
GUBERNUR Sumatra Selatan (Sumsel) Herman Deru merespons legalisasi dan pembinaan sumur minyak rakyat yang dijalankan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Herman menyambut positif Permen ESDM Nomor 14 Tahun 2025 terkait legalitas sumur minyak rakyat.
“Selama ini masyarakat mengolah minyak itu dengan label ilegal. Dengan lahirnya Permen ESDM 14/2025, setelah adanya legalisasi dengan syarat: UMKM, BUMD, dan koperasi tentu ini angin segar,” kata Herman melalui keterangannya, Selasa (21/10).
Menurut Herman, hal ini dapat membantu perekonomian daerahnya lantaran pemerintah telah menyiapkan skema pembelian hasil produksi minyak rakyat sebesar 80% dari Indonesian Crude Oil Price (ICP). Kebijakan ini diharapkan dapat memberikan kepastian penghasilan bagi penambang sekaligus mendorong kegiatan produksi berjalan di bawah aturan resmi.
“Apalagi harganya ini dinaikkan, kalau dulu 70% dari ICP, sekarang Pertamina menerimanya 80% dari harga ICP,” ungkapnya.
Terpisah, Pakar Energi Universitas Sriwijaya (UNSRI), M. Taufik Toha, mengatakan kebijakan tersebut menjadi tonggak baru dalam tata kelola energi nasional. Ia menyebut di Musi Banyuasin (Muba), Sumatera Selatan, jumlah penambang sumur minyak rakyat sangat banyak dan memang perlu diregulasi.
“Itu (sumur minyak rakyat) memang perlu ada kebijakannya. Karena di kampung kami ini sudah ada aturannya. Jadi siapa pun yang mau diizinkan beroperasi, harus mengikuti aturan yang berlaku,” ujarnya dalam diskusi kebijakan energi di Palembang, Selasa (21/10).
Menurut Taufik, pendekatan yang dilakukan Menteri Bahlil dalam legalisasi sumur minyak rakyat berorientasi pada keamanan, keadilan, dan partisipasi publik. Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 14 Tahun 2025. "Legalitas sumur minyak masyarakat memberikan kepastian hukum dan izin bagi sumur minyak yang sebelumnya beroperasi secara mandiri oleh masyarakat," ujar Taufik mengutip salah satu isi permen tersebut.
Ia menjelaskan, dengan dilegalkannya kegiatan pengeboran rakyat, pemerintah dapat menerapkan pengawasan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) secara langsung di lapangan. Hal ini untuk meminimalkan risiko kebakaran, ledakan, maupun pencemaran lingkungan akibat pengeboran yang sebelumnya dilakukan tanpa standar keselamatan.
Sementara itu, Ekonom UNSRI M. Subardin menilai legalisasi sumur minyak rakyat merupakan bukti nyata kehadiran negara dalam mengatur dan menyejahterakan rakyat. Pasalnya, kebijakan itu bakal jauh meningkatkan sisi keamanan serta pendapatan karena kepastian penjualan produk minyak yang ditambang. “Kalau masyarakatnya berbadan hukum resmi seperti koperasi atau UMKM, mereka bisa bayar pajak. Jadi legal. Dari situ baru bisa K3,” paparnya.
Selain itu, menurut Subardin, pemberian izin resmi kepada masyarakat membuat potensi tax loss bisa teratasi. Sebab, seluruh aktivitas penjualan minyak dapat terpantau langsung.
"Ada sekitar 10 ribu sumur minyak rakyat di Muba. Itu potensi tax loss-nya sekitar Rp7,02 triliun. Dengan adanya legalisasi ini, potensi kehilangan pajak itu bisa teratasi," kata dia.
Sementara itu, Pakar Kebijakan Publik UNSRI, Andries Lionardo menilai sinergi antarlembaga menjadi kunci sukses program ini. “Upaya pengawasan, evaluasi, dan komitmen bersama itu menjadi kunci. Oleh karena itu, semua aktor kebijakan, baik di tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, hingga kementerian harus bersinergi dan berkolaborasi untuk mewujudkan kemandirian dan keadilan energi,” ujarnya.
Andries menyebut, kebijakan ini tidak hanya mengubah wajah pengelolaan energi di daerah, tapi juga membangun partisipasi rakyat sebagai bagian dari rantai pasok energi nasional.
“Dengan legalisasi sumur rakyat, rakyat bukan lagi penonton, tapi pelaku utama energi Indonesia,” tegasnya.
Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia melegalkan lebih dari 5.700 sumur minyak rakyat melalui Permen ESDM Nomor 14 Tahun 2025, tentang Kerja Sama Pengelolaan Bagian Wilayah Kerja untuk Peningkatan Produksi Minyak dan Gas Bumi. Dalam aturan itu, pemerintah akan memberikan legalitas kepada masyarakat melalui perizinan usaha, baik dalam bentuk koperasi, UMKM, maupun kerja sama dengan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). (E-4)