Asas Dominus Litis dalam RUU KUHP Harus Dikaji Ulang

9 hours ago 3
Asas Dominus Litis  dalam RUU KUHP Harus Dikaji Ulang Ilustrasi.(MI)

PAKAR Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Palangkaraya Ariyadi mengatakan penerapan Asas Dominus Litis dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dinilai dapat membuat kewenangan kejaksaan menjadi superpower dalam menentukan kelanjutan sebuah perkara pidana dalam peradilan. 

Ariyadi menjelaskan Asas Dominus Litis ini adalah prinsip dalam hukum yang memberikan kewenangan kepada jaksa untuk mengendalikan jalannya suatu perkara pidana. Sehingga, jaksa berwenang menghentikan atau melanjutkan proses sebuah perkara saat sidang berlangsung dan dapat mengatur utama perkara. 

“Hal ini bisa menciptakan ketidak seimbangan kekuasaan dan beresiko mengancam keadilan dalam sistem hukum di Indonesia khususnya peradilan pidana,” jelas Ariyadi dalam keterangannya pada Minggu (23/2). 

Ariyadi menilai bahwa asas ini tidak hanya membuka peluang bagi penyalahgunaan kekuasaan, tetapi juga mengecilkan ruang pengawasan, transparansi dan akuntabilitas terhadap jaksa.

“Tanpa mekanisme pengawasan yang efektif, asas ini bisa membuka ruang bagi praktik transaksional, kriminalisasi selektif, dan keberpihakan hukum pada kepentingan tertentu,” katanya. 

Ariya mengatakan sangat mendukung prinsip berkeadilan dan transparansi, sehingga sangat disayangkan jika asas ini diterapkan dalam RUU KUHAP karena dapat menghambat akses keadilan dan memungkinkan intervensi politik.

“Dalam praktiknya, asas ini sering disalahgunakan untuk mendominasi perkara dengan pertimbangan yang tidak murni, yang mengarah pada ketidak adilan,” kata Ketua LBH dan Advokasi Publik PW Muhammadiyah Kalteng itu.

Lebih lanjut, Ariyadi menekankan bahwa asas yang ada perlu dievaluasi. Selain itu, reformasi sistem peradilan juga harus menyeimbangkan independensi lembaga penuntutan dengan kontrol yudisial yang cukup, agar menghindari penyalahgunaan wewenang dan menjaga kepercayaan publik terhadap institusi peradilan.

“Dalam peradilan, kita harus mengutamakan prinsip saling mengawasi dan akuntabilitas, termasuk dalam wewenang penuntutan,” ujarnya. 

Ariyadi juga mengingatkan bahwa asas dominus litis bisa menjadi pisau bermata dua, yang akan mempermudah secara administrasi, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi sistem peradilan hukum di Indonesia.

“Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi dan reformasi yang tepat untuk menghindari penyalahgunaan wewenang dan menjaga keadilan dalam sistem peradilan,” pungkasnya. 

Sementara itu, guru besar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Malang, Tongkat menjelaskan bahwa penghapusan tahap penyelidikan dalam KUHP yang baru berpotensi meningkatkan jumlah perkara di tingkat penyidikan. 

Hal ini terjadi karena penyelidikan selama ini berfungsi sebagai filter awal untuk menentukan apakah suatu laporan benar-benar merupakan tindak pidana atau tidak.

“Jika penyelidikan dihapus, semua laporan akan langsung masuk ke tahap penyidikan. Ini bisa menimbulkan lonjakan perkara di kepolisian dan kejaksaan, serta berisiko memperlambat proses hukum karena banyaknya kasus yang harus ditangani,” ujar Tongkat.

Selain itu, ia menambahkan bahwa revisi KUHAP seharusnya dilakukan secara lebih substantif, termasuk dengan memberikan kewenangan audit kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) untuk mengawasi proses hukum agar tidak ada penyalahgunaan wewenang.

“Yang paling penting adalah mencegah penggunaan upaya paksa secara sewenang-wenang. KUHAP seharusnya menjadi rujukan utama sebelum masuk ke aturan spesifik lainnya,” tegasnya.

Lebih jauh, RUU KUHAP kata Tingkat, secara ideal harus diselesaikan lebih dulu sebelum KUHP Nasional diterapkan agar tidak terjadi ketidakharmonisan dalam sistem hukum pidana. (Dev/P-3) 

Read Entire Article
Global Food