
PADA 1-9 November 2025 Kemendikdasmen kembali akan melaksanakan ujian berskala nasional dengan menggunakan materi tes yang diberi label 'tes kompetensi akademik' (TKA). Itu berbeda dengan asesmen nasional (AN) yang digunakan menteri pendidikan sebelumnya yang berfungsi untuk mengukur performa satuan pendidikan secara umum dengan memakai sejumlah instrumen penilaian berupa penilaian akademik, paedagogik, dan survei karakter. TKA merupakan instrumen penilaian tunggal yang digunakan untuk mengukur pencapaian akademik individual siswa sesuai dengan jenjang pendidikan yang ditempuh.
Meskipun digunakan untuk mengukur pencapaian akademik individual siswa, TKA bukanlah penilaian bercorak high-stake, yang hasilnya berfungsi untuk menentukan kelulusan siswa. TKA, menurut penilaian penulis, fungsinya agak mirip national assessment educational progress (NAEP) di AS yang digunakan untuk mengukur kemajuan pendidikan, national report card, dan sebagai referensi mutu periodik.
Pada November mendatang, TKA hanya diberlakukan pada siswa SMA/SMA/SMK dan sederajat, sedangkan siswa SMP/MTs dan SD/MI dan sederajat baru akan menempuh TKA pada Maret/April 2026.
LEMBAGA PENILAIAN MANDIRI
Hasil penilaian eksternal diklaim lebih objektif dan dipercaya jika dibandingkan dengan penilaian yang diselenggarakan guru/sekolah meskipun potensi 'kecurangan' tetap terbuka, terutama apabila administrasinya dilakukan secara ad hoc dalam bentuk kepanitiaan, dan hasilnya digunakan untuk menentukan kelulusan siswa.
Oleh karena itu, di negara-negara dengan pendidikan sudah lebih berkembang dan maju, administrasi penilaian eksternal itu dimandatkan pada sebuah lembaga penilaian mandiri (examination authority). Lembaga penilaian mandiri (LPM) ialah badan resmi yang diberi mandat untuk menetapkan instrumen penilaian, menyelenggarakan, menilai, dan bertanggung jawab untuk memberikan kualifikasi dan sertifikat.
Ujian berskala nasional, seperti TKA, akan menjadi sebuah alat sangat penting yang hasilnya dapat digunakan sebagai referensi mutu dan pengendali kualitas pendidikan nasional apabila pengelolaannya diserahkan kepada sebuah LPM, yang pengelolanya bekerja secara penuh, profesional, mandiri, dan bebas dari pengaruh dan kepentingan politik jangka pendek. Pertanggungjawaban LPM tidak hanya terbatas pada pemerintah yang mendanai program, tetapi lebih dari itu, LPM juga bertanggung jawab kepada masyarakat selaku pemangku kepentingan pendidikan, termasuk pihak yang menggunakan hasil penilaian.
Kita dapat belajar dari pengalaman sejumlah negara maju yang memiliki LPM yang dikelola dengan sangat profesional. Educational Testing Service (ETS), American College Testing (ACT) di AS, Cambridge-Inggris, atau lembaga serupa di Malaysia dan Singapura bisa menjadi referensi untuk mengembangkan sistem penilaian di Tanah Air. Lembaga-lembaga itu memainkan peran penting dalam mewujudkan pendidikan berkualitas di negara mereka masing-masing.
Lembaga penilaian itu juga mampu bekerja secara otonom terutama dalam hal-hal yang terkait teknis penilaian, khususnya dalam mengembangkan dan memvalidasi berbagai instrumen penilaian serta melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh berbagai kebijakan penilaian terhadap kurikulum dan pembelajaran.
Sertifikat kelulusan yang diterbitkan LPM akan lebih mudah untuk memperoleh pengakuan dari pihak pemakai, seperti perguruan tinggi dan dunia kerja/korporasi. Itu disebabkan proses penilaian yang dilaksanakan akan lebih transparan, objektif, dan akuntabel sehingga hasilnya sangat kredibel.
