
MENTERI Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyampaikan, hingga Agustus 2025, realisasi investasi bidang hilirisasi mineral dan batubara (minerba) mencapai sekitar US$4 miliar atau sekitar Rp66,32 triliun (kurs Rp16.581). Menurutnya, nikel menjadi komoditas strategis yang memiliki daya tawar tinggi.
Pihaknya menargetkan investasi di sektor tersebut mencapai 8–10 miliar dolar AS atau sekitar Rp132,65 triliun-Rp165,81 triliun (kurs Rp16,581). Nikel disebut menjadi komoditas strategis yang memiliki daya tawar kuat dalam mendukung pengembangan industri hilir nasional.
Menurutnya, kebijakan hilirisasi terbukti memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan nilai ekspor nasional, terutama dari sektor nikel. Ekspor komoditas nikel pada 2017–2018 hanya sekitar US$3,3 miliar Setelah kita hentikan ekspor bijih mentah dan membangun industri pengolahan, nilai ekspor pada 2023–2024 melonjak menjadi US$35–40 miliar dolar AS, naik lebih dari sepuluh kali lipat.
"Nikel ini menjadi salah satu komoditas strategis yang mempunyai nilai bargaining tinggi," ujarnya dalam Minerba Convention and Exhibition (Minerba Convex) 2025 di Jakarta International Convention Center (JICC), Rabu (15/10).
Program hilirisasi ini, lanjutnya, mencerminkan kehadiran nyata pemerintah dalam membangun roadmap pengelolaan sumber daya alam berbasis nilai tambah yang sekaligus membuka lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
Bahlil juga menyoroti perkembangan hilirisasi di sektor lain seperti tembaga. Saat ini, PT Freeport Indonesia telah membangun smelter di Gresik, Jawa Timur, dengan total investasi mencapai US$3 miliar.
“Smelter ini merupakan pabrik single line terbesar di dunia,” imbuhnya.
Dengan beroperasinya fasilitas tersebut, Indonesia kini mampu mengetahui dan mengelola potensi mineral secara lebih transparan. Dari 3 juta ton konsentrat tembaga, Freeport disebut menghasilkan sekitar 50–60 ton emas.
"Sementara PT Amman Mineral dengan hampir 1 juta ton konsentrat tembaga mampu memproduksi 18–20 ton emas," sambungnya.
Selain nikel dan tembaga, pemerintah juga tengah mendorong hilirisasi bauksit. Bahlil menyampaikan, ekspor bahan mentah bauksit telah resmi dilarang, sebagai strategi peningkatan nilai tambah dan penyerapan investasi baru.
Namun demikian, kebutuhan dalam negeri terhadap produk turunan bauksit, seperti aluminium, masih tinggi.
“Kapasitas industri dalam negeri belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan nasional, jadi tidak ada masalah dengan pelarangan ekspor bahan mentah,” jelasnya.
Bahlil kemudian menyebut kebijakan hilirisasi yang mulai menunjukkan hasil nyata tersebut tidak selalu diterima dengan nyaman. “Ketika Indonesia berjalan di jalur yang benar, pasti ada pihak yang tidak nyaman, baik dari luar maupun dari dalam negeri sendiri,” pungkasnya. (H-3)