Ekspatriat Bisa Pimpin BUMN, ICW: Tidak Menjamin Perusahaan Bersih dari Korupsi

5 hours ago 3
 Tidak Menjamin Perusahaan Bersih dari Korupsi Ilustrasi .(Antara)

INDONESIA Corruption Watch (ICW) menilai kebijakan pemerintah yang memperbolehkan warga negara asing (WNA) menjadi direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berpotensi membuka ruang impunitas dan memperburuk tata kelola perusahaan negara yang selama ini rawan korupsi.

Kepala Divisi Hukum dan Investigasi ICW, Wana Alamsyah, menegaskan kebijakan tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan reformasi BUMN. “Ketentuan yang memperbolehkan WNA menjadi direksi BUMN adalah kebijakan yang tidak sesuai dengan solusi dari permasalahan yang ada di BUMN saat ini,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (22/10).

Wana menegaskan, penunjukan ekspatriat bukanlah hal baru dan terbukti tidak otomatis memperbaiki tata kelola perusahaan milik negara. Data ICW menunjukkan sejak 2016 hingga 2024 tercatat 234 kasus korupsi di lingkungan BUMN dengan 400 pejabat sebagai tersangka dan kerugian negara mencapai Rp68 triliun.

“Jadi, penunjukan ekspatriat atau penerapan standar internasional di BUMN tidak serta merta menjamin perusahaan bersih dari korupsi,” katanya.

Selain itu, ICW mencatat sedikitnya tiga persoalan utama dalam perubahan Undang-Undang BUMN yang membuka peluang WNA menjadi direksi. “Ada potensi seleksi yang tidak transparan, hambatan penindakan hukum terhadap WNA, dan persoalan status serta kewajiban hukum mereka sebagai penyelenggara negara,” ujar Wana. 

HAMBATAN PENINDAKAN
ICW juga menyoroti kendala hukum dalam menindak korupsi yang melibatkan WNA karena UU Tipikor tidak memiliki yurisdiksi ekstrateritorial. Akibatnya, kasus suap yang dilakukan di luar negeri sulit dijerat hukum Indonesia.

“Salah satu kelemahan besar adalah kekosongan aturan soal yurisdiksi ekstrateritorial. Akibatnya, ketika ada suap lintas negara, penegakan hukumnya terhambat,” ujar Wana.

Ia mencontohkan dua kasus besar yang menunjukkan lemahnya koordinasi internasional dalam menindak korupsi di BUMN. Pertama, kasus suap Rolls-Royce kepada Emirsyah Satar saat menjabat Direktur Utama Garuda Indonesia. 

“Dalam kasus itu, Emirsyah divonis bersalah, tapi pemberi suap yang merupakan warga negara Inggris tidak bisa dijerat karena suap terjadi di luar wilayah hukum Indonesia,” katanya.

Kedua, lanjut Wana, kasus korupsi E.C.W. Neloe di Bank Mandiri yang mengalihkan aset ke Swiss Bank. “Karena Indonesia belum memiliki perjanjian bantuan hukum timbal balik (MLA) dengan Swiss saat itu, aset hasil korupsi sulit dilacak dan kerugian negara tidak bisa dipulihkan sepenuhnya,” jelas Wana.

Menurut ICW, jika WNA diizinkan menjadi direksi tanpa peninjauan ulang terhadap kelemahan hukum yang ada, penegakan kasus korupsi akan semakin sulit. 

“Harta kekayaan mereka bisa dengan mudah dialihkan ke negara asal, dan itu membuat upaya penindakan makin rumit,” ujar Wana.

PROSES SELEKSI
Wana menjelaskan, perubahan pasal dalam UU No. 16 Tahun 2025 menghapus keharusan direksi BUMN berstatus warga negara Indonesia. Pasal baru memberi kewenangan kepada Badan Pengelola (BP) BUMN untuk menentukan lain, sehingga WNA bisa diangkat sebagai direksi.

“Pasal ini sangat berpotensi disalahgunakan karena tidak diatur syarat dan mekanismenya secara jelas. Padahal, seharusnya syarat tersebut diatur di dalam undang-undang untuk menjamin kepastian hukum dan transparansi,” tegasnya.

Menurut Wana, ketentuan itu membuka peluang penunjukan WNA tanpa dasar kebutuhan yang kuat. “Harus ada justifikasi yang jelas kenapa BUMN perlu dipimpin warga negara asing, serta adanya deklarasi konflik kepentingan dari calon direksi WNA tersebut,” tambahnya.

Selain itu, ICW menyoroti status hukum WNA yang menjabat sebagai penyelenggara negara. Setelah perubahan undang-undang, anggota direksi BUMN kembali dikategorikan sebagai penyelenggara negara yang tunduk pada UU No. 28 Tahun 1999 dan UU No. 31 Tahun 1999.

“Artinya, WNA yang menjadi direksi wajib melaporkan harta kekayaan (LHKPN) sejak mulai menjabat hingga akhir masa jabatannya. Mereka juga bisa dijerat pasal suap dan gratifikasi, sama seperti pejabat Indonesia,” kata Wana.

Ia juga menegaskan, lembaga penegak hukum seperti KPK dan Kejaksaan Agung harus memastikan perlakuan hukum yang setara. 

“KPK tidak boleh tebang pilih dalam menindak dugaan korupsi yang melibatkan warga negara asing. Semua harus tunduk pada aturan yang sama,” ujarnya.

Berdasarkan temuan tersebut, ICW mendesak pemerintah dan BP BUMN untuk memperketat mekanisme penunjukan direksi WNA. KPK dan Kejaksaan juga diminta aktif mengawasi kewajiban WNA yang menjabat di BUMN dalam pelaporan LHKPN dan proses gratifikasi.

“BP BUMN harus transparan dalam proses seleksi dan menetapkan aturan ketat, termasuk deklarasi potensi konflik kepentingan dan analisis kebutuhan jabatan direksi asing,” pungkasnya. (Dev/P-2) 

Read Entire Article
Global Food