IMUNISASI adalah proses pemberian vaksin kepada seseorang untuk melindungi tubuhnya dari penyakit tertentu. Vaksin bekerja dengan cara merangsang sistem kekebalan tubuh untuk membentuk antibodi terhadap penyakit tertentu tanpa harus terinfeksi oleh penyakit tersebut.
Dengan imunisasi, tubuh menjadi kebal atau lebih siap melawan infeksi jika terpapar oleh agen penyakit yang sebenarnya.
Namun, imunisasi ini ternyata menimbulkan berbagai perdebatan di tengah masyarakat, bahkan ada yang sampai menolaknya.
Sikap seperti ini dikenal dengan istilah antiimunisasi. Ini sudah menjadi sebuah gerakan di beberapa negara. Mereka menolak vaksinasi dengan berbagai alasan.
Lantas, apa itu gerakan anti imunisasi, sejak kapan muncul, dan mengapa hal itu sebaiknya tidak dilakukan? Nah, untuk mengetahuinya, yuk simak penjelasannya berikut.
Apa itu gerakan antiimunisasi?
Dikutip dari Verywell Health, gerakan antiimunisasi adalah gerakan yang menolak atau skeptis terhadap vaksinasi, biasanya karena alasan kepercayaan, misinformasi, atau ketakutan terhadap efek samping.
Gerakan ini sering menyebarkan pandangan negatif mengenai vaksin, seperti klaim bahwa vaksin menyebabkan autisme, alergi, atau kondisi kesehatan lainnya meskipun hal ini telah dibantah oleh penelitian ilmiah.
Mengapa gerakan antiimunisasi muncul?
Gerakan antiimunisasi muncul dari berbagai faktor, mulai dari ketidakpercayaan terhadap ilmu pengetahuan hingga pengaruh sosial, dan terkadang, dari pengalaman atau keyakinan individu.
Berikut adalah beberapa alasan utama mengapa gerakan ini ada:
1. Misinterpretasi ilmiah dan misinformasi
Banyak orang yang salah dalam memahami penelitian ilmiah atau dipengaruhi oleh misinformasi yang beredar, terutama di media sosial. Misalnya, sejak lama beredar mitos bahwa vaksin menyebabkan autisme, yang berasal dari sebuah penelitian yang telah terbukti cacat dan ditarik oleh komunitas ilmiah.
Meski sudah ditarik oleh komunitas ilmian, informasi sesat itu masih menyebar dan mempengaruhi persepsi masyarakat.
2. Ketidakpercayaan terhadap institusi
Ketidakpercayaan pada institusi medis, pemerintah, atau perusahaan farmasi membuat sebagian orang ragu terhadap program vaksinasi.
Beberapa orang merasa lembaga-lembaga tersebut memiliki kepentingan ekonomi atau politik di balik program vaksin, sehingga mereka curiga terhadap keamanan dan efektivitas vaksin.
3. Pengaruh sosial dan komunitas
Keyakinan dan keputusan orang-orang di sekitar kita sering kali mempengaruhi sikap terhadap vaksinasi.
Jika seseorang berada di lingkungan yang menolak vaksin atau terpapar melihat antivaksin secara online, mereka mungkin lebih cenderung skeptis atau menolak vaksinasi.
4. Trauma atau efek buruk dari pengalaman pribadi
Beberapa orang yang mengalami efek samping pascavaksinasi atau memiliki anggota keluarga dengan efek samping (meskipun jarang terjadi) mungkin mengembangkan ketakutan atau trauma terhadap vaksin.
Hal ini bisa menimbulkan persepsi negatif yang meluas tentang vaksin, meskipun bukti ilmiah menunjukkan bahwa risiko efek samping serius sangat rendah dibandingkan dengan manfaat vaksinasi.
5. Pengaruh agama atau keyakinan pribadi
Beberapa individu atau kelompok agama memiliki pandangan bahwa imunisasi bertentangan dengan keyakinan mereka, atau percaya bahwa perlindungan kesehatan harus diserahkan sepenuhnya kepada kekuatan ilahi.
