Perkuat Sistem Kepartaian Melalui Revisi UU Pemilu

5 hours ago 3
Perkuat Sistem Kepartaian Melalui Revisi UU Pemilu Petugas membawa bendera partai politik peserta Pemilu 2024 dalam kirab Kampanye Pemilu Damai di Jalan Imam Bonjol, Jakarta, beberapa waktu lalu. Pakar elektoral dan tata kelola pemilu dari Universitas Airlangga, Kris Nugroho, menegaskan penguatan regulasi(ANTARA/ADITYA PRADANA PUTRA)

Pakar elektoral dan tata kelola pemilu dari Universitas Airlangga, Kris Nugroho menegaskan rancangan undang-undang (RUU) Pemilu berbasis kodifikasi harus dibangun secara paralel dengan pembenahan sistem kepartaian di Indonesia.

Menurut Kris, perbaikan sistem pemilu tidak akan efektif jika tidak diikuti oleh penguatan kelembagaan partai politik sebagai pilar utama demokrasi.

“RUU Pemilu dengan konsep kodifikasi itu harus paralel dengan ketentuan dalam undang-undang pemilu terkait syarat pencalonan. Ini harus selaras dengan pembenahan masalah internal partai, seperti kaderisasi, keanggotaan, pembiayaan, dan keuangan partai politik,” ujar Kris dalam Seminar Kodifikasi UU Pemilu Usulan Masyarakat Sipil untuk Perbaikan, Rabu (8/10).

Kris menilai, penguatan regulasi tentang partai politik harus ditegaskan secara eksplisit dalam RUU Pemilu agar partai memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam mencerdaskan pemilih dan menjaga integritas calon yang diusung.

“Bagian-bagian itu harus disempurnakan, bahkan diperkuat, dan dinyatakan sebagai satu kesatuan regulasi yang linear dengan syarat pencalonan. Dengan begitu, partai bisa berdaya dan memiliki tanggung jawab untuk mencerdaskan pemilih,” jelasnya.

Kelembagaan yang kuat

Ia menambahkan, di balik rancangan kodifikasi UU Pemilu, terdapat harapan besar agar partai politik di Indonesia menjadi lembaga yang kuat, terstruktur, dan memiliki otoritas yang jelas dalam mengontrol proses elektoral dari awal pencalonan hingga pasca pemilihan.

“Saya membayangkan kita punya partai politik yang kuat, dengan koneksitas kelembagaan yang rapi dan otoritatif. Partai memiliki kemampuan untuk mengontrol setiap proses elektoral, dari pencalonan legislatif hingga saat kadernya duduk di parlemen,” tutur Kris.

Ia berharap RUU Pemilu yang sedang digodok dapat mengakomodasi kebutuhan untuk memperkuat partai politik sebagai institusi yang kredibel dan dipercaya publik, mengingat biaya penyelenggaraan pemilu yang semakin besar.

“Apalagi biaya pemilu terakhir mencapai sekitar Rp70 triliun. sangat besar untuk sebuah sistem yang masih rentan improvisasi,” ungkapnya.

Volatilitas Elektoral

Lebih lanjut, Kris juga menilai volatilitas elektoral masih menjadi tantangan besar bagi partai-partai politik Indonesia. Banyak partai besar kehilangan basis dukungan, sementara partai baru tumbuh cepat, tetapi hubungan antara pemilih dan partai masih bersifat dangkal.

“Volatilitas elektoral di Indonesia tinggi karena tidak ada kedekatan ideologis antara pemilih dan partai politik. Pemilih mudah berpindah dukungan dari satu partai ke partai lain karena mereka tidak memiliki pijakan kesadaran politik yang kuat,” jelasnya.

Menurutnya, kondisi tersebut menandakan lemahnya ikatan emosional dan ideologis antara pemilih dan partai. Hal itu harus diperbaiki dengan penguatan sistem kepartaian yang lebih substantif dan konsisten.

“Ini yang harus dibangun oleh partai-partai kita untuk menghindari volatilitas politik. Masalah ini tidak hanya disebabkan oleh perilaku pemilih, tetapi juga oleh lemahnya sistem partai dan regulasi pemilu kita,” tuturnya.

