
MENTERI Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus stagnan di kisaran 5% tidak bakal cukup untuk membawa negara ini naik kelas. Ia menilai, dibutuhkan sbuh kebijakan ekonomi yang agresif.
Menurutnya, kebijakan moneter seharusnya tidak hanya diukur dari tingkat suku bunga, tetapi juga dari pertumbuhan uang beredar atau base money yang menjadi fondasi kebijakan moneter.
"Jadi kita kalau tumbuh 5% terus, tidak bisa mengejar ke atas. Harus ada suatu kebijakan yang agresif," ujarnya dalam 1 Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran: Optimism on 8% Economic Growth yang digelar oleh Metro TV di Jakarta, Kamis (16/10).
Purbaya menjelaskan, aktivitas ekonomi saat ini lebih banyak ditopang sektor jasa yang memiliki nilai tambah rendah dengan porsi 54% terhadap PDB. Sementara sektor manufaktur terus mengalami penurunan. Kondisi tersebut menunjukkan gejala deindustrialisasi yang berpotensi memperlambat laju pertumbuhan jangka panjang.
"Ini yang disebut deindustrialisasi. Pertanian juga turun tapi masih stabil di 13,4% setelah krisis," katanya.
Ia menjelaskan, transformasi ekonomi seharusnya berjalan dari basis pertanian menuju sektor manufaktur yang kuat, tanpa mematikan sektor pertanian. Purbaya menyebut, sektor pertanian justru perlu dibuat lebih produktif dengan tenaga kerja yang lebih efisien, melalui program-program seperti <i>food estate<p> dan penguatan rantai pasok pangan.
"Ke depan, kita harus teruskan transformasi ekonomi. Bukan berarti sektor pertanian dimatikan, tapi lebih sedikit orangnya dan lebih produktif," ucapnya.
Konsep Sumitronomics
Dalam pandangan Purbaya, arah transformasi ekonomi itu sejalan dengan konsep Sumitronomics yang menekankan tiga pilar utama. Yakni, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerataan manfaat pembangunan, serta stabilitas nasional yang dinamis.
"Di awal, sebenarnya gue juga enggak ngerti banget Sumitronomics itu apa. Tapi setelah saya pelajari, bagus juga rupanya konsep Sumitronomics itu," ucapnya.
Ia menilai, dua pilar terakhir dapat terwujud jika program-program pembangunan benar-benar menyentuh masyarakat secara langsung.
"Jadi, pemerataan manfaat pembangunan dan stabilitas nasional yang dinamis itu tumbuh kalau kita memberi program-program utamanya langsung ke rakyat. Kalau enggak begitu, pertumbuhan ekonomi tinggi enggak bisa stabil," imbuhnya.
Purbaya juga menyinggung dinamika sosial ekonomi yang kerap memicu gejolak di lapangan. Ia menilai, demonstrasi besar yang terjadi pada Agustus lalu bukan semata disebabkan oleh faktor politik, melainkan akibat tekanan ekonomi masyarakat. Karena itu, pemerintah harus segera memperkuat fondasi ekonomi agar daya beli dan optimisme publik terjaga.
"Kalau ekonomi tercekik, masyarakat jadi kesal, mereka turun ke jalan. Jadi, itu bukan karena politik kacau, tapi karena ekonomi susah. Kalau enggak cepat-cepat diperbaiki, demo enggak akan berhenti," tegasnya.
Dorongan Likuiditas
Salah satu langkah konkret yang dilakukan Purbaya adalah menempatkan dana pemerintah Rp200 triliun di lima bank Himbara. Kebijakan tersebut ditujukan untuk meningkatkan likuiditas, mempercepat penyaluran kredit, serta mendorong aktivitas ekonomi di sektor riil.
Sejak dana itu ditempatkan, ia melihat optimisme dunia usaha meningkat."Kami coba dorong ekonomi dengan penempatan Rp200 triliun di Himbara, ada sinyal positif. Ada optimisme," klaimnya.
Penempatan dana tersebut, katanya, terbukti memperluas ruang pembiayaan. Data terakhir yang dipegangnya, Bank Mandiri telah menyalurkan kredit 74% dari alokasi dana yang ditempatkan Rp55 triliun, BRI 62% dari Rp55 triliun, BNI 50% dari Rp55 triliun. Lalu, BTN menyerap 19% dari alokasi Rp25 trilin, dan BSI sekitar 55% dari Rp10 triliun. Dana tersebut kemudian disalurkan ke sektor-sektor produktif dalam bentuk tambahan kredit.
