
SETIAP tahun, ketika bulan suci Ramadan tiba, jutaan umat Muslim di seluruh dunia memasuki fase transformasi spiritual dan fisik melalui ibadah puasa. Lebih dari sekadar ritual menahan lapar dan dahaga, puasa adalah sebuah latihan disiplin diri yang telah diwariskan selama berabad-abad.
Dalam ajaran Islam, ibadah ini berfungsi sebagai pengendali diri, sebuah “rem” terhadap hawa nafsu, amarah, serta perbuatan buruk lainnya. Lebih dari itu, puasa menjadi manifestasi ketakwaan kepada Allah SWT sebagaimana tertuang dalam firman-Nya dalam Surat Al-Baqarah ayat 183.
Menariknya, dalam perspektif medis Eropa, puasa juga diakui sebagai salah satu modalitas terapi yang diresepkan oleh dokter. Sebuah dokumenter yang dipublikasi pada awal tahun 2025 oleh ARTE, kanal TV budaya Eropa, mengungkapkan bahwa Jerman sudah menerapkan intervensi puasa sebagai bagian dari pendekatan terapeutik dalam mengatasi ancaman kesehatan modern akibat gaya hidup, seperti sindroma metabolik, yang mencakup serangkaian gangguan pada gula darah, tekanan darah, obesitas, dan kolesterol.
Profesor Andreas Michalsen dari Rumah sakit Charité Berlin, satu dari enam rumah sakit milik pemerintah Jerman yang menawarkan terapi puasa, menjelaskan bahwa metode ini terbukti efektif dalam memperbaiki kualitas hidup pasien yang menderita sindrom metabolik serta penyakit sendi seperti osteoatritis.
Untuk mengoptimalkan manfaat puasa, rumah sakit menyediakan pula berbagai terapi penunjang, seperti pijat, terapi beku, dan latihan fisik. Hal tersebut bertujuan untuk menstimulasi dan meregulasi lebih baik proses autofagi, yakni mekanisme alamiah tubuh di “mode ¬hemat” melalui pemecahan protein dan komponen sel lainnya dalam mempertahankan homeostasis, yakni keseimbangan tubuh.
Menariknya, selain diresepkan langsung oleh dokter, terapi puasa ini direimburse oleh asuransi kesehatan. Popularitas terapi ini begitu tinggi, sehingga pasien harus menunggu antrean kurang lebih 6 bulan untuk bisa mengakses layanan ini. Bahkan, peminatnya tidak hanya berasal dari Jerman, namun juga dari berbagai negara lain di Eropa.
Di sisi lain, dalam perspektif evolusi biologis, Eric M. Verdin seorang peneliti biology of aging asal Belgia, mengungkapkan bahwa pada dasarnya, manusia tidak didesain untuk makan terus-menerus dan tanpa henti. Selama puluhan ribu tahun sebelum era modern, makanan tidak selalu tersedia dengan mudah. Manusia harus menanam, beternak, mengumpulkan atau berburu untuk mendapatkan makanan.
Tak jarang proses ini dilakukan dalam kondisi perut kosong selama berjam-jam bahkan berhari-hari, begitu kontras dengan era modern, di mana makanan dapat diakses dengan mudah dan instan, kapanpun dan dimanapun. Kulkas dua pintu, restoran cepat saji 24 jam hingga layanan pengiriman makanan ke rumah.
Perubahan ini bertentangan dengan warisan genetik fisiologis manusia. Profesor Andreas Michalsen menambahkan bahwa manusia secara genetik memiliki performa lebih baik ketika ada jeda yang cukup antara siklus makan dan puasa.
Sementara itu, dalam perspektif psikologis, Christophe André, psikiater Prancis, dalam bukunya Méditer, jour après jour (Meditasi hari demi hari), menggambarkan bahwa obesitas adalah penyakit modern yang muncul akibat pletora, yakni segala sesuatu yang berlebihan.
Hal ini karena manusia modern hidup dengan serba “terlalu”, salah satunya terlalu banyak makan dan terlalu sering makan dengan jarak yang terlalu dekat. Segala sesuatu yang dilakukan secara berlebihan secara paralel juga akan menimbulkan konsekuensi yang besar pula, termasuk dalam konteks ini kesehatan manusia.
Puasa berperan sebagai obat dan “rem” alami serta sebuah bentuk resistensi terhadap budaya konsumsi berlebihan yang mendominasi kehidupan manusia modern. Nyatanya, praktik ini telah “diresepkan” secara ilahi sejak 10 Sya'ban tahun kedua Hijriyah, melalui perintah Allah kepada Rasulullah dan umatnya, berabad-abad sebelum ilmu pengetahuan modern membuktikan. (H-2)