PPN Indonesia Perlu Diturunkan ke Level 9 Persen

4 hours ago 1
PPN Indonesia Perlu Diturunkan ke Level 9 Persen Ilustrasi(Antara)

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef M. Rizal Taufikurahman menilai, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Indonesia perlu diturunkan ke level 9% agar lebih kompetitif di tingkat regional. Menurutnya, tarif PPN Indonesia saat ini sebesar 11% tergolong tinggi dibanding rata-rata ASEAN yang berada di 8%-10%. Rizal mengatakan, negara seperti Thailand dan Vietnam bahkan menurunkan tarifnya menjadi 7%–8% untuk menopang konsumsi pascapandemi. Sementara, Singapura dan Malaysia memilih menaikkan tarif secara bertahap dengan disertai kompensasi sosial agar dampaknya tidak kontraproduktif terhadap daya beli masyarakat.

“Berdasarkan perbandingan itu, tarif ideal PPN Indonesia berada pada kisaran 9%-10%. Level ini cukup kompetitif secara regional sekaligus menjaga kredibilitas fiskal,” ujar Rizal kepada Media Indonesia, Rabu (15/10).

Ia menerangkan penurunan terbatas tarif PPN ke level tersebut berpotensi menambah pertumbuhan ekonomi sekitar 0,2–0,3 poin, dengan syarat pemerintah tetap menjaga disiplin anggaran serta memperluas basis pajak digital dan sektor informal.

Secara teoritis, ekonom Indef itu menegaskan penurunan tarif PPN dapat menjadi instrumen stimulus fiskal jangka pendek yang memberi ruang bagi peningkatan daya beli masyarakat, terutama di tengah tekanan inflasi pangan dan pelemahan pendapatan riil.

"Dengan harga jual barang dan jasa yang lebih rendah, konsumsi masyarakat diharapkan meningkat," katanya.

Namun, Rizal mengingatkan dampaknya penurunan tarif PPN di Indonesia kemungkinan tidak merata, karena sebagian besar pengeluaran rumah tangga justru berada di sektor non-PPN, seperti pangan pokok, transportasi umum, kesehatan, dan pendidikan. Ia justru mengatakan, manfaat penurunan tarif lebih banyak akan dirasakan oleh kelompok menengah ke atas.

"Jadi, bukan masyarakat berpendapatan rendah yang paling rentan terhadap tekanan daya beli yang akan menikmati betul manfaat penurunan PPN," ucapnya.

Di satu sisi, Rizal berpendapat, setiap penurunan satu poin tarif PPN diperkirakan dapat mengurangi penerimaan negara hingga Rp35–40 triliun per tahun. Hal ini berpotensi mempersempit ruang fiskal jika tidak diimbangi dengan perluasan basis pajak dan peningkatan kepatuhan wajib pajak. Karena itu, ia menilai kebijakan ini hanya akan efektif bila dijalankan bersamaan dengan reformasi struktural perpajakan, bukan secara parsial.

Hubungi terpisah, ekonom Center of Reform on Economic (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai penurunan PPN di tengah tekanan fiskal yang masih tinggi merupakan langkah yang berani dan perlu dirancang dengan sangat hati-hati. Di satu sisi, kebijakan ini dapat menjadi stimulus fiskal yang efektif untuk memperkuat daya beli masyarakat serta mendorong konsumsi rumah tangga. Terutama, di tengah perlambatan ekonomi dan tekanan inflasi.

Negara lain, lanjutnya, juga mengambil kebijakan yang serupa, contohnya dapat dilihat dari kebijakan Vietnam yang menurunkan tarif PPN dari 10% menjadi 8% untuk menggerakkan kembali perekonomian pascapandemi. Namun di sisi lain, tambah Rendy, langkah ini tentu menimbulkan risiko penurunan penerimaan negara dalam jangka pendek, mengingat PPN merupakan salah satu kontributor terbesar terhadap pendapatan pajak nasional.

"Penurunan PPN memang berani. Tapi, secara nominal, tarif memang turun, tetapi dengan desain kebijakan yang tepat mampu mengompensasi potensi kehilangan penerimaan melalui peningkatan volume transaksi perdagangan," katanya.

Ia mengatakan ketika harga barang dan jasa menjadi lebih murah, konsumsi masyarakat meningkat, yang pada akhirnya memperluas basis pajak dan menambah penerimaan dari sisi jumlah transaksi. Efektivitasnya tentu bergantung pada seberapa besar penurunan tarif dilakukan dan seberapa responsif masyarakat terhadap perubahan harga tersebut.

Selain itu, pemerintah juga dapat menyesuaikan pos belanja, terutama pada sektor-sektor yang berkaitan langsung dengan daya beli masyarakat seperti subsidi pangan, bantuan sosial, dan dukungan bagi UMKM.

"Dengan pengelolaan belanja yang lebih efisien, dampak fiskal dari penurunan PPN dapat diminimalkan tanpa mengorbankan kualitas belanja publik," pungkasnya. (E-3)

Read Entire Article
Global Food