
PAKAR hukum narkotika, Kombes (Purn) Slamet Pribadi menyoroti fenomena berubahnya pengguna narkoba menjadi pengedar di dalam lembaga pemasyarakatan (LP).
Menurutnya, banyak pengguna berubah menjadi pengedar di dalam penjara disebabkan oleh kecanduan yang tidak tertangani dan lemahnya sistem pembinaan sehingga LP menjadi ‘pasar gelap’ narkoba, alih-alih sebagai tempat rehabilitasi.
“Pengguna narkoba itu punya ketergantungan tinggi. Kalau kebutuhan itu tidak terpenuhi, mereka mengalami sakau. Karena tidak punya uang, akhirnya ikut jaringan peredaran untuk dapat barang,” ujar Slamet saat dikonfirmasi, Rabu (15/10).
Kondisi ini, menurutnya, semakin parah karena LP yang seharusnya menjadi tempat pembinaan justru berubah menjadi pasar narkoba. Bertemunya pengguna dengan bandar atau pengedar dari berbagai jaringan menciptakan ekosistem bisnis gelap yang sulit dikendalikan.
Ia menambahkan, kondisi itu juga diperparah oleh situasi LP yang menampung berbagai jenis narapidana narkotika dalam satu tempat.
“Bayangkan, pengguna dan bandar besar ditempatkan di satu lapas (LP). Dari situ terjadi pertemuan, pertukaran pengetahuan, dan rekrutmen. Itulah yang membuat Lapas jadi tempat tumbuhnya jaringan baru,” katanya.
Lemahnya integritas petugas
Selain karena faktor internal narapidana, Slamet juga menyoroti lemahnya sistem pengawasan dan adanya keterlibatan oknum petugas yang tergiur keuntungan. “Selama masih ada oknum petugas yang terlibat, masalah narkoba di Lapas tidak akan pernah selesai,” ujarnya.
Ia menambahkan, kurangnya anggaran dan fasilitas pengawasan juga menjadi hambatan serius bagi penguatan sistem keamanan di dalam penjara.
“Keterbatasan SDM dan minimnya teknologi pengawasan membuat penyelundupan barang terlarang seperti narkoba dan ponsel masih terus terjadi,” jelasnya.
Slamet mengungkapkan bahwa persoalan klasik yang kerap muncul setiap kali dilakukan inspeksi mendadak (sidak) di LP. Menurutnya, informasi sidak sering bocor lebih dulu sebelum kegiatan berlangsung.
“Informasi sidak sering kali sudah bocor, baik oleh warga binaan maupun oknum petugas sendiri. Jadi, sebelum sidak dilakukan, mereka sudah siap-siap menyembunyikan narkoba atau ponsel dengan rapi.”
Ia menilai, kebocoran informasi tersebut menunjukkan lemahnya integritas di internal LP yang dimanfaatkan oleh jaringan pengedar narkoba yang sudah sangat terorganisir di dalam.
“Jadi sebelum sidak mereka sudah siap-siap untuk menyembunyikan narkoba itu secara rapi. Bisa jadi informasi itu dibocorkan oleh petugas lapas itu sendiri. Jadi barang-barang terlarang itu, disembunyikan di tempat-tempat yang tidak terduga seperti dinding, lantai, atau melalui barang kiriman pengunjung,” ujarnya.
Persempit komunikasi
Untuk memutus mata rantai peredaran narkoba di LP, Slamet menilai pemerintah harus melakukan penanganan secara menyeluruh dan berimbang antara aspek pencegahan, penegakan hukum, dan rehabilitasi.
“Sisi pencegahan, penegakan hukum, dan pengobatan orang yang menjadi pencandu narkoba harus baik. Selama tiga hal itu berjalan seimbang, barulah kita bisa memutus mata rantai peredaran narkoba di dalam maupun di luar Lapas,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya memulihkan para pecandu agar tidak lagi menjadi pasar bagi para bandar. “Kalau para pecandu sudah direhabilitasi atau sembuh, bandarnya bisa bangkrut karena tidak ada lagi yang membeli,” tambah Slamet.
Dia mendorong pemerintah agar secara jelas dan baku membuat klasifikasi khusus bagi narapidana narkotika. Ia menilai perlu adanya pembedaan antara pengguna, bandar kecil, dan bandar besar agar pembinaan bisa lebih efektif.
“Idealnya, pengguna atau pecandu ditempatkan di lapas rehabilitasi, sedangkan bandar harus di lapas keamanan maksimum yang benar-benar tertutup dari akses komunikasi,” tuturnya.
Selain itu, ia juga mengusulkan pembatasan komunikasi bagi narapidana saat kegiatan bersama seperti olahraga, rekreasi, dan ibadah.
“Pemerintah harus bisa mengklasifikasikan narapidana narkotika dan membatasi komunikasi mereka. Jangan biarkan mereka saling berhubungan pada saat jam olahraga, rekreasi, atau ibadah, karena momen seperti itu sering dimanfaatkan untuk berkomunikasi dengan jaringan,” pungkasnya.
Sebelumnya, mantan aktor Ammar Zoni ketahuan mengedarkan sabu dan tembakau sintetis saat menjalani masa hukuman di Rutan Kelas I Salemba, Jakarta Pusat. Dia divonis 3 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 3 bulan kurungan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada Agustus 2024 dalam kasus serupa.
Ammar mengedarkan narkoba di dalam Rutan Salemba bersama lima orang lainnya, yakni A, AP, AM alias KA, ACM, dan MR. Kasus tersebut sudah masuk tahap dua, yaitu penyerahan barang bukti dan tersangka kepada kejaksaan, sebelum akhirnya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Fatah Chotib Uddin membeberkan narkoba tersebut diperoleh Ammar dari penyedia di luar rutan. Seluruh komunikasi terkait dengan transaksi dilakukan melalui Zangi, aplikasi pesan instan, menggunakan ponsel dari dalam penjara. (Dev/P-2)