Raja Kecil dan Sarang Lebah Birokrasi

1 day ago 5
Raja Kecil dan Sarang Lebah Birokrasi (Dok. Pribadi)

PEMERINTAHAN Prabowo Subianto langsung tancap gas di awal masa jabatannya lewat kebijakan pemangkasan anggaran senilai Rp306,69 triliun. Melalui Inpres No 1/2025, pemotongan terbesar ‘dihunjamkan’ ke kementerian/lembaga (Rp256,1 triliun) dan transfer daerah (Rp50,59 triliun).

Anggaran Kemendiktisaintek, misalnya, dipangkas hingga Rp22,5 triliun. Kementerian Pekerjaan Umum, anggarannya dipangkas Rp81,38 triliun atau 80% dari anggaran awal, sehingga dari total Rp 110,95 triliun tersisa hanya Rp29,57 triliun.

Kementerian Perhubungan terkena pemangkasan Rp17,87 triliun dari total pagu Rp31,45 triliun atau dengan besaran pemangkasan mencapai 56,82%. Salah satu kementerian yang beruntung karena mendapat pemangkasan yang kecil ialah Kementerian Koperasi, yakni sebesar Rp155 miliar atau 32%.

Pemangkasan anggaran mau tak mau memaksa birokrasi kementerian mengencangkan ikat pinggang dengan mengurangi biaya perjalanan dinas, kegiatan seremonial, hingga pengadaan alat tulis kantor (ATK), termasuk konsinyering pengadaan barang dan jasa.

Untuk ATK, misalnya, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan bahwa belanja ATK seluruh kementerian/lembaga mencapai Rp44,4 triliun. Sebuah pemborosan anggaran yang irasional, apalagi di tengah maraknya digitalisasi layanan publik.

Jelang akhir 2024, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) merilis hasil monitoring pengawasan anggaran pada 2023, di mana belanja anggaran yang tak efektif dan efisien mencapai Rp141,33 triliun. Itu baru pada lima sektor (ketahanan pangan, program peningkatan daya saing pariwisata, pemberdayaan UMKM, penurunan stunting, dan pengentasan rakyat dari kemiskinan).

ZONA NYAMAN

Aroma pemborosan anggaran memang sudah lama menguar dari tubuh birokrasi kita. Ironisnya itu diaminkan sebagai comfort zone (zona nyaman) untuk membangun kenikmatan dan pamer privilese.

Lihatlah fenomena perjalanan dinas (ke luar daerah maupun luar negeri) terutama di akhir tahun (Oktober, November, Desember) tanpa tujuan yang jelas, kegiatan rapat/seminar dilakukan di hotel-hotel mewah, atau ‘kejar tayang’ menghabiskan anggaran di pengujung tahun lewat berbagai proyek misalnya galian jalan yang makin membuat semrawutnya lalu lintas.

Belum lagi, kebiasaan penggunaan fasilitas pengawalan dan pengadaan mobil dinas mewah hingga penggunaan pendingin udara di ruangan kerja yang berlebihan.

Mengintroduksi nilai baru efisiensi besar-besaran di tubuh birokrasi tentu tak gampang. Buktinya pada saat dikeluarkannya Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi APBN dan APBD, Presiden Prabowo mengakui ada ‘raja kecil’ di birokrasi yang melawan instruksinya.

Dalam teori birokrasi, kita mengenal istilah officialdom atau kerajaan pejabat (Johnson, 1978). Suatu ‘imperium’ atau kerajaan yang dihuni ‘raja-raja birokrasi’ dengan kekuasaan otoritas-legal yang melekat pada dirinya. Adapun ciri-cirinya ialah: memiliki batas kewenangan, ada tugas dan tanggung jawab resmi (official duties), bekerja secara hierarki dengan prinsip otoritas komando, dan gaji yang diberikan berdasarkan keahlian pekerjaan, hingga metode komunikasi berbasis dokumen tertulis.

Officialdom kemudian mengandung konotasi negatif karena belakangan para raja tersebut menjadikan birokrasi sebagai wilayah otoritasnya untuk memproduksi zona nyaman lewat berbagai beleid yang menguntungkan mereka dan saat bersamaan mengabaikan tuntutan publik dari balik dinding birokrasi.