"Bank Mandiri, misalnya sudah bilang ke saya kalau kreditnya tumbuh dari 8% naik ke 11%, sudah lumayan tuh. Kita dorong terus nanti biar tumbuhnya makin cepat," kata mantan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu.
Dengan cara itu, likuiditas di sektor keuangan diyakini meningkat signifikan dan mulai menggerakkan roda perekonomian. Ia menilai, kebijakan tersebut berhasil menghidupkan kembali mesin pertumbuhan yang sempat melemah.
"Uang primer atau MO sekarang tumbuh 13,2%. Artinya, gelontoran uang saya sudah menambah likuiditas di sistem finansial kita secara signifikan," tuturnya.
Ia menegaskan akan terus memantau dampak kebijakan tersebut setiap bulan. "Kalau kurang, saya tambah lagi. Saya masih punya uang banyak," katanya, "Sombong kan Menteri Keuangannya," kelakarnya.
Dampak Terhadap Pasar
Dampak kebijakan peningkatan likuiditas juga tecermin pada kinerja pasar keuangan. Purbaya menyebut indeks harga saham gabungan (IHSG) sempat mencapai rekor tertinggi di level 8.297,86 setelah pemerintah menggelontorkan dana Rp200 triliun ke sistem perbankan. Ia menilai, kenaikan itu menunjukkan kepercayaan pasar terhadap prospek ekonomi Indonesia yang semakin positif.
"IHSG sempat menembus level tertinggi sepanjang sejarah waktu itu. Ini dikaitkan dengan saya katanya," klaimnya.
Meski IHSG sempat terkoreksi, Purbaya menegaskan perbaikan ekonomi yang dilakukan bersifat fundamental dan berkelanjutan.
"Kita perbaiki fondasi ekonominya dengan serius. Saya akan arahkan seluruh pengetahuan yang sudah saya pelajari selama puluhan tahun ini. Perbaikannya akan fundamental dan terus menerus," tegasnya. Menurutnya, bisnis ekspansi akan dijaga terus hingga 10 tahun ke depan.
"Kalau diterjemahkan ke IHSG, dari mulai ekspansi sampai ujungnya bisa empat sampai tujuh kali lipat. Kalau kemarin IHSG 7 ribu, ya kalau di atas 30 ribu, wajar saja nanti," ujarnya.
Transfer Daerah
Dalam rangka efisiensi anggaran, Menkeu mengatakan pemerintah pusat akan mengurangi alokasi dana ke daerah. Ia mengungkapkan, langkah tersebut menimbulkan protes dari sejumlah pemerintah daerah yang merasa anggarannya dipotong.
"Tahun depan, anggaran ada efisiensi, anggaran ke daerah saya kurangi. Kemarin mereka datang ke saya marah-marah, kenapa dipotong," ujarnya.
Namun, menurutnya, pemerintah daerah sebenarnya tidak kekurangan dana. Bahkan, saat ini banyak dana daerah yang justru menganggur di perbankan.
"Mereka enggak kekurangan uang, bahkan kelebihan. Coba Anda lihat, per bulan Agustus, daerah punya Rp254 triliun, itu menganggur di perbankan," bebernya.
Ia menambahkan, pada Desember 2024, pemerintah daerah masih memiliki Rp92 triliun yang belum digunakan. Sementara pada Desember 2023, jumlah dana menganggur bahkan mencapai Rp103,9 triliun.
"Menganggur itu artinya enggak dipakai. Jadi harusnya kalau saya potong pun enggak apa-apa," tegasnya.
Bendahara Negara itu pun menegaskan, pemerintah tetap membuka peluang tambahan anggaran bagi daerah yang memiliki penyerapan dana yang baik dan tidak melakukan penyelewengan.
"Jadi saya bilang ke mereka, Anda boleh minta uang tambahan, tapi itu kalau penyerapan anggarannya bagus dan enggak ada lagi penyelewengan. Di pertengahan tahun depan, saya akan tambah uangnya," ucapnya.
Ia menekankan, tujuan kebijakan itu bukan untuk memotong dana daerah, tetapi untuk memastikan uang tersebut dibelanjakan tepat waktu agar ekonomi di daerah ikut tumbuh.