6. Akses informasi yang tidak merata
Di beberapa tempat, akses terhadap informasi medis yang akurat masih terbatas. Hal ini memungkinkan berkembangnya informasi yang tidak akurat dan menimbulkan ketakutan terhadap vaksin.
Akibat gerakan antiimunisasi, tingkat penularan dapat meningkat di suatu wilayah. Hal itu berpotensi menyebabkan kebangkitan penyakit-penyakit menular yang seharusnya bisa dicegah, seperti campak, difteri, atau polio, yang kembali muncul dalam beberapa tahun terakhir di beberapa negara.
Sejak kapan gerakan antiimunisasi muncul?
Verywell Health mengungkapkan gerakan antiimunisasi memiliki sejarah panjang yang dimulai sejak vaksinasi pertama kali diperkenalkan pada akhir abad ke-18.
Pada setiap periode sejarah, penolakan terhadap vaksinasi sering kali didorong oleh ketidakpercayaan terhadap metode medis baru, alasan agama, dan kekhawatiran akan efek samping yang ditimbulkan.
Berikut adalah garis besar sejarah gerakan antiimunisasi:
1. Awal mula: penemuan vaksin cacar (Akhir Abad ke-18)
Edward Jenner, seorang dokter Inggris, memperkenalkan vaksin cacar pada 1796, setelah menemukan bahwa orang yang terinfeksi cacar sapi (cacar sapi) menjadi kebal terhadap penyakit cacar (cacar) yang mematikan.
Meski vaksinasi cacar terbukti efektif, ada penolakan dari masyarakat. Alasan utamanya adalah ketidakpercayaan terhadap metode baru ini yang dianggap tidak alami, serta menganggap bahwa vaksin melawan kehendak Tuhan.
2. Abad ke-19: Gerakan Antivaksinasi Pertama
Pada pertengahan abad ke-19, Inggris memberlakukan undang-undang vaksinasi wajib untuk cacar. Undang-undang ini mendorong terbentuknya Liga Antivaksinasi Wajib.
Kelompok-kelompok ini menentang vaksinasi wajib dengan alasan kebebasan individu, dengan anggapan bahwa pemerintah tidak berhak memaksakan intervensi medis.
Protes ini muncul dan menuntut hukum. Akhirnya, pada 1898, Inggris mengizinkan klausul persetujuan hati nurani (conscientious objection), yang memungkinkan orangtua menolak vaksinasi untuk anak mereka.
3. Abad ke-20: Kekhawatiran Efek Samping
Pada tahun 1970-an, muncul kekhawatiran tentang vaksin DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus) di Jepang dan Inggris, setelah beberapa kasus efek samping serius dilaporkan. Hal ini memicu gerakan penolakan vaksin DPT di berbagai negara.
Gerakan Liga Antivaksinasi Nasional muncul di Inggris dan menentang vaksinasi wajib dengan alasan kesehatan dan keselamatan, menyatakan bahwa vaksin menyebabkan efek samping berbahaya.
Penelitian ilmiah yang mengkaji efek vaksin pada akhirnya mengurangi ketakutan ini, tetapi gerakan anti-vaksin tetap eksis.
4. Kontroversi Vaksin MMR dan Autisme (1998)
Pada 1998, dokter Inggris Andrew Wakefield menerbitkan studi yang menghubungkan vaksin MMR (Measles, Mumps, Rubella) dengan autisme. Studi ini belakangan diketahui cacat dan ditarik kembali, serta lisensi medis Wakefield dicabut.
Namun, dampak dari laporan besar ini adalah kepercayaan masyarakat terhadap vaksin MMR merosot tajam, dan gerakan antivaksin modern semakin berkembang dengan narasi bahwa vaksin berbahaya bagi anak-anak.