Perubahan Sistem Pemilu

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kodifikasi RUU Pemilu yang terdiri dari 30 organisasi seperti Perludem, Pusako FH Universitas Andalas, Puskapol UI, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Netgrit, ICW, PSHK, Themis Indonesia meluncurkan naskah usulan kodifikasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu sebagai inisiatif reformasi menyeluruh terhadap sistem kepemiluan Indonesia. 

Direktur Eksekutif Perludem, Heroik Mutaqin Pratama menyampaikan salah satu upaya penguatan sistem keparataian juga bisa dilakukan dengan mengubah sistem pemilu. Koalisi masyarakat sipil merekomendasikan sistem pemilu campuran (Mixed Member Proportional atau MMP) untuk menggantikan sistem proporsional terbuka saat ini.

“Usulannya, setiap pemilih akan mendapat dua suara, satu untuk partai dan satu untuk calon di daerahnya,” ujar Heroik.

Model ini, menurutnya, akan menjaga keseimbangan antara aspek kelembagaan partai dan kualitas individu calon. “Sistem mixed member proportional memberi insentif pada partai untuk lebih berlembaga, tetapi juga tetap memberi ruang bagi calon untuk berkompetisi secara sehat,” jelas Heoik.

Heroik menambahkan, rancangan tersebut mengadopsi model seperti di Jerman. Dimana dalam surat suara nanti pada sebelah kiri ada logo partai dan di sebelah kanan ada nama sehingga calon pemilih bisa memilih keduanya.

Janjikan Partisipasi Publik

Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, mengungkapkan bahwa pihaknya tengah menyiapkan proses revisi UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. 

Revisi ini, kata Rifqi, akan melibatkan banyak pihak dan dirancang secara terbuka untuk memastikan adanya partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

“Kami akan segera menggelar beberapa rapat dengar pendapat umum untuk menghadirkan berbagai pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pemilu di Komisi II DPR RI,” ujar Rifqi dalam Seminar Kodifikasi UU Pemilu Usulan Masyarakat Sipil untuk Perbaikan pada Rabu (8/10). 

Ia menjelaskan, Komisi II DPR RI juga bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri dalam pembentukan tim khusus yang bertugas menyusun rancangan revisi tersebut. “Kami bersama Kemendagri sedang membuat tim untuk menyusun revisi undang-undang pemilu agar prosesnya lebih terarah dan terukur,” katanya.

Menurut Rifqi, revisi UU Pemilu kali ini bukan hanya menyangkut aspek teknis penyelenggaraan pemilu presiden dan legislatif, tetapi juga mencakup pemilihan kepala daerah. “Kalau kita memaknai pemilu secara luas, maka bukan hanya pemilihan presiden dan legislatif, tetapi juga pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota sebagaimana ditegaskan dalam keputusan Mahkamah Konstitusi,” jelasnya.

Kodifikasi Pembahasan

Lebih lanjut, Rifqi mengungkapkan bahwa Komisi II DPR juga tengah mempertimbangkan untuk menggabungkan seluruh aturan kepemiluan dalam satu kodifikasi hukum. Langkah ini dinilai penting agar sistem hukum pemilu menjadi lebih terintegrasi dan efisien.

“Kodifikasi ini sangat penting karena selama ini aturan pemilu masih bersifat sektoral. Dengan dikodifikasi, seluruh regulasi akan berada dalam satu ekosistem hukum yang saling terhubung, sehingga norma dan ketentuan antara aturan menjadi lebih sinkron,” ucapnya. 

Rifqi menegaskan, rencana kodifikasi hukum pemilu juga sejalan dengan arah kebijakan nasional yang tercantum dalam lampiran Undang-Undang tentang RPJMN, yang menekankan perlunya perbaikan sistem pemilu dan demokrasi melalui satu payung hukum yang komprehensif.

“Dalam lampiran RPJMN disebutkan bahwa sistem demokrasi dan kepemiluan kita memerlukan satu kodifikasi hukum. Jadi arah revisi ini bukan hanya penyempurnaan teknis, tapi juga pembenahan sistemik terhadap keseluruhan tata kelola kepemiluan di Indonesia,” pungkasnya. (P-1)

Read Entire Article
Global Food