
FASILITAS pendidikan di Kabupaten Manggarai Timur dan Manggarai Barat di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), masih jauh dari memadai. Kondisi gedung sekolah yang tidak layak hingga ketiadaan akses jalan yang layak menuju sekolah masih terjadi hingga kini.
Sekolah Dasar Negeri (SDN) Lete, Desa Gunung, Kecamatan Kota Komba misalnya. Dua ruang kelasnya yang sebelumnya digunakan untuk kelas 1 dan 2 itu tiba-tiba ambruk rata dengan tanah akibat termakan usia, pada Sabtu (18/10) lalu.
Beruntung tidak ada korban jiwa, peristiwa ambruknya gedung sekolah itu terjadi setelah kegiatan belajar mengajar selesai dan siswa telah kembali ke rumah.
Kepala SDN Lete, Yosep Samlan Lero menjelaskan keadaan ruang kelas tersebut merupakan bangunan lama yang terakhir direhabilitasi pada tahun 2006 dan sejak saat itu belum pernah diperbaiki lagi.
“Ruang kelas itu sebenarnya sudah tidak layak pakai, tapi karena tidak ada ruangan lain, kami tetap gunakan untuk kegiatan belajar. Tahun 2023 kami hanya memperbaiki dinding dengan menggunakan pelepah bambu,” katanya.
Sementara Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) Restorasi Pulau Komodo di kawasan Taman Nasional (TN) Komodo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), sangat memperihatinkan.
Bangunan sekolah di destinasi pariwisata yang populer di dunia itu hanya memiliki tiga ruang kelas dan satu ruang guru. Tiang-tiang dan rangka lainnya, termasuk dindingnya, masih terbuat dari bambu. Sebagian dinding dan atap sekolah itu hanya menggunakan seng. Sementara lantai sekolah terbuat dari semen kasar.
Kondisi tuang guru juga sekolah itu juga tidak kalah mirisnya, bangunannya seperti lapak sederhana dengan lantai tanah dan tidak berdinding. Tempat duduk ruang guru terbuat dari bambu. Tak ada meja di ruang guru itu. Para guru tampak memangku laptop yang dipakai untuk bekerja.
Wakil Kepala SMKN Restorasi Pulau Komodo, Saharil mengatakan SMKN Restorasi Pulau Komodo merupakan satu-satunya sekolah lanjutan tingkat atas di kawasan TN Komodo. Sekolah ini beroperasi mulai tahun ajaran 2022/2023.
Sementara di tempat berbeda puluhan pelajar SMP Negeri Satu Atap (SATAP) Benteng Sipi Desa Benteng di Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur harus menempuh medan berbahaya sejauh 4 kilometer demi bisa bersekolah. Kondisi itu sudah terjadi sejak belasan tahun lalu.
Setiap hari puluhan siswa itu menyebrang sungai dan melintasi lereng terjal sejauh 4 kilometer menuju sekolah yang berada di desa tetangga. Jika musim penghujan tiba dan air sungai meluap puluhan siswa ini terpaksa meliburkan diri dan terkadang menginap di sekolah.
Para siswa mengaku selalu cemas saat harus melintasi sungai dan lereng bukit terutama di musim hujan. Kendati demikian, kondisi medan yang sulit tidak mengurungkan niat puluhan siswa ini untuk terus sekolah.
Baik warga setempat maupun siswa berharap pemerintah daerah dapat membangun fasilitas jalan dan jembatan untuk warga maupun siswa bersekolah tanpa rasa takut dan cemas.
"Jembatan dan pembangunan jalan yang memadai menjadi kebutuhan mendesak saat ini. Kasihan anak anak kami, harus jalan melintasi lereng terjal tidak bisa bersekolah jika air sungai meluap," pinta Antonius seorang warga Benteng Sipi Elar.
Situasi serupa juga dialami puluhan Siswa SD di Desa Wae Jare Kabupaten Manggarai Barat. Setiap hari harus melintasi jembatan bilah-bilah bambu rapuh menuju SDN Wae Jare.
Donatus Semidun, 58, salah seorang tokoh adat setempat mengatakan ketiadaan akses menuju sekolah mendorong warga gotong royong membangun jembatan kayu, namun kondisinya masih jauh dari layak untuk dilintasi puluhan anak-anak sekolah dasar.
"Kondisi ini sangat sulit dan berbahaya untuk dilintasi saat musim penghujan. Harus ekstra hati-hati, jembatan licin hingga terancam banjir," jelas Donatus.
Warga juga mengaku kecewa rendahnya perhatian pemerintah, padahal Wae Jare yang merupalan desa wisata tidak jauh dari Kota Labuan Bajo, sebuah Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) yang diselimuti fasilitas megah.
Selain ketiadaan jembatan, desa penghasil tanaman komoditi itu juga tidak memiliki jaringan listrik serta kesulitan mengakses air bersih.
"Kami berharap pemerintah dapat mengatasi persoalan mendasar ini. Sudah cukup lama warga menderita karena keterbatasan jalan dan jembatan," tegas Donatus. (MM/E-4)