"Yang saya inginkan bukan memotong uang mereka, tapi memastikan uangnya dibelanjakan tepat waktu supaya daerahnya tumbuh. Di pusat juga sama. Pusat seperti itu, daerah seperti itu,” jelasnya.
Optimistis Pertumbuhan 8%
Di akhir paparannya, Purbaya menyatakan dukungannya terhadap target Presiden Prabowo Subianto soal pertumbuhan ekonomi mencapai 8%. Menurutnya, banyak pihak menilai target tersebut terlalu ambisius, namun secara ekonomi hal itu dianggap justru realistis dan perlu dikejar.
"Waktu Pak Prabowo bilang akan menciptakan pertumbuhan ekonomi 8%, semua ngetawain. Tapi kalau saya sebagai ekonom, itu bagus, hajar bleh," bilangnya.
Ia menegaskan, untuk menjadi negara maju, Indonesia harus mampu mempertahankan pertumbuhan dua digit selama lebih dari satu dekade. Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Tiongkok disebutnya sebagai contoh negara yang berhasil melakukan lompatan ekonomi melalui fase pertumbuhan tinggi.
Karena itu, Purbaya optimistis Indonesia bisa menempuh jalur yang sama jika seluruh mesin ekonomi bekerja selaras, kebijakan moneter dan fiskal berjalan sinkron, serta transformasi struktural dijalankan dengan konsisten.
"Untuk sebuah negara bisa jadi negara maju, dia perlu menciptakan pertumbuhan double digit selama 10 tahun lebih. Saya sudah lihat Jepang, Korea, Taiwan, Tiongkok, seperti itu," tutupnya.
Pro-growth
Di kesempatan terpisah, Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi Gerindra Mohamad Hekal berpandangan, arah kebijakan ekonomi di bawah Menkeu Purbaya condong mendorong pertumbuhan atau pro-growth. Hal itu berbeda dengan Menkeu sebelumnya, Sri Mulyani, yang dinilai cenderung menitikberatkan pada stabilitas, baik dari sisi kurs, pertumbuhan, maupun inflasi.
"Kalau kita lihat, gaya Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa ini lebih condong pro-growth. Sedangkan, Menkeu sebelumnya terlalu fokus pada stabilitas ekonomi," ujar Haekal.
Ia menerangkan, saat pelantikan Purbaya sebagai Menkeu baru, pasar bereaksi negatif. Namun, ketika ada pengumuman penempatan dana Rp200 triliun di Himbara, respons publik menjadi positif. Pasar modal bahkan bergerak naik berhari-hari, hingga indeks harga saham gabungan menyentuh level 8.000.
"Artinya, pasar membaca ada semangat baru dalam arah kebijakan ekonomi kita," kata Politikus Gerindra itu.
Ia menambahkan, penempatan dana Rp200 triliun itu pada dasarnya adalah pergeseran dana pemerintah dari bank sentral ke bank umum, dengan tujuan mendorong sektor riil. Pemerintah memilih menempatkan dana di bank umum karena diyakini bisa menggerakkan perekonomian masyarakat secara langsung.
Ia pun menegaskan, tantangan pemerintah saat ini adalah mencari keseimbangan antara menjaga stabilitas fiskal dan mendorong pertumbuhan ekonomi. "Kita ingin kebijakan mix yang tepat, agar cita-cita Presiden untuk mencapai pertumbuhan 8% bisa tercapai, tanpa mengorbankan pengelolaan APBN," tuturnya.
Butuh Insentif
Terkait penempatan dana pemerintah ke Himbara, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam mengaku masih mencermati langkah tersebut.
Menurutnya, poin yang dibutuhkan dunia usaha saat ini adalah insentif sektor riil. Karena meski pemerintah mendorong likuiditas ke pasar, permintaan (demand) belum menunjukkan peningkatan.
"Kalau ada likuiditas masuk pasar tapi <i>demand tidak naik, mestinya suku bunga turun. Itu harapannya. Tapi yang sebenarnya ditunggu dunia usaha adalah insentif untuk sektor riil," jelasnya.
Bob menambahkan, berdasarkan hasil survei Apindo, 67% perusahaan tidak berniat melakukan ekspansi tahun ini, dan 50% sudah melakukan pengurangan tenaga kerja. Bahkan, tahun depan, jika tidak ada perubahan kebijakan dari pemerintah, mereka melihat kemungkinan pengurangan tenaga kerja akan berlanjut.
