Perbedaan Data Satgas Penertiban Kawasan Hutan Disorot

5 hours ago 3
Perbedaan Data Satgas Penertiban Kawasan Hutan Disorot Ilustrasi. Satgas PKH melakukan pemasangan papan informasi .(Antara-HO)

PUSAT Studi dan Advokasi Hukum Sumber Daya Alam (Pustaka Alam) merilis hasil kajian terbaru terkait klaim penguasaan kembali lahan kelapa sawit oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH). 

Lembaga itu menemukan adanya ketidaksesuaian antara data resmi Satgas dan kondisi faktual di lapangan, terutama terkait lahan yang dikembalikan kepada negara.

Satgas PKH sebelumnya mengumumkan telah menguasai kembali 3,4 juta hektare kawasan hutan, dengan sekitar 1,5 juta hektare di antaranya diserahkan kepada PT Agrinas Palma Nusantara. 

Namun, kajian Pustaka Alam menunjukkan sebagian besar lahan tersebut tidak seluruhnya berupa kebun sawit aktif, melainkan juga mencakup lahan kosong, rawa, dan bahkan kawasan konservasi.

"Temuan itu seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah untuk meninjau kembali data yang dilaporkan Satgas PKH. Tidak semua lahan yang dikuasai kembali benar-benar berbentuk kebun sawit. Bahkan Agrinas Palma sendiri telah mengonfirmasi di hadapan DPR bahwa banyak data versi Satgas tidak akurat," ujar Direktur Pustaka Alam Muhamad Zainal Arifin melalui siaran pers, Rabu (15/10). 

Zainal mencontohkan sejumlah kasus di beberapa daerah, termasuk di Kalimantan Tengah, di mana dari ribuan hektare lahan yang disebut telah dikuasai kembali, hanya sebagian kecil yang benar-benar tertanam sawit.

"Jika data ini dijadikan dasar laporan kepada Presiden, maka Presiden disesatkan oleh angka-angka yang tidak mencerminkan realitas lapangan," ujarnya.

Pustaka Alam menilai, perbedaan data tersebut menimbulkan dua kemungkinan. Pertama, sebagian lahan yang diklaim bukan merupakan kebun sawit aktif, padahal menurut UU Cipta Kerja, penguasaan kembali hanya bisa dilakukan terhadap lahan yang telah diubah fungsinya. Kedua, terdapat indikasi pembesaran angka dalam laporan Satgas untuk memenuhi target kinerja.

"Itu pelanggaran terhadap asas nemo plus juris, yang berarti seseorang tidak bisa menyerahkan hak atas tanah yang bukan miliknya. Negara seharusnya menjadi teladan dalam menegakkan asas hukum ini," tutur Zainal.

Lebih jauh, Pustaka Alam juga menemukan adanya lahan berstatus Hak Guna Usaha (HGU) yang masih berlaku namun turut dikuasai kembali. Menurut Zainal, tindakan tersebut berpotensi menimbulkan persoalan hukum karena melanggar prinsip kepastian hak atas tanah. 

Ia bahkan mengingatkan agar pemerintah berhati-hati agar kasus serupa Bremen Tobacco Case pada 1959 tidak terulang. Temuan ketidaksesuaian data ini, kata Zainal, juga berimplikasi pada perhitungan denda administratif kepada perusahaan, karena perbedaan luas lahan yang sebenarnya melanggar dengan yang diklaim bisa menimbulkan ketidakadilan dalam penegakan sanksi. "Kita sudah sampai pada situasi absurd, di mana kebenaran data hanyalah versi Satgas," ujarnya. 

Pustaka Alam menekankan, data yang tidak akurat dapat menyesatkan kebijakan publik, mulai dari perencanaan target produksi CPO hingga perhitungan aset negara dan PNBP. 

"Negara harus berhati-hati, karena keputusan yang didasarkan pada data yang keliru dapat menimbulkan salah kelola kebijakan," pungkas Zainal. (Mir/P-2)

Read Entire Article
Global Food