
PENURUNAN peringkat saham Indonesia oleh Goldsman Sachs merupakan refleksi pudarnya kepercayaan investor terhadap kepastian kebijakan Indonesia. Itu juga melengkapi pandangan kurang baiknya tata kelola kebijakan yang digarap pemerintah saat ini.
"Salah satunya adalah tata kelola fiskal yang dikhawatirkan akan berdampak terhadap keberlanjutan fiskal, pembayaran utang, ataupun efek terhadap pertumbuhan ekonomi," ujar Koordinator Analis Laboratorium Indonesia 2045 (LAB 45) Reyhan Noor saat dihubungi, Senin (10/3).
Pemerintah seolah gagap menyikapi permasalahan ekonomi yang terjadi di Tanah Air. Alih-alih terselesaikan, persoalan pemutusan hubungan kerja (PHK), merosotnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), tren pelemahan nilai tukar rupiah, hingga daya beli masyarakat yang masih terseok justru terus berlanjut.
Sejauh ini belum ada kebijakan atau langkah pasti yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi beragam permasalahan tersebut. Pengambil keputusan justru mengambil dan mengutamakan kebijakan populis yang sampai saat ini belum terlalu jelas bagaimana pengoperasian dan tata kelolanya.
"Program-program populis memang diperlukan untuk menjadi bantalan ekonomi ketika ada krisis. Namun, hingga saat ini masih belum terlihat penjelasan dari mana program tersebut dibiayai dan bagaimana memastikan tata kelolanya berjalan dengan baik," kata Reyhan.
"Sama dengan Presiden Prabowo, hal yang paling dikhawatirkan oleh investor adalah tata kelola yang buruk sehingga terdapat kebocoran dari perilaku koruptif," tambahnya.
Dari perspektif berbeda, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai langkah efisiensi anggaran yang diambil pemerintah juga berperan meluruhkan geliat ekonomi dalam negeri.
"Itu berdampak terhadap pendapatan di berbagai segmen masyarakat karena adanya efisiensi belanja, misalkan di sektor perhotelan. Dan kedua adanya harga komoditas yang cendung rendah itu pun juga berdampak cukup luas ke berbagai sektor," terangnya.
Bhima juga menyatakan pelemahan daya beli masyarakat yang diikuti oleh gelombang PHK memperkeruh kondisi perekonomian dalam negeri. Karenanya tingkat permintaan masyarakat di momen Ramadan kali ini terbilang tak menunjukkan geliat yang signifikan.
"Situasi ini memang harus dimitigasi karena jadi alarm bahwa pemerintah harus memompa ekonomi. Jadi APBN-nya jangan procyclical, tetapi harus counter cyclical," kata Bhima.
Dia juga mengaitkan hal itu dengan penundaan pengangkatan CPNS dan PPPK. Semakin lama ditunda, imbuh Bhima, maka pertumbuhan daya beli masyarakat juga akan tertunda, atau justru mengalami penurunan yang dalam.
"Kalau kondisi ini terus terjadi khawatir pascalebaran kita akan mengalami pelambatan ekonomi yang mengarah pada resesi ekonomi," pungkas Bhima. (Mir/M-3)