
Spotify kembali menjadi sorotan. Setelah CEO-nya, Daniel Ek, diketahui menanamkan ratusan juta dolar di perusahaan teknologi pertahanan berbasis kecerdasan buatan (AI), Helsing. Sejumlah musisi lintas genre dan negara memilih hengkang dari platform streaming raksasa tersebut.
Langkah ini menandai gelombang boikot Spotify yang dinilai melanggar nilai kemanusiaan dan mengeksploitasi seniman.
1. Deerhoof: “Kami Tak Mau Musik Kami Membunuh Orang”
Band indie asal San Francisco ini mengecam keterlibatan Spotify dalam industri persenjataan. Dalam wawancara dengan NPR, Deerhoof menyatakan,
“Kami tidak ingin musik kami membunuh orang. Kami tidak ingin kesuksesan kami terikat dengan teknologi AI yang digunakan untuk perang.”
Grup beranggotakan Greg Saunier, Satomi Matsuzaki, John Dieterich, dan Ed Rodriguez itu menilai sistem kapitalis di balik Spotify telah kehilangan arah moral.
2. Xiu Xiu: Kritik Keras pada Sistem Royalti
Band eksperimental Xiu Xiu menyoroti buruknya sistem pembayaran Spotify.
“Kualitas suaranya buruk, dan musik kini terasa seperti barang sekali pakai," ungkap Vokalis Jamie Stewart.
Ia juga menyebut sistem pembayaran Spotify sebagai “lelucon” yang hanya menguntungkan platform, bukan para pencipta musik.
3. King Gizzard & The Lizard Wizard: “Mari Pindah ke Platform Lain”
Band asal Australia ini menjadi wajah utama gerakan boikot. Dalam unggahan Instagram, mereka menyerukan:
“Bisakah kita menekan para ‘Dr. Evil tech bros’ ini untuk berbuat lebih baik? Mari pindah ke platform lain.”
Ajakan mereka mendapat dukungan luas dari komunitas musik independen.
4. Hotline TNT dan Band Indie Lainnya Ikut Mundur
Band shoegaze asal New York, Hotline TNT, menarik seluruh katalognya dari Spotify. Vokalis Will Anderson menulis,
“Perusahaan yang mengklaim sebagai penjaga musik dunia terbukti tidak sejalan dengan nilai-nilai kami.”
Mereka bergabung dengan nama-nama seperti Godspeed You! Black Emperor dan Deerhoof dalam gerakan global “Boycott Spotify”.
5. Tiki Taane & The Bats: Suara dari Selandia Baru dan Afrika Selatan
Musisi Tiki Taane bahkan merilis lagu perpisahan berjudul Bye Bye Spotify, bergabung dengan kolektif Boycott Spotify NZ. Sementara band legendaris The Bats dari Afrika Selatan menilai langkah Spotify bertentangan dengan nilai kemanusiaan yang mereka junjung sejak 1963.
6. Majelis Lidah Berduri: Suara Perlawanan dari Indonesia
Band punk asal Indonesia ini mengumumkan hengkang lewat unggahan Instagram disertai tagar #freePalestine, #freefromextractiveeconomy, dan #freelistener.
“Kami cabut dari Spotify sebab kami berdiri bersama kalian,” tulis mereka.
Sikap mereka memperlihatkan bahwa boikot Spotify kini juga menjadi gerakan politik global yang menyentuh isu solidaritas dan kemanusiaan.
7. Massive Attack: “Kami Tak Mau Terlibat dalam Perang”
Grup trip-hop legendaris asal Bristol, Massive Attack, meminta labelnya menarik seluruh lagu mereka.
“Dengan investasi besar CEO-nya di perusahaan yang memproduksi drone militer dan teknologi AI, kami memilih mundur,” tulis mereka dalam pernyataan resmi.
Alasan di Balik Gelombang Boikot Spotify
Inti dari aksi ini adalah penolakan terhadap investasi Daniel Ek di Helsing, perusahaan AI pertahanan asal Jerman. Melalui firma investasinya, Prima Materia, Ek menanamkan lebih dari US$100 juta pada 2021, dan meningkatkannya hingga US$700 juta pada 2025.
Helsing kini memproduksi drone, pesawat tempur, dan kapal selam berbasis AI, sesuatu yang dianggap banyak musisi bertentangan dengan nilai-nilai seni dan kemanusiaan.
Musisi Tharushi Bowatte dari band Recitals (Selandia Baru) menegaskan:
“Kenapa karya seni kami harus jadi sumber dana bagi investasi militer?”
Masalah Lama: Royalti Rendah dan Musik Buatan AI
Selain isu etika, Spotify juga dikritik karena sistem royalti yang timpang. Platform ini membayar hanya US$0,003-0,005 per stream. Seorang musisi harus memiliki setidaknya 238.000 pendengar aktif per bulan untuk mencapai gaji minimum AS.
Tak berhenti di situ, Spotify juga dituding mulai mempromosikan musik buatan AI dari “artis palsu”, lengkap dengan sampul dan nama yang dihasilkan algoritma. Musik ini sering muncul di playlist otomatis seperti chill jazz atau ambient, sehingga mengalihkan pendapatan dari musisi asli ke perusahaan.
Respon Spotify dan Daniel Ek
Spotify menolak memberi komentar atas aksi boikot ini. Namun kepada The Financial Times, Daniel Ek membela investasinya di Helsing sebagai langkah “mendukung pertahanan Eropa menghadapi agresi Rusia di Ukraina.”
Meski begitu, bagi para musisi, isu ini lebih dalam dari sekadar politik atau bisnis. Mereka melihatnya sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi korporasi teknologi dalam seni, perjuangan untuk mempertahankan integritas dan kemanusiaan di era digital. (Z-10)