
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics & Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman menilai perbedaan data antara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) soal harga dan subsidi gas elpiji 3 kilogram (kg) menandai krisis koordinasi dalam kebijakan energi nasional. Ketidaksinkronan ini bukan sekadar selisih angka teknis, melainkan gejala fragmentasi kebijakan antara kepentingan fiskal dan sektor energi. Kemenkeu disebut fokus pada tekanan anggaran, sementara Kementerian ESDM menekankan keekonomian dan distribusi energi.
"Tanpa harmonisasi, arah subsidi energi, termasuk elpiji 3 kg menjadi kabur di mata publik dan investor," ungkap Rizal kepada Media Indonesia, Minggu (5/10).
Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Selasa (30/9), Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan tanpa subsidi dari negara, harga elpiji 3 kg bisa mencapai Rp42.750 per tabung. Selama ini, pemerintah menanggung subsidi sebesar Rp30.000 per tabung, sehingga harga jual di masyarakat menjadi Rp12.750. Pernyataan Purbaya kemudian dibantah Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, yang menuding data yang disampaikan menkeu salah baca dan masih perlu penyesuaian mengingat Purbaya baru menjabat.
Rizal mengatakan perbedaan pandangan tersebut mencerminkan lemahnya integrasi lintas sektor dan absennya keselarasan kebijakan (policy coherence).
"Kondisi ini menunjukkan bahwa subsidi elpiji 3 kg bukan hanya persoalan fiskal, tetapi juga masalah institusional dalam tata kelola publik," ucapnya.
Rizal menuturkan subsidi tabung gas melon pada dasarnya dimaksudkan sebagai instrumen proteksi sosial bagi kelompok rentan. Namun, realita di lapangan, kebijakan ini justru dianggap tidak tepat sasaran. Sebagian besar subsidi dinikmati oleh rumah tangga menengah dan pelaku usaha non-rentan, sementara kelompok miskin hanya memperoleh porsi minor.
Dalam perspektif fiskal, kebijakan subsidi elpiji 3 kg menimbulkan distorsi yang signifikan. Anggaran terserap untuk subsidi konsumtif yang tidak sebanding dengan perlindungan nyata bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Alih-alih menjadi alat redistribusi ekonomi yang efektif, subsidi ini lebih berfungsi sebagai penahan sentimen politik dan pengendali inflasi sosial.
"Kebocoran yang masif serta ketergantungan pada mekanisme distribusi manual menegaskan paradoks antara niat sosial dan hasil ekonomi," katanya.
Menurutnya, selama reformasi subsidi tidak didukung sistem data penerima yang akurat dan mekanisme distribusi yang transparan, subsidi elpiji 3 kg akan terus menjadi beban fiskal yang boros, sekaligus simbol ketidaktegasan pemerintah dalam merancang kebijakan energi yang adil dan berkelanjutan.
Akurasi data
Terpisah, Anggota DPR RI Komisi XII Eddy Soeparno menekankan setiap tahun angka subsidi energi ditetapkan oleh DPR. Untuk 2026, DPR telah menyepakati kenaikan subsidi listrik menjadi Rp100 triliun dan volume elpiji 3 kg menjadi 8 juta kiloliter.
Selain subsidi, terdapat juga kompensasi khusus untuk bahan bakar minyak (BBM) penugasan, atau yang dikenal dengan Jenis BBM Tertentu (JBT), seperti pertalite. Volume JBT ini dipresentasikan ke Komisi XII oleh penyalurnya, yakni Pertamina Patra Niaga. Dengan mekanisme ini, Eddy menyebut Komisi XII memiliki data yang akurat mengenai subsidi dan kompensasi BBM, sesuai dengan volume yang saat ini atau akan disalurkan kepada masyarakat.
"Jika terdapat perbedaan angka antara kementerian atau lembaga terkait nilai subsidi, Komisi XII siap menjabarkannya secara rinci," jelasnya kepada Media Indonesia.
Sejak lima tahun lalu, sambungnya, Komisi XII telah mengusulkan agar subsidi elpiji 3 kg diberikan dalam bentuk dana tunai kepada penerima yang berhak, daripada disalurkan langsung melalui produknya. Hal ini dilakukan untuk meminimalkan potensi penyalahgunaan.
"Komisi XII berharap usulan ini dapat segera direalisasikan," tuturnya. (Ins)