Dalam bukunya, Parkinson's Law: The Pursuit of Progress (1957), C Northcote Parkinson memperkenalkan ‘Parkinson's Law’. Intinya tubuh birokrasi berpotensi membesar seiring kecenderungan bercokolnya patologi berupa struktur yang gemuk, jumlah pegawai yang di luar kendali, dan borosnya penggunaan sumber daya, meskipun produktivitas yang dihasilkan birokrasi tersebut sangat rendah.

‘Hukum Parkinson’ ini terus menjadi bahaya laten yang direproduksi oleh aktor, sistem, dan lingkungan birokrasi yang mengekalkan imunitas sekaligus resistensi terhadap perubahan (reformasi birokrasi). Kenikmatan fasilitas yang ditimbulkan oleh budaya dan aturan birokrasi parkinson membuat patologi tersebut justru menjadi mainan asyik sekaligus maniak bagi para birokrat.

Itu sebabnya, efisiensi masif birokrasi yang diinisiasi pemerintah saat ini mendapat penolakan keras. Seperti sarang lebah yang diusik kenyamanannya, para birokrat itu akan menyerang dan menggigit para pengusiknya.

JADI GAYA HIDUP

Padahal kondisi fiskal negara kini sedang tidak baik-baik saja. Sebagai mesin yang mentransmisi pelayanan publik untuk kesejahteraan rakyat, birokrasi mau tak mau harus beradaptasi dengan defisit anggaran dan pelemahan ekonomi di mana-mana. Kultur inefisiensi dan menghamba pada jabatan yang merusak birokrasi, saatnya dipangkas.

Sudah lama birokrasi terpapar pola pikir sungsang. Misalnya, birokrasi dikatakan bekerja jika ada serentetan agenda dan aktivitas yang difasilitasi secara eksklusif dan kalau bisa, menggunakan anggaran yang besar. Birokrasi dikatakan memiliki muruah jika di dalam dirinya terdapat bangunan struktur yang masif dan hierarkis, aturan yang banyak dan deretan kursi jabatan yang prestisius. Kalau perlu, jika hal tersebut membuat jarak birokrasi dengan masyarakat makin melebar, malah semakin bagus.

Birokrasi yang boros, korup, akan membuat rakyat susah dan negara bangkrut. Bahkan ia akan semakin dibenci masyarakat jika tak kunjung terbuka dengan nilai-nilai transformatif. Bagaimanapun birokrasi hanyalah alat, sedangkan roh penggeraknya ialah kepercayaan rakyat (Dwiyanto, 2011). Artinya, birokrasi adalah sarana yang diberikan rakyat lewat kepercayaannya untuk dikelola demi kepentingan rakyat.

Penghematan belanja birokrasi harus menjadi gaya hidup baru untuk membentengi birokrasi dari berbagai praktik korup. Sudah banyak preseden bagaimana sebuah negara akhirnya bangkrut karena birokrasinya rusak dan krisis empati. Para pemimpin di birokrasi harus menjadi role model menularkan budaya efisiensi agar tidak menimbulkan inkonsistensi dan sinisme publik.

Karenanya, para elite atau pucuk pimpinan harus meneladankan pola hidup yang sederhana, satunya kata dan perbuatan, serta berani mengambil risiko dari setiap kebijakan publik konstruktif yang dibuat.

Akan percuma jika birokrat di bawahnya disuruh berhemat anggaran belanja, menganjurkan rakyat agar berani hidup susah, tapi para menteri atau politisi masih suka berjoget ria sambil bernyanyi di ‘sarang-sarang lebah’-nya alias gedung mewahnya. Seolah tidak punya kepekaan terhadap suasana kebatinan publik. Ini jelas sebuah kejahatan elite yang tidak patut dipertontonkan.

Moga-moga saja instruksi penghematan dari Presiden Prabowo tidak kandas oleh tingkah anak buahnya sendiri. Jika itu terjadi, instruksi Presiden baru pada level omon-omon.

Read Entire Article
Global Food