Konsolidasi Kekuasaan Prabowo Dinilai Masih Lemah

3 hours ago 1
Konsolidasi Kekuasaan Prabowo Dinilai Masih Lemah Presiden Prabowo Subianto(MI/Usman Iskandar)

Pengamat politik dari Exposit Strategic Arif Sutanto menilai masa awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menunjukkan tanda-tanda konsolidasi kekuasaan yang paling lemah dibandingkan seluruh presiden Indonesia setelah era Soeharto.

Menurut Arif, jika dibandingkan secara historis, setiap presiden pascaSoeharto mampu memperlihatkan langkah konsolidasi nyata di tahun pertama mereka. Habibie menggelar pemilu, Gus Dur melakukan perombakan kabinet besar, Megawati membentuk KPK, dan Jokowi berhasil menarik sejumlah partai oposisi ke dalam koalisi.

Namun, Arif menilai hal itu belum terlihat dalam satu tahun pertama pemerintahan Prabowo. "Di antara semua presiden pasca-Suharto, konsolidasi kekuasaan Prabowo tergolong paling lemah," ujarnya dalam diskusi bertajuk 1 Tahun Prabowo-Gibran: Indonesia Emas Atau Cemas? pada Minggu (19/10). 

Ia menjelaskan, kekuasaan Prabowo masih sangat bergantung pada warisan politik Joko Widodo. Itu terlihat dari kemenangan Prabowo di 2024 lebih banyak dijelaskan oleh faktor Jokowi. Hal itu menurut Arif, menciptakan tantangan tersendiri bagi Prabowo untuk keluar dari bayang-bayang pendahulunya.

Lebih lanjut, Arif menilai ketergantungan politik tersebut dapat memunculkan persepsi pemerintahan saat ini belum sepenuhnya berdiri di atas kekuatan sendiri. "Pengaruh Jokowi masih cukup kuat dalam kabinet, sehingga orang bisa keliru menganggap pemerintahan Prabowo sebagai kelanjutan dari Jokowi," tuturnya. 

Arif menegaskan, konsolidasi yang efektif sangat penting agar pemerintahan Prabowo tidak tersandera kepentingan politik masa lalu. Jika tidak segera dilakukan, kata dia, stabilitas politik jangka menengah akan sulit dicapai.

Lemahkan Pengawasan Publik

Namun di saat yang sama, konsolidasi politik yang dilakukan dalam tahun pertama Prabowo disebut tidak hanya memperlemah oposisi, tetapi juga menipiskan ruang bagi kritik dan pengawasan publik.

Kecenderungan itu menurut Arif, merupakan kelanjutan dari pola pemerintahan sebelumnya yang menempatkan stabilitas kekuasaan di atas nilai-nilai demokrasi. Ia menilai, langkah-langkah politik Prabowo hingga saat ini lebih banyak diarahkan untuk memperkuat kendali atas partai, parlemen, dan aparat negara, bukan memperluas partisipasi publik.

"Kalau kita lihat dari kinerja satu tahun ini, pemerintahan Prabowo justru memperlihatkan arah konsolidasi kekuasaan yang makin tertutup. Mekanisme check and balance tidak lagi berjalan efektif karena hampir semua kekuatan politik bergabung ke dalam pemerintah," tuturnya. 

Ia menambahkan, pelemahan demokrasi tidak selalu tampak dalam bentuk represif, tetapi justru melalui proses normalisasi kekuasaan yang tampak sah secara prosedural. "Yang berbahaya adalah ketika demokrasi prosedural tetap berjalan, tapi substansinya hilang. Semua keputusan penting disepakati secara elitis tanpa melibatkan publik," kata Arif. 

Fenomena tersebut tampak dari menurunnya peran lembaga-lembaga pengawas seperti DPR dan lembaga yudisial. Dukungan politik yang nyaris mutlak membuat fungsi pengawasan terhadap pemerintah menjadi formalitas belaka. Dalam situasi itu, kebijakan publik sering kali lolos tanpa perdebatan berarti.

Arif juga menyoroti dampak konsolidasi kekuasaan terhadap kebebasan sipil. Ia menilai ruang bagi ekspresi kritis masyarakat makin menyempit, terutama di media sosial dan ruang publik. "Kita melihat banyak kritik yang kemudian direspons secara defensif oleh aparat atau pendukung pemerintah. Ini menunjukkan kultur kekuasaan yang belum dewasa dalam menghadapi perbedaan pandangan," tuturnya.

Meski demikian, Arif menilai masih ada peluang untuk memperkuat kembali lembaga-lembaga representatif asalkan pemerintah bersedia membuka ruang dialog dengan kelompok masyarakat sipil. "Kalau konsolidasi kekuasaan ini tidak diimbangi dengan konsolidasi demokrasi, maka yang muncul bukan stabilitas, tetapi stagnasi politik," terang dia. (Mir/P-1)

Read Entire Article
Global Food