5. Abad ke-21: Misinformasi Digital dan Teori Konspirasi
Di era internet, informasi (dan misinformasi) tentang vaksin dengan cepat menyebar melalui media sosial, memfasilitasi penyebaran teori dan kekhawatiran yang tidak berdasar.
Gerakan antivaksin memanfaatkan platform digital untuk memperluas pengaruhnya, mengklaim bahwa vaksin menyebabkan berbagai penyakit kronis, memiliki zat berbahaya, atau bahkan menjadi alat kontrol pemerintah atau perusahaan farmasi.
Pandemi covid-19 (2020-2022) memicu situasi ini, dengan skeptisisme terhadap vaksin covid-19 yang tinggi di kalangan kelompok antivaksin dan semakin banyaknya narasi bahwa vaksin baru tersebut "belum diuji dengan baik" atau memiliki efek samping yang serius.
6. Saat Ini: Upaya Mengatasi Gerakan Antivaksin
Pemerintah dan organisasi kesehatan terus berupaya mengatasi misinformasi dan meningkatkan tingkat vaksinasi melalui kampanye edukasi dan transparansi informasi.
Meski begitu, gerakan antiimunisasi tetap menjadi tantangan dalam mencapai cakupan vaksinasi yang optimal, terutama di era media sosial yang memungkinkan informasi keliru menyebar lebih cepat dari sebelumnya.
Inti dari gerakan antiimunisasi selalu diawali pada ketidakpercayaan terhadap institusi medis atau pemerintah, kekhawatiran akan keamanan vaksin, serta keyakinan bahwa vaksinasi seharusnya menjadi pilihan, bukan kewajiban.
Sebaiknya tidak Dilakukan
Gerakan antiimunisasi sebaiknya tidak dilakukan karena imunisasi merupakan salah satu upaya penting untuk melindungi masyarakat dari berbagai penyakit menular yang berpotensi berbahaya.
Vaksin bekerja dengan membantu sistem kekebalan tubuh mengenali dan melawan patogen (penyebab penyakit) sehingga tubuh dapat bereaksi lebih cepat dan efektif bila terpapar penyakit tersebut di kemudian hari.
Berikut adalah beberapa alasan mengapa gerakan anti imunisasi sebaiknya tidak dilakukan:
1. Perlindungan Individu dan Komunitas
Imunisasi tidak hanya melindungi individu yang divaksin, tetapi juga membantu menciptakan “kekebalan kelompok.” Ini penting untuk melindungi orang-orang yang tidak bisa divaksin, seperti bayi yang terlalu muda untuk menerima vaksin atau orang-orang dengan kondisi medis tertentu.
2. Mengurangi Risiko Wabah
Vaksinasi membantu mengurangi angka penyebaran penyakit menular dan mencegah terjadinya wabah yang dapat mengancam kesehatan secara masyarakat luas. Ketika cakupan vaksinasi tinggi, penyebaran penyakit bisa ditekan atau bahkan dihilangkan.
3. Efektivitas Terbukti
Banyak vaksin telah terbukti secara ilmiah aman dan efektif dalam mencegah penyakit. Misalnya, vaksin campak, polio, dan hepatitis B telah berhasil menurunkan angka kejadian penyakit tersebut secara signifikan di seluruh dunia.
4. Mengurangi Beban Kesehatan dan Ekonomi
Wabah penyakit dapat membebani sistem kesehatan dengan biaya yang tinggi, termasuk biaya perawatan rumah sakit dan pengobatan. Vaksinasi membantu mengurangi beban ini, sehingga anggaran dapat digunakan untuk keperluan kesehatan lainnya.
Gerakan antiimunisasi biasanya didorong oleh informasi yang tidak akurat atau miskonsepsi tentang keamanan vaksin.
Oleh karena itu, edukasi yang tepat dan akses pada informasi yang benar-benar sangat penting agar masyarakat dapat mengambil keputusan yang tepat terkait kesehatan diri dan keluarganya. (Z-1)