BSNP MENYELENGGARAKAN UN
Memberikan mandat pada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) untuk menyelenggarakan ujian berskala nasional (UN) tanpa perluasan organisasi dan personel, seperti yang pernah terjadi sekitar dua dekade lalu, menurut hemat penulis, kurang bijak dan realistis. Penilaian eksternal berskala nasional itu merupakan pekerjaan yang sangat rumit, kompleks, dan karenanya, membutuhkan konsistensi kebijakan.
Meskipun BSNP menurut UU Sisdiknas 2003 merupakan lembaga mandiri, dengan wewenang dan tanggung jawab yang diamanatkan, BSNP masih menghadapi banyak keterbatasan, seperti sumber daya yang profesional yang dapat bekerja penuh waktu, sarana dan prasarana pendukung, dan payung hukum yang memungkinkan BSNP dapat bekerja sama secara langsung dengan satuan pendidikan/sekolah guna memperkuat kapasitas guru dan manajemen dalam literasi penilaian agar mereka mampu menangani berbagai persoalan penilaian yang dihadapi satuan pendidikan/sekolah.
PENGAKUAN HASIL KERJA LEMBAGA PENILAIAN
Berbagai bentuk kecurangan berulang pada penyelenggaraan UN pada dekade lalu diduga merupakan penyebab utama pihak pengelola PTN mengesampingkan penggunaan skor UN sebagai syarat tunggal masuk PTN. Meskipun pelaksanaan UN pada masa itu sudah melibatkan hampir seluruh institusi perguruan tinggi di Tanah Air, kredibilitas hasilnya tetap menyisakan pertanyaan, lebih tepatnya ketidakpercayaan pihak pengguna.
Sejumlah perilaku koruptif yang terjadi pada penilaian nasional sebenarnya dapat diantisipasi dan ditanggulangi melalui perbaikan dan penyempurnaan sistem penyelenggaraan dan pengawasan penilaian. Namun, upaya itu mensyaratkan keberanian dan dukungan penuh pemerintah untuk menata ulang sistem kelembagaan penilaian pendidikan, termasuk kewenangannya.
Rasanya, hampir mustahil akan diperoleh hasil penilaian berskala nasional yang andal, kredibel, dan diakui pihak pengguna, seperti perguruan tinggi, perusahan/korporasi, dan lembaga lainnya, apabila penyelenggaraannya masih berbentuk kepanitiaan, bersifat ad hoc dan diatur melalui regulasi yang relatif longgar.
Berbagai kejadian memilukan pada saat penyelenggaraan UN pada masa lalu bukanlah sesuatu yang tidak dapat diantisipasi dan diprediksi. Namun, BSNP memiliki banyak keterbatasan sehingga perilaku koruptif peserta dan penyelenggara UN di lapangan selalu berulang terjadi.
Sebagaimana diketahui, BSNP hanya memiliki anggota yang sangat terbatas dan bekerja paruh waktu. Sebagian besar anggota juga masih tercatat sebagai dosen aktif di berbagai perguruan tinggi dan/atau memiliki jabatan/pekerjaan lain di luar lembaga itu.
Oleh karena itu, apabila BSNP akan diaktifkan kembali setelah dibekukan menteri pendidikan sebelumnya, untuk menyelenggarakan ujian berskala nasional, seperti TKA, peranan, organisasi, dan jumlah personel perlu diperluas. Selain keanggotaan dengan model rekrutmen seperti yang diamanatkan UU Sisdiknas 2003, personel BSNP perlu diperkuat sejumlah tenaga ahli, psikometri, psikologi kognitif, psikologi perkembangan, kurikulum, dan lainnya yang akan bekerja secara penuh bagi organisasi BSNP. Wallahu a'lam bish-shawab.