Jangan Ganggu! Pemerintah sedang Percaya Diri

11 hours ago 4
Jangan Ganggu! Pemerintah sedang Percaya Diri (Dok. Pribadi)

KRITIK sejatinya ialah katalisator positif dalam berjalannya proses demokrasi. Kritik menjadi pisau analisis dalam melakukan checks and balances bagi rezim yang memegang kekuasaan. Ia mempercepat sebuah bangsa tumbuh ke arah demokrasi yang semakin baik. Rezim yang melek demokrasi sudah seharusnya akrab dengan kritik, menjadikan kritik sebagai bahan bakar untuk meningkatkan pertumbuhan demokrasi.

Indonesia punya sejarah pembungkaman terhadap kritik. Era itu sudah berlalu, diantar unjuk rasa besar-besaran yang dilakukan mahasiswa pada 1998. Reformasi seharusnya menjadi era kebebasan mengeluarkan pendapat menjadi sebuah kelumrahan. Bukankah itu hal yang diinginkan para pejuang reformasi dahulu.

Hari ini, rezim seakan melupakan sejarah tersebut. Kita sering melihat banyak pernyataan publik yang dikeluarkan Presiden Prabowo Subianto mengenai kritik terhadap caranya menjalankan pemerintahan. Februari 2025, Prabowo membela rencananya untuk memperluas kabinet dengan menyatakan , "Ada yang mengatakan kabinet kita gemuk, banyak. Tapi kalau banyak orang hebat, kenapa? Yang menikmati rakyat Indonesia." Masih dalam konteks yang sama, Prabowo menjawab kritik dengan nada sinis dalam kalimat “Ada orang pintar bilang, kabinet ini gemuk, terlalu besar... ndasmu.”

Tingkah para pembantu Presiden, dimulai dari menteri, wakil menteri, utusan khusus, staf khusus, dan lain-lain juga serupa. Wakil Menteri Tenaga Kerja memberikan pernyataan, "Mau kabur, kabur sajalah. Kalau perlu, jangan balik lagi,” ketika ditanya mengenai isu tagar #KaburAjaDulu. Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan pernah menyatakan, "Kau yang gelap,” saat menanggapi ramainya tagar #IndonesiaGelap.

Terbaru, ada lagu Bayar Bayar Bayar karya band punk asal Purbalingga, Sukatani, merilis tersebut yang isinya mengkritik praktik korupsi di institusi kepolisian. Lagu tersebut memicu kontroversi dan kemarahan pemerintah, yang mengarah ke permintaan maaf publik dari anggota band dan penarikan lagu dari platform digital. Tulisan ini ingin mengilustrasikan alam pikiran rezim dalam mencerna kritik yang masuk saat melihat performa mereka mengurus negara.

Kritik seakan menjadi hal yang 'kotor' di awal masa pemerintahan Presiden Prabowo. Banyak feedback yang keluar dari pihak rezim mengenai kritik terkesan meremahkan kritik, menganggap kritik hanya angin lalu yang keluar dari pihak-pihak yang tidak mendapatkan jatah 'potongan kue kekuasaan'.

Sebetulnya hal tersebut sudah bisa diprediksi. Pesan Presiden Prabowo sebelum dilantik seakan menjadi key message dalam proses komunikasi politik Presiden dan kabinetnya. Dalam beberapa kesempatan, Presiden Prabowo menyatakan oposisi tidak dibutuhkan dan bukan merupakan budaya Indonesia. Oposisi dianggap hanya 'pengganggu' dalam berjalannya program-program pemerintahan. Oposisi hanya merupakan 'barisan sakit hati' pihak-pihak yang kalah di persaingan pemilihan umum.

Rezim memiliki self-efficacy seperti yang dikatakan Albert Bandura dalam tulisan ilmiahnya pada 1977 yang berjudul Self-Efficacy: Toward a Unifying Theory of Behavioral Change. Ada kepercayaan yang tinggi untuk bisa meraih kesuksesan merealisasikan janji-janji kampanye yang sudah diumbar ke pendukungnya, mulai MBG hingga realisasi pemindahan ibu kota.

Dalam tulisannya, Bandura juga menjelaskan cara untuk meningkatkan kepercayaan diri ialah mengumpulkan pengalaman sukses kecil agar semakin percaya diri dan mendapatkan dukungan positif dari orang sekitar. Kita bisa lihat, banyak sekali publikasi terkait dengan pencapaian pelaksanaan program kerja mereka, merayakan sukses kecil sebagai cara untuk self-reward.

Bandura juga menjelaskan cara untuk meningkatkan self-efficacy adalah memiliki pengalaman langsung dan tidak langsung. Presiden Prabowo Subianto dan juga barisan menterinya tentu memiliki pengalaman langsung yang mumpuni untuk mengelola urusan negara, hajat hidup orang banyak. Lalu Presiden Prabowo juga didukung presiden-presiden sebelumnya. Ada Joko Widodo dan Susilo Bambang Yudhoyono yang mulai aktif dilibatkan, salah satunya sebagai unsur Dewan Penasihat Danantara. Bahkan ada mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair dalam barisan dewan penasihat. Siapa yang bisa mempertanyakan kecakapan Tony Blair dalam mengurus negara?

Presiden Prabowo juga memiliki setumpuk barisan menteri, wakil menteri, staf khusus, dan utusan khusus, yang akan mendukung beliau untuk melaksanakan seluruh programnya. Dukungan moral dari orang-orang terdekat akan membuat self-efficacy seseorang menjadi meningkat. Itu juga menjadi alasan yang logis dan memiliki landasan akademik dari banyaknya jumlah menteri dalam kabinetnya. Banyaknya program kerja pasti membutuhkan banyaknya dukungan.

Jadi, kelihatannya itulah alasan Presiden Prabowo dan barisan menterinya sulit sekali menerima kritik. Suasana lingkungan sekitar yang memberikan tekanan dalam menyelesaikan pekerjaan akan menurunkan kepercayaan diri. Bisa bahaya jika pejabat kita tidak memiliki rasa percaya diri dalam menyelesaikan program-program tersebut. Bayangkan kondisi jika oposisi terus-menerus menyampaikan kritik.

Hal tersebut tentu bisa mengurangi kepercayaan diri dari para pejabat yang sedang berusaha menyukseskan program kerja mereka. Program-program yang maslahatnya begitu luar biasa untuk masyarakat bisa mandek.

Tidak ada kepercayaan diri bukan berarti tidak punya kemampuan. Tidak punya kepercayaan diri menjadikan seseorang tidak dapat mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Kita tentu tidak mau pejabat kita tidak bisa mengeluarkan kemampuan terbaik mereka.

Jadi, tolong dikondisikan. Jangan pedulikan prinsip-prinsip demokrasi seperti oposisi atau checks and balances. Biarkan pemerintah bekerja secara maksimal. Seperti ucapan Presiden Prabowo, jika tidak setuju, lebih baik jadi penonton yang baik. Apakah harus begitu?

Read Entire Article
Global Food