Ahli Hukum di Sidang MK Sebut Pasal 21 UU Tipikor Kabur, Berpotensi Timbulkan Penyalahgunaan

6 hours ago 3
Ahli Hukum di Sidang MK Sebut Pasal 21 UU Tipikor Kabur, Berpotensi Timbulkan Penyalahgunaan ilustrasi.(MI)

MAHKAMAH Konstitusi (MK) menggelar sidang dengan agenda Mendengar Keterangan Ahli dan Saksi Pemohom atas Perkara Nomor 136/PUU-XXIII/2025 mengenai pengujian materi Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 yang diajukan Hasto Kristyanto.

Pakar Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda, selaku ahli pemohon menilai pasal tersebut bermasalah secara normatif. Ia menegaskan bahwa rumusan Pasal 21 menimbulkan ketidakpastian hukum dan membuka peluang penyalahgunaan oleh aparat penegak hukum.

“Pasal 21 Undang-Undang Tipikor dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum, bertentangan dengan citra negara hukum, serta membuka peluang penyalahgunaan dan pelanggaran terhadap hak konstitusional individu,” ujar Chairul Huda di ruang sidang MK, Jakarta, Rabu (15/10)

Menurutnya, berdasarkan kajian akademik yang ia lakukan, terdapat tiga temuan penting mengenai perbedaan pandangan para ahli terhadap norma dalam pasal tersebut.

“Sebagian ahli menyebut pasal ini sudah baik, tinggal pelaksanaannya yang perlu diperkuat. Namun, sebagian lain menilai Pasal 21 merupakan pasal karet karena frasa ‘mencegah, merintangi, atau menggagalkan’ bersifat kabur dan multitafsir,” jelasnya.

Ia melanjutkan, perdebatan juga muncul mengenai sifat delik yang terkandung dalam pasal tersebut Dianggap sebagai delik formil yang tidak memerlukan akibat konkret jika seseorang melakukan perbuatan menghalangi penegakan hukum.

“Namun, sebagian lainnya menyatakan pasal ini adalah delik materiil, karena harus ada akibat nyata dari tindakan tersebut,” paparnya.

Selain itu, hasil riset juga menunjukkan perbedaan tafsir mengenai siapa yang sebenarnya dituju oleh pasal tersebut.

“Ada yang menilai Pasal 21 ditujukan kepada pelaku tindak pidana korupsi itu sendiri. Tetapi ada juga yang berpendapat pasal ini justru menyasar pihak lain yang menghalangi proses penegakan hukum terhadap pelaku korupsi,” terang Chairul.

Dari hasil analisisnya, Chairul berkesimpulan bahwa kontradiksi tersebut bersumber dari perumusan norma yang buruk.

“Pasal 21 tidak merumuskan unsur-unsur perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai obstruction of justice. Yang dirumuskan justru definisinya, bukan perbuatan konkret yang dilarang. Akibatnya, implementasinya sangat bergantung pada subjektivitas penegak hukum,” tegasnya.

Menurut Chairul, sebuah norma pidana harus memiliki rumusan yang jelas mengenai perbuatan tercela yang hendak dilarang.

“Perbuatan ‘mencegah, merintangi, atau menggagalkan’ itu bersifat netral. Jika tidak ditambahkan kata ‘melawan hukum’, maka tindakan sah seperti mengajukan praperadilan atau gugatan ke PTUN bisa dipidana hanya karena dianggap menghalangi penegakan hukum,” ujarnya.

Ia menambahkan, ketidakhadiran frasa “melawan hukum” membuat pasal ini sangat berbahaya sehingga unsur tersebut seharusnya wajib ada agar orang yang menggunakan hak hukumnya tidak turut dipidana.

Chairul juga membandingkan perumusan Pasal 21 UU Tipikor dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023.

“Dalam KUHP, obstruction of justice dirumuskan melalui larangan perbuatan konkret seperti menyembunyikan pelaku kejahatan atau membantu pelaku menghindari penyidikan. Sementara Pasal 21 UU Tipikor hanya menyebut definisi tanpa menjelaskan perbuatan yang dilarang,” jelasnya.

Menurutnya, bila pembentuk undang-undang menghendaki Pasal 21 sebagai delik formil, maka perumusannya harus disempurnakan.

“Seharusnya ditambahkan unsur ‘dengan maksud’ dan dijelaskan secara konkret perbuatan-perbuatan yang dimaksud. Tanpa itu, pasal ini terlalu luas dan bisa menimbulkan kriminalisasi terhadap tindakan yang sah,” ungkapnya.

Chairul menegaskan, perumusan norma yang tidak jelas ini juga berdampak pada ketidakpastian penerapan hukum di lapangan. Menurutnya, yang seharusnya dilarang bukan proses penegakan hukum itu sendiri, melainkan tindakan yang menghalangi pemeriksaan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi.

“Karena itu, Pasal 21 merupakan rumusan tindak pidana yang kurang baik dan perlu ditinjau ulang,” tandasnya.

Sebagai informasi, Politisi PDIP, Hasto Kristiyanto ditetapkan sebagai tersangka dan didakwa melakukan perbuatan pidana melanggar Pasal 21 UU Tipikor. Namun Hasto kini telah mendapatkan amnesti dari Presiden Prabowo Subianto.

Ia sempat divonis penjara tiga tahun dan enam bulan serta denda Rp 250 juta subsider tiga bulan kurungan setelah terbukti memberikan suap dalam kasus dugaan perintangan penyidikan perkara korupsi tersangka Harun Masiku menilai korupsi bukan kejahatan kemanusiaan.

Pemohon memandang korupsi bukan kejahatan luar biasa, dalam kaitannya dengan Pasal 21 UU Tipikor sebagai salah satu pasal yang dinyatakan sebagai “tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi”, maka menjadi terang dan sangat jelas bahwa pasal tersebut bukan merupakan bagian dari tindak pidana korupsi.

Jika Pasal 21 adalah bagian dari perbuatan korupsi, pemohon berpendapat tentu hal ini berlebihan dan tidak proporsional kalau ancaman hukumannya lebih tinggi dari pasal pokok dari undang-undang.

Karena itu Pemohon berpendapat ancaman hukuman Pasal 21 UU Tipikor yang disangkakan kepadanya melebihi ancaman perkara pokok tertentu lainnya dalam UU Tipikor bukan hanya tidak proporsional, tetapi justru menimbulkan ketidakadilan baru.

Pemohon menganggap Pasal 21 UU Tipikor dalam praktiknya ditafsirkan secara tidak proporsional bahkan menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan prinsip negara hukum yang adil, serta bertentangan dengan hak asasi. (Dev/P-3)

Read Entire Article
Global Food