"Kami masih menunggu langkah konkret setelah penggerakan dana Rp200 triliun ini. Yang ditunggu adalah insentif di sektor riil. Penempatan dana ini bukan tidak tepat, tapi sinyal berikutnya yang kami harapkan adalah stimulus yang jelas," ujarnya.
Bob menekankan setiap stimulus pemerintah tetap diapresiasi, tetapi fokus yang diharapkan adalah stimulus untuk kelas menengah. Selama ini, banyak stimulus diarahkan ke kelompok miskin.
Genjot Daya Beli
Dihubungi di kesempatan terpisah, Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Anne P Sutanto mengatakan penempatan dana sebesar Rp200 triliun di bank Himbara diharapkan dapat mendorong pertumbuhan sektor padat karya. Selain menstimulasi konsumsi, langkah itu juga diarahkan mampu mengurangi tingkat pengangguran.
"Dana ini diharapkan bisa meningkatkan daya beli masyarakat, terutama pekerja dan industri padat karya yang menjadi prioritas," kata Anne.
Ketua Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) itu menambahkan, peningkatan likuiditas sangat penting untuk memperkuat modal kerja perusahaan, khususnya di sektor padat karya yang membutuhkan perputaran dana yang cepat agar operasional tetap lancar.
"Kami juga menekankan harapan agar Himbara dan bank-bank swasta dapat meningkatkan dukungan pembiayaan rantai pasok (supply chain financing) bagi industri padat karya," ucapnya.
Dengan begitu, lanjut Anne, aliran dana tidak hanya membantu perusahaan besar, tetapi juga usaha menengah dan kecil yang merupakan bagian penting dari rantai pasok.
Dampak positifnya akan langsung dirasakan di sektor riil, mulai dari penyerapan tenaga kerja, kelancaran produksi, hingga peningkatan daya beli masyarakat.
Kebijakan Ekstrem
Peneliti Ekonomi Makro dan Finansial Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Riza Annisa Pujarama mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam melakukan pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD).
Ia menilai pengurangan dana transfer secara signifikan dapat mendorong pemerintah daerah mengambil kebijakan ekstrem demi menambah anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dalam waktu singkat.
"Jangan sampai daerah justru menaikkan pajak-pajak daerah seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atau pajak kendaraan bermotor yang dapat menekan masyarakat dan mengganggu ekosistem bisnis," kata Riza.
Dalam RAPBN 2026, pemerintah mengalokasikan dana TKD sebesar Rp649,99 triliun, turun sekitar Rp269 triliun jika dibandingkan dengan alokasi dalam APBN 2025 yang mencapai Rp919,87 triliun.
Menurut Riza, pemangkasan transfer ke daerah berpotensi memengaruhi capaian pertumbuhan ekonomi dan kinerja fiskal di tingkat daerah. Ia menekankan pelayanan publik, terutama sektor pendidikan, tidak boleh menurun karena sifatnya wajib (mandatory) sesuai amanat UUD 1945 yang menetapkan alokasi minimal 20% dari APBN/APBD untuk pendidikan.
"Dengan berkurangnya pendapatan, pemerintah daerah perlu segera menyesuaikan struktur APBD," imbuhnya.
Penyesuaian tersebut, lanjutnya, dimungkinkan apabila sebagian anggaran pendidikan ditarik ke pemerintah pusat. Dalam kondisi itu, daerah hanya perlu menyesuaikan porsi anggaran dari bagian yang menjadi tanggung jawabnya.
Riza juga menilai pemerintah daerah belum siap jika pengurangan TKD dilakukan dalam waktu singkat. Karena itu, diperlukan asistensi dari pemerintah pusat agar daerah mampu menyesuaikan APBD secara efektif.
Di sisi lain, masalah muncul dengan banyaknya dana pemerintah daerah yang mengendap di perbankan. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, hingga 31 Agustus 2025, dana pemda di bank tercatat mencapai Rp233,11 triliun.
"Ini salah satu permasalahan besar di daerah, karena masih ada kendala dalam penyaluran belanja. Akibatnya, serapan anggaran kerap menumpuk di akhir tahun," ujar Riza.
Ia menegaskan, pemerintah daerah perlu memperbaiki kinerja penyerapan anggaran agar dana publik tidak terus mengendap di bank. Pola ini dianggap mirip dengan pemerintah pusat yang sering mengejar serapan belanja di penghujung tahun.
"Ke depan, daerah harus mampu mempercepat realisasi anggaran agar ekonomi lokal tetap bergerak," tuturnya. (E-1)