana di SBN adalah strategi yang umum digunakan SWF global, terutama pada masa awal pembentukan dana atau ramp-up period.
“Proyek strategis seperti energi baru, infrastruktur, atau industri teknologi tidak bisa langsung dibiayai. Perlu studi kelayakan, koordinasi, dan waktu. Sambil menunggu, dana harus tetap menghasilkan, bukan diam di rekening,” kata Ajib melalui keterangannya, Senin (20/10).
Instrumen seperti SBN yang likuid dan berdenominasi rupiah dipilih untuk menjaga nilai modal negara tanpa mengambil risiko yang belum terukur. “Ini langkah jangka pendek untuk memastikan kemampuan jangka panjang,” katanya.
Namun, alokasi ke pasar publik tidak berhenti di awal saja. Menurutnya, porsi investasi di instrumen publik akan tetap ada secara permanen, meski proporsinya akan menurun atau menyeimbang seiring meningkatnya alokasi pada investasi langsung di proyek-proyek strategis.
“Ini sudah sangat umum di dunia SWF. Norges, GIC, Temasek, semuanya tetap mempertahankan sebagian portofolio di public markets sebagai jangkar likuiditas dan diversifikasi risiko,” jelasnya.
Langkah Danantara juga sejalan dengan praktik lembaga sejenis di dunia. Ia mengatakan Temasek di Singapura, Kuwait Investment Authority, hingga Abu Dhabi Investment Authority juga memulai dengan investasi publik seperti obligasi dan saham sebelum masuk ke proyek sektor riil.
"Tapi tidak semua SWF memiliki fokus yang sama. Ada yang lebih berorientasi pada pelestarian modal, ada pula yang menekankan pembiayaan pertumbuhan nasional," katanya.
Dengan kata lain, pembelian SBN bukan penyimpangan, tetapi bagian dari tahapan normal SWF membangun portofolio dan tata kelola investasi jangka panjang. Menurutnya, publik sering keliru mengira dana besar bisa langsung ditanamkan ke proyek.
“Membangun PLTA saja bisa butuh enam tahun konstruksi dan sepuluh tahun untuk impas. Kalau seluruh dana langsung dikucurkan, itu justru berisiko tinggi,” ujarnya.
Selama masa transisi ini, menempatkan dana di SBN berarti dua hal, yakni likuiditas tetap terjaga, dan uang negara tetap berputar di sistem keuangan nasional. Ke depan, komposisi antara public investment dan private investment akan makin seimbang, mengikuti arah Strategic Asset Allocation (SAA) yang sudah disusun Danantara.
“Public market tetap penting, tapi porsinya akan makin proporsional ketika pipeline proyek strategis mulai jalan,” katanya.
Menurutnya, isu sekuritisasi dan penggunaan aset sebagai jaminan untuk pembiayaan lanjutan adalah topik yang lebih teknikal, dengan pendekatan dan kanal komunikasi berbeda.
“Hal-hal seperti itu butuh pembahasan tersendiri, karena sifatnya teknis dan melibatkan aspek prudensial. Tapi secara prinsip, semua dilakukan dalam kerangka tata kelola yang hati-hati,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa kritik publik terhadap Danantara seharusnya menjadi momentum untuk meningkatkan literasi soal peran dan mekanisme kerja SWF.
“Sovereign wealth fund itu bukan lembaga yang mencari untung instan. Mereka menjaga nilai aset negara lintas generasi,” katanya.
Ia menegaskan mandat Danantara tetap, yakni membiayai industrialisasi dan memperkuat kemandirian ekonomi.
“Tapi untuk sampai ke sana, perlu waktu dan proses yang jelas. Dan semua itu sedang dibangun sekarang,” pungkasnya. (E-4)