
SALAH satu organ yang harus dijinakkan ialah pendengaran. Memuasakan telinga atau pendengaran sangat dianjurkan oleh para salikin atau sufi. Memuasakan pendengaran adalah menahan atau membatasi diri menggunakan telinga atau pendengaran untuk mendengarkan pembicaraan yang tidak perlu. Terutama, pembicaraan yang bisa memancing nafsu atau keinginan melakukan hal-hal yang tidak terpuji atau tidak penting.
Banyak ayat dan hadis mengingatkan perlunya kita mengawasi pendengaran untuk tidak larut dengan suara-suara atau pembicaraan yang tidak pantas atau tidak senonoh, yang kemudian tersimpan di dalam alam bawah sadar, lalu sewaktu-waktu bisa muncul memberikan pengaruh dan tekanan untuk melakukan sesuatu yang bersifat pelanggaran ajaran agama.
Dalam Al-Qur’an ditegaskan: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban,” (QS al-Baqarah/17:36).
Sebaliknya, kita dianjurkan untuk mengasah telinga batin yang mungkin selama ini jarang kita perhatikan. Padahal, organ tubuh dan pancaindra yang paling pertama menyaksikan langsung suara Tuhan yang Mahalembut dan Mahaindah ialah pendengaran kita. Itulah sebabnya telinga selalu disebutkan sebagai urutan pertama di dalam penyebutan indra-indra kita di dalam Al-Qur’an.
Latihan membuat telinga batin sensitif, yang biasa disebut sama’ atau di Turki dikenal dengan shema, dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain memuasakan pendengaran untuk mendengarkan hiruk pikuk urusan dunia, lalu dialihkan untuk menghayati sebuah lagu atau irama tertentu melalui pendengaran.
Aktivitas sama’ di dalam praktik tasawuf merupakan suatu hal yang lazim. Hampir semua praktisi tasawuf mencintai suara merdu dan irama indah. Jalaluddin Rumi, seorang sufi seniman, menciptakan model tarekat dengan memadukan lagu, irama, dan gerak yang lebih dikenal dengan sema’ atau whirling dervishes.
Para praktisi sufi di dalam dunia Sunni pun akrab dengan sama’. Bahkan Imam Al-Gazali menyuguhkan satu bab khusus tentang kedudukan seni (religius) dalam Islam. Dalam bab itu ia menyatakan, orang yang tidak memiliki jiwa dan rasa seni dikhawatirkan hatinya kering dan perilakunya kasar. Karena itu, hampir semua sufi mencintai seni, bahkan di antara mereka banyak yang menjadi praktisi seni.
Agak berbeda dengan umumnya ulama fikih, yang tidak begitu akrab dengan sama’ atau seni pada umumnya karena dianggap bid’ah yang tidak pernah dilakukan Rasulullah. Bahkan, ada yang mengatakan bunyi-bunyian seperti seruling (mazamir) adalah pemanggil setan, dengan mengutip hadis Rasulullah yang merespons negatif sejumlah irama musik dan bunyi-bunyian dengan mengatakan pemanggil setan.
Namun, dalam beberapa riwayat juga disebutkan bahwa Rasulullah mencintai seni. Bahkan ia juga seniman, minimal pencinta seni. Dalam artikel terdahulu, ‘Sufi dan Seni’, sudah pernah dibahas secara khusus.
Penghayatan terhadap setiap suara dan suara-suara itu dirasakan bagaikan irama musik indah merupakan karunia dari Allah SWT. Pada salah satu ayat dalam QS Fathir/35:1 disebutkan bahwa Allah menambahkan kepada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Dalam kitab Tafsir Fakhr al-Razi dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan keutamaan tambahan pada ayat ini ialah suara yang bagus (al-shaut al-hasan).
Nilai-nilai keindahan dan kebaikan mendapatkan tempat yang positif di dalam Al-Qur’an, seperti diisyaratkan dalam QS al-A’raf/7:32: “Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?"
Sindiran Al-Qur’an terhadap suara yang tidak memiliki dua unsur keindahan dan kasar ialah suara keledai, dinyatakan dalam QS Luqman/31:19: “Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. Suara keledai terkenal keras dan tidak beraturan.”
Agaknya memang seni dan musik tidak banyak disinggung di dalam Al-Qur’an, tetapi Al-Qur’an itu sendiri melampaui karya seni terbaik sekalipun, baik pada masa turunnya maupun pada zaman-zaman sesudahnya. Salah satu kemukjizatan Al-Qur’an ialah keindahan dan ketinggian nilai seni-sastra dan bahasanya yang amat menakjubkan. Dalam bulan Ramadan, sebaiknya kita mengecoh pendengaran kita untuk mendengarkan keinginan